Pernyataan Pubik
Amnesty International mengecam eksekusi cambuk terhadap lima orang pada 5 September 2014 di Pidie, provinsi Aceh. Pemerintah Indonesia harus mengakhiri penggunaan hukum cambuk sebagai bentuk penghukuman, dan peraturan daerah yang menyediakannya di provinsi Aceh harus dicabut.
Lima orang mendapat eksekusi cambuk tujuh atau delapan kali dengan rotan sementara ratusan orang melihatnya di luar Mesjid Al Falah di Sigli, kabupaten Pidie. Mereka semua divonis karena perjudian (maisir) di bawah Qanun No.13/2003 oleh Mahkamah Syariah Sigli pada Agustus 2014.
Sebelumnya, pada Juni 2014, empat orang juga dieksekusi cambuk karena perjudian di kabupaten Aceh Tengah. Antara 2010 dan 2013, paling tidak 139 orang dieksekusi cambuk di provinsi Aceh karena pelanggaran-pelanggaran Syariah.
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mengesahkan serangkaian peraturan daerah (qanun) yang mengatur implementasi hukum Syariah setelah pengesahan Undang-Undang Otonomi Khusus pada 2001. Hukum cambuk diperkenalkan sebagai penghukuman yang diterapkan oleh Mahkamah Syariat Islam untuk serangkaian kejahatan, termasuk hubungan seks di luar perkawinan (zina), mengkonsumsi alkohol, berduaan dengan orang lain yang berlainan jenis kelamin yang bukan pasangan kawin atau anggota keluarga (khalwat), dan bagi umat Muslim yang ditemukan makan atau minum pada siang hari di saat bulan puasa Ramadan, atau setiap orang yang “memfasilitasi” seorang Muslim untuk tidak berpuasa selama bulan puasa.
Hukum cambuk merupakan salah satu bentuk penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat, yang dilarang di bawah hukum internasionial dan melanggar Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi PBB Menentang Penyiksaan, dan Bentuk-bentuk Perlakuan lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat (CAT). Indonesia merupakan Negara Pihak dari kedua hukum internasional ini.
Komite HAM dan Komite Menentang Penyiksaan, sebuah badan para ahli independen yang mengawasi implementasi kewajiban-kewajiban Negara di bawah hukum internasional tersebut, keduanya secara eksplisit menyerukan Negara-negara untuk menghapuskan hukum cambuk dan segala bentuk penghukuman yang kejam lainnya. Secara khusus pada 2008, Komite Menentang Penyiksaan menyerukan Indonesia untuk mengevaluasi seluruh legislasi nasional dan daerah yang membenarkan penggunaan penghukuman yang kejam sebagai sanksi pidana, dengan pandangan untuk segera menghapuskan penghukuman-penghukuman semacam itu. Pada 2013 Komite HAM menyerukan Indonesia untuk mengambil langkah-langkah praktis untuk menghapuskan penghukuman yang kejam dan untuk mencabut ketentuan-ketentuan dari peraturan-peraturan daerah di Aceh yang mengizinkan penggunaanya di dalam sistem hukum pidana
Sebagai tambahan pelanggaran hukum internasional, hukum cambuk bertentangan dengan ketentuan-ketentuan HAM yang tertera di Konstitusi Indonesia dan Undang-Undang No. 39/1999 tentang HAM.
Amnesty International juga prihatin tentang rancangan Qanun Hukum Jinayat yang saat ini sedang ada di hadapan DPR Aceh, yang mencakup hukum cambuk hingga 100 kali bagi pelaku hubungan seksual sesama jenis dan hubungan seks di luar nikah. Rancangan Qanun ini mungkin akan disahkan pada akhir September ini.
Meski merupakan kewajiban HAM Indonesia, pemerintah pusat menolak pencabutan peraturan-peraturan daerah di Aceh tentang Syariah yang menggunakan hukum cambuk sebagai sebuah bentuk penghukuman, dengan argumen bahwa peraturan-peraturan ini merupakan bagian dari aturan otonomi khusus di provinsi tersebut.
Sebagaimana yang digarisbawahi oleh Pelapor Khusus PBB tentang penyiksaan, Negara-negara yang menggunakan hukum-hukum agama harus menerapkannya dengan sebuah cara yang tidak memerlukan penerapan penghukuman-penghukuman yang melanggar kewajiban-kewajiban hukum internasional mereka. Negara-negara tidak bisa menerapkan ketentuan-ketentuan hukum nasional untuk membenarkan ketidaksesuaian dengan kewajiban-kewajiban mereka di bawah hukum internasional.
Amnesty International sekali lagi menyerukan kepada pemerintah pusat Indonesia untuk mengevaluasi seluruh peraturan daerah dan aturan lokal semacam itu untuk memastikan pencabutan segala ketentuan yang tidak sesuai dengan hukum dan standar-standar HAM internasional.
Amnesty International mengingatkan pihak berwenang Indonesia bahwa kewajiban-kewajiban HAM mereka berlaku untuk segala hukum dan praktek di segala tingkatan apa pun – nasional, daerah, atau lokal – dan bahwa pemerintah pusat harus memastikan HAM dihargai di seluruh provinsinya dan daerah-daerah otonom apapun bentuk pengaturan internalnya. Proses desentralisasi dan otonomi daerah tidak boleh mengorbankan hak asasi manusia.
Weblink: http://www.amnesty.org/en/library/info/ASA21/026/2014/in