Oleh: Dian Lestari*
“Pendidikan Multikultur diterapkan sebagai muatan lokal sesuai kebijakan sekolah. Nantinya, akan wajib diterapkan se-Kalbar.” Alexius Akim, Kepala Dinas Pendidikan Kalbar
PONTIANAK, TRIBUN – Penerapan muatan lokal (mulok) Pendidikan Multikultur di Kalbar, bukan tanpa persoalan. Satu di antataranya terbentur pendanaan. Itu juga yang menjadi alasan mengapa mulok ini baru diterapkan di kabupaten dan kota yang dianggap rawan konflik.
Padahal, Pendidikan Multikultur sejatinya diterapkan di seluruh Kalbar, karena sangat baik. “Kemampuan kami terbatas. Wilayah Kalbar sangat luas. Begitu banyak guru yang harus diberi pelatihan,” kata Koordinator Program Peace Building Institut Dayakologi, Julianto Makmur, kepada Tribun, kemarin.
Padahal kemampuan guru untuk memberikan pemahaman tentang perdamaian, merupakan kunci utama keberhasilan Pendidikan Multikultur. Guru tak sebatas menyampaikan teori di buku ajar, namun juga harus mampu mencontohkan ucapan dan sikap yang menghargai perbedaan.
Para guru menurut Ipur juga menyarankan proses belajar mengajar menggunakan proyektor agar siswa bisa melihat gambar menarik tentang budaya-budaya terkait Pendidikan Multikultur. “Guru-guru memang menyarankan sebaiknya ada video multikultur. Tapi kami belum bisa merealisasikannya,” tutur Julianto.
Tak hanya itu, hambatan lainnya adalah buku-buku yang ada saat ini sudah mulai banyak yang rusak. Hal itu karena minimnya pendanaan. Kendala ini juga yang disadari Nur Iskandar, Sekretaris Dewan Pendidikan Kalbar.
“Buku yang diproduksi belum bisa diperbanyak karena terkendala dana. Guru antusias, tapi buku kurang. Perlu payung hukum untuk realisasikan Pendidikan Multikultur di seluruh Kalbar,” kata Nur Iskandar.
Ia menjelaskan, sebenarnya pada 2013 sudah ketok palu peraturan daerah (Perda) Pendidikan untuk Wilayah Khusus, termasuk daerah konflik. Dalam aplikasi Perda tersebut, perlu sokongan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). “Sembilan Diktum harus dibuat detail. Tunggu ketok palu Pergub,” ujarnya.
Terkait payung hukum, Kepala Dinas Pendidikan Kalbar, Alexius Akim, mengatakan payung hukum Pendidikan Multikultur sudah tertuang dalam Perda Nomor 1 tahun 2013 tentang Pendidikan di Wilayah Khusus.
Saat ini, sedang digodok Peraturan Gubernur (pergub) terkait penerapan Perda tersebut, lalu akan diterapkan para kepala dinas di Kalbar. Akim berpendapat, Pendidikan Multikultur mesti disokong Perda pendidikan anak usia dini (PAUD) dan Perda Sekolah Ramah Anak.
Dengan begitu, pelaksanaan Pendidikan Multikultur dapat menyeluruh di sejua jenjang pendidikan dan mencakup seluruh Kalbar. “Inilah PR (pekerjaan rumah) saya. Tahun 2015, harus terbit juga dua Perda itu, supaya Pendidikan Multikultur bisa menyeluruh,” kata Akim, belum lama ini.
Menurutnya jika aturan tentang Pendidikan Multikultur selesai dibuat, maka Dinas Pendidikan akan berkomitmen melaksanakannya di seluruh Kalbar. “Sekarang berdasarkan inisiatif LSM, Pendidikan Multikultur diterapkan sebagai muatan lokal sesuai kebijakan sekolah. Nantinya, akan wajib diterapkan se-Kalbar,” imbuhnya.
Akim optimistis Pendidikan Multikultur tidak akan terbentur dengan padatnya jam belajar siswa. Sejatinya, mulok Pendidikan Multikultur tak hanya di tingkat SMP dan SMA, seperti saat ini, namun mulai dari PAUD.
“Jadi tidak ujug-ujug belajar teori multikultur ketika SMP. Harus bertahap. Ibarat kita membangun pondasi di atas batu karang. Sekarang ini sistem pendidikan kita seperti membangun pondasi di atas pasir,” tegas Akim.
Akim memahami arti penting Pendidikan Multikultur di Kalbar, sebagai daerah yang memiliki sejarah panjang konflik antaretnis. Belajar dari pengalaman pribadinya ketika sekolah dulu, ia menyadari buruknya dampak stereotipe tentang etnis yang ditanamkan lingkungan sekitar kepada anak-anak.
“Dari katanya, katanya, teruslah kita mencurigai etnis yang berbeda dari kita. Orangtua kita dulu juga ditanamkan pikiran begitu. Sejak zaman penjajahan kita ini sudah dibuat politik pecah belah. Tujuh turunan kita dididik mencurigai orang lain, dengan istilah katanya, katanya. Memang perlu revolusi mental,” papar Akim.
Ia menegaskan Pendidikan Multikultur bukan bertujuan membuka luka lama sejarah konflik di Kalbar. “Mempelajarinya dari segi sejarah. Tahu dampak negatif konflik, kemudian belajar menanamkan hal-hal positif untuk sekarang dan mendatang. Anak-anak pasti dengar dari orangtuanya dan baca dari internet bagaimana konflik di Kalbar. Sekolah menjadi penyaring informasi itu,” ujar Akim.
Penyiapan guru sebagai faktor utama pentransfer pendidikan, imbuh Akim, dilakukan melalui bimbingan teknis (Bimtek). Tujuannya guru selain menyampaikan materi di dalam buku, juga berperilaku yang mencerminkan sikap menghormati dan menghargai perbedaan.
“Guru yang rasis dan terkotak-kotak, karena lingkungannya yang homogen dan kurang tanggap terhadap kemajuan terkini. Perlu bertahap membentuk guru yang mampu mengajarkan dan memberi contoh teladan toleransi. Tidak bisa cuma mengajarkan teori di buku,” papar Akim.
Soal buku Pendidikan Multikultur yang telah diterbitkan ANPRI dan YPPN, Akim mengakui memang telah melalui tahap layak uji. Namun, isi buku perlu menyesuaikan perkembangan situasi.
Apabila sudah terbit Pergub dan peraturan untuk dilaksanakan para Kepala Dinas Pendidikan se-Kalbar, Akim mengatakan pasti akan dikaji teori dan praktik Pendidikan Multikultur secara konfrehensif.
Termasuk mengenai isi buku dan berbagai hal terkait Pendidikan Multikultur. Masih menyoal payung hukum Pendidikan Multikultur, anggota DPRD Kalbar, Herman Fauzi, senada dengan Akim.
Menurutnya, telah terbit Perda Nomor 1 tahun 2013 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan di Daerah Khusus di Kalbar. Dalam BAB 1 Ketentuan Umum, disebutkan daerah khusus yang dimaksud adalah daerah terpencil atau terbelakang, daerah dengan kondisi masyarakat adat yang terpencil, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah yang mengalami bencana alam, bencana sosial, atau daerah yang berada dalam keadaan darurat di Kalbar. Kemudian di BAB II disebutkan, penentuan daerah khusus ditetapkan dengan Keputusan Gubernur berdasarkan usulan bupati atau wali kota. “Perda ini bertujuan untuk peningkatan kualitas pendidikan di daerah khusus. Supaya kualitas pendidikan di daerah terpencil, sama dengan di perkotaan,” ujarnya.
Nantinya Perda ini didukung Pergub yang antara lain menjelaskan pembiayaan dan program. Menurut Herman, konflik antaretnis yang pernah terjadi di Kalbar, termasuk dalam kategori bencana sosial. Pada bagian penjelasan Perda Nomor 1 itu disebutkan, pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di daerah khusus berbasis lingkungan dan berciri khas kearifan lokal. Kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan atau nilai-nilai, pandangan -pandangan setempat atau (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan- aturan khusus. “Di dalam Perda tersebut tidak disebutkan adanya Pendidikan Multikultur. Saya belum pernah dengar sebelumnya tentang Pendidikan Multikultur, yang sudah diterapkan di Kalbar. Saya setuju kalau diterapkan. Memang kita memerlukan pendidikan untuk saling memahami dan menghargai perbedaan budaya,” katanya.
Ia pun setuju dengan Akim bahwa belajar multikultur bukanlah membuka luka lama. Namun, untuk saling menghormati. Makanya, perlu mempelajari multikultur. Kendati begitu, kekhawatiran sempat terbersit di benak Ketua Komisi D DPRD Kalbar, Buang Prahto Wibowo.
Buang khawatir pelaksanaan Pendidikan Multikultur yang telah diterapkan, justru mengkotak-kotakkan pendidikan hanya sebatas empat etnis. “Pendidikan Pancasila untuk seluruh Indonesia, tidak mengenal etnis tertentu,” ujarnya.
Jangan Terulang
DUKUNGAN terhadap Pendidikan Multikultur mengalir dari berbagai pihak. Pokja Evaluasi dan Pemantauan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kalbar, Najmudin, menilai
Pendidikan Multikultur sangat baik diterapkan di seluruh Kalbar.
Sebab Kalbar memiliki catatan panjang konflik antaretnis. Menurutnya, jika anak-anak diajari memahami budaya, mereka akan memahami makna persatuan dalam perbedaan. Sangat baik bila pendidikan multikultur mengajarkan pandangan tentang pentingnya perdamaian. “Konflik muncul dari luapan emosi. Ingin terlepas dari ketidakadilan. Emosi adalah puncak dari kebencian yang muncul dari stereotype tentang orang dengan etnis tertentu,” kata Najmudin kepada Tribun, kemarin.
Ingatannya pun menerawang pada pengalaman tahun 2000 silam, saat mendampingi anak-anak korban konflik etnis di Kalbar. Bersama teman-temannya sebagai relawan, Najmudin menjemput 15 anak. “Itu adalah tragedi kemanusiaan, jangan sampai terulang lagi,” imbuhnya.
Menurutnya pendidikan multikultur diperlukan untuk mencegah konflik antaretnis dan merawat perdamaian Kalbar. “Sejarah bisa berulang, konflik bisa saja terjadi. Anak-anak perlu diajari pemahaman dan menghargai perbedaan. Mereka yang nantinya akan menjadi pemimpin di masa mendatang,” pungkasnya.
Pentingnya merawat perdamaian di Kalbar, juga disampaikan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Untan, Prof DR Syarif Ibrahim Alqadrie MSc. “Konflik bisa terjadi lagi. Teori siklus konflik per 30 tahun,” ujarnya pada focus group discussion (FGD) yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) Kalbar dan Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), akhir Juni lalu di Tribun Pontianak.
Menurutnya, yang belum selesai diterapkan di alam damai Kalbar saat ini adalah multikultural dalam hal membuka pemikiran dan memperbaiki sistem. Jadi, harus dilakukan penguatan jaringan untuk memperbaiki sistem.
Dalam buku Belajar Mengelola Konflik yang disusun Institut Titian Perdamaian, menyebutkan bila dirunut konflik di Kalbar disebabkan sejumlah faktor. Ada sebab-sebab struktural yang menjelaskan konflik disebabkan kondisi ketidakadilan ekonomi, politik, dan sosial yang telah terjadi di Kalbar, puluhan tahun.
Ada pula sebab-sebab kultural di mana konflik dipengaruhi seperangkat nilai-nilai, kondisi psikologis dari individu atau para aktor. Kedua sisi penyebab ini menjadi dasar bagi seseorang untuk mewujudkan ketidakpuasannya dalam bentuk tindakan kolektif secara politik, termasuk dalam kekerasan dengan menggunakan kesamaan identitas kelompok tertentu.
Institut Titian Perdamaian menyimpulkan masih perlu diupayakan segala usaha untuk menghilangkan kesenjangan sosial ekonomi dan sosial politik yang ada. Berbagai usaha untuk mencegah segala bentuk kekerasan komunal menjadi suatu keniscayaan yang harus menjadi langkah-langkah bersama, agar perdamaian tetap dapat dipertahankan di Kalbar.
Akar konflik itu juga yang menjadi sorotan Furbertus Ipur, Direktur Lembaga Pemberdayaan Pergerakan Rakyat (Elpagar). Ipur yang juga mantan Manajer Program Sistem Peringatan Dini Kekerasan Komunal (SPDKK) ini menilai akar konflik satu di antaranya adalah pemiskinan struktural. Satu di antaranya yang paling dasar adalah ketimpangan akses terhadap sumber daya alam (SDA). (dlt)
Berita Sebelumnya: Pendidikan Multikultur Kalbar, Siswa Toleran Beda Budaya ||
*Tulisan ini terbit pada HU Tribun Pontianak pada Selasa, 12 Agustus 2014. Penulis merupakan salah satu peraih Fellowship Liputan Keberagaman SEJUK tahun 2014 kategori media cetak. Tulisan di atas merupakan karya yang dihasilkan penulis untuk fellowship SEJUK