“Sakit hati jika teringat masa-masa sekolah di Aceh Singkil. Saya terpaksa mengikuti 5 pelajaran yang tidak terkait dengan kebutuhan saya dan kawan-kawan saya yang beragama Kristen,” kenang Kevin Padang (21), jemaat Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD).
Lima pelajaran itu, menurut Kevin, adalah Pendidikan Agama Islam, al-Quran dan al-Hadits, Akhlaq dan Budi Pekerti (versi Muslim), Baca dan Tulis Arab Melayu, dan Bahasa Aceh (sementara Aceh Singkil itu terdiri dari mayoritas dengan suku Pakpak dan Singkil, yang masing-masing bahasanya berbeda dengan bahasa Aceh). Hal ini ia sampaikan dalam pertemuan bertema Kita untuk Aceh Singkil: Berbagi Cerita di Ujung Tahun yang digelar secara virtual (26/12).
Itu kenapa Kevin mengaku, ia dan tak sedikit warga Aceh Singkil lainnya yang beragama Kristen dan Katolik melanjutkan jenjang SMA ke Sidikalang, Sumatera Utara, agar mendapat pelajaran agama Kristen dan tidak dibebani 5 pelajaran yang bukan kebutuhan mereka. 2014 pun Kevin harus menempuh pendidikan SMA yang jauh dari rumahnya.
“Kami siswa dan siswi di Singkil yang bukan Islam secara akademik sulit berprestasi dan mendapat ranking, karena nilai rata-rata di rapot adalah 6 dari kelima mata pelajaran itu,” tutur Kevin yang aktif di muda-mudi gereja di Aceh Singkil.
Sulit berharap pada pemerintah daerah
Hingga hari ini siswa-siswi Kristen Aceh Singkil, sambung Kevin, belum mendapatkan guru pelajaran agama Kristen dan pelajaran seputar kekristenan.
Jika di daerah Indonesia lainnya menyiasati kesulitan itu dengan menyerahkan pelajaran agama Kristen, guru, dan penilainnya kepada gereja tempat anak didik beribadah, Ketua Forum Cinta Damai Aceh Singkil (Forcidas) Boas Tumangger menegaskan bahwa hal tersebut tidak dilakukan di wilayahnya.
“Sampai saat ini tak satu sekolah pun di Singkil yang menyediakan pelajaran agama Kristen dan gurunya, meskipun di beberapa sekolah ada yang siswa-siswinya mayoritas Kristen,” ungkap Boas lewat pesan Whatsapp (4/1).
Ayah dari lima anak ini berharap sekali kepada pemerintah pusat agar memberi perhatian serius kepada Aceh Singkil, lantaran pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten, tidak merespon aspirasi atau tuntutan warga beragama Kristen yang menurut Boas mencapai 18.000 jiwa. Sejak 13 Oktober 2015 ketika 11 gereja Aceh Singkil diserang, dibakar, dan dibongkar hak-hak dan kebebasan warga Kristen dalam beragama semakin tertekan dan tertindas, termasuk pendidikannya.
“Harapan saya, kiranya Menteri Agama yang baru ini betul-betul memperhatikan dunia pendidikan di Aceh Singkil, sehingga anak didik beragama Kristen bisa mendapatkan pendidikan agamanya di sini,” pinta ayah yang kelima anaknya sedang menempuh pendidikan SD, SMP, SMA, dan SMK ini.
Sejatinya 6 bulan setelah penyerangan terhadap gereja-gereja Aceh Singkil, Dita dari jemaat Huria Kristen Indonesia (HKI) menyampaikan hal serupa.
“Dari SD sampai SMA semua peserta didik yang beragama Kristen diwajibkan ikut pelajaran agama Islam,” tuturnya 2016 (23/3) lalu.
Fakta ini dilaporkan Sejuk.org dalam artikel berjudul Kado Paskah dari Aceh untuk Anies Baswedan. Sejak laporan ini ramai menjadi perbincangan publik, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan turun ke Aceh Singkil untuk merespon. Sejak itu, konon, di beberapa sekolah menyerahkan pelajaran agama Kristen dan nilai siswa-siswi ke gerejanya masing-masing.
Padahal, dari 11 yang diserang dan dihancurkan, kini 7 gereja yang beroperasi dengan bangunan darurat, terbuka, beratap rumbia maupun seng di tengah-tengah perkebunan sawit. Sehingga, tidak mudah buat anak-anak menjalankan sekolah Minggu agar mendapat pelajaran agama dari gerejanya. Pasalnya, banyak nyamuk yang menyerang.
Karena itu, Boas sangat berharap Menteri Agama yang baru Yaqut Cholil atau Gus Yaqut mendengar jeritan para jemaat gereja-gereja Aceh Singkil. Ketua Forcidas ini menunggu hati Menteri Agama tergerak dan campur tangan untuk menghentikan diskriminasi panjang dan sangat melelahkan bagi para jemaat, sehingga Gus Yaqut benar-benar menjadi menterinya seluruh agama di Indonesia.
Bukan tanpa upaya dari gereja
Dari pengakuan Kevin Padang dan Boas Tumangger, nyaris tidak ada yang berubah dalam dunia pendidikan Aceh Singkil. Suka ataupun tidak, anak didik beragama Kristen kalau ingin naik kelas dan lulus sekolah harus mendapat nilai pelajaran-pelajaran bernuansa Islam.
Sementara pendeta GKPPD Erde Berutu turut membenarkan kenyataan tersebut seraya mengingat upaya-upaya yang telah ditempuh warga Kristen yang tetap diabaikan pemerintah daerah. Ia menyaksikan sampai hari ini situasi pendidikan Aceh Singkil hampir tak ada perubahan.
“Meskipun masa-masa sebelum pemekaran Aceh Singkil 1999 umat Kristen menuntut kementerian agama kabupaten memberikan satu bagian untuk Kristen di dinas tersebut supaya dapat menyelenggarakan pendidikan dan kurikulum agama Kristen serta menyediakan gurunya di sekolah-sekolah Aceh Singkil, tapi pemerintah selalu berdalih akan dikoordinasikan ke tingkat yang lebih tinggi,” ujar Erde Berutu.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Singkil dari Partai Kebangkitan Bangsa Frida Siska Sihombing mengakui belum mendengar diskriminasi di dunia pendidikan yang dialami siswa-siswi di wilayahnya.
“Saya baru dengar keluhan di pendidikan Aceh Singkil yang dialami Kevin dan siswa-siswi yang beragama Kristen. Nanti saya cek dan mari sama-sama untuk melakukan perbaikan Aceh Singkil,” kata Frida (26/12) menegaskan komitmen untuk membangun toleransi di Singkil.[]