Rabu, Juli 2, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Agama

Kemenag akan Resmikan Baha’i dan Sunda Wiwitan sebagai Agama Baru

by Redaksi
25/09/2014
in Agama
Reading Time: 3min read
Bertaruh Nyawa Demi Keyakinan
Share on FacebookShare on Twitter

Antara – Kepala Penelitian dan Pengembangan Kemenag sekaligus Staf Khusus Menteri Agama Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Mahasin mengabarkan bahwa Kemenag saat ini tengah menginventarisasi keberadaan agama-agama lokal di Indonesia di luar enam agama yang diakui pemerintah.

Setelah inventarisasi, diharapkan terkumpullah data-data yang kelak diperlukan untuk menelaah kemungkinan pengembangan direktorat jenderal tersendiri di bawah Kemenag. Wadah birokrasi baru itu bertujuan mulia, yakni untuk melayani para pemeluk agama-agama lokal itu, yang selama ini terkatung-katung tanpa kepastian dalam pelayanannya.

Dalam praktik pelayanan keberagamaan di Indonesia selama ini, hanya ada enam agama yang diakui negara, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Karena hanya enam yang diakui, agama-agama lokal yang kadang disebut sebagai aliran kepercayaan tidak diakui oleh negara.

Agama Baha’i, Parmalin, Sunda Wiwitan memiliki pemeluk yang tersebar di Nusantara dan mereka ini tak mendapat pelayanan secara memadai. Implikasi dari tidak diakuinya sistem keyakinan lokal itu cukup serius.Kolom agama pada kartu tanda penduduk (KTP) yang hanya memungkinkan diisi oleh nama-nama agama resmi yang enam jumlahnya itu menjadi kosong untuk mereka yang menganut agama-agama lokal.

Dampak ikutannya adalah saat melakukan perkawinan. Para pemeluk agama lokal tentu tak akan terliput oleh aturan dalam Undang-Undang No 1/1974 tentang Perkawinan. Selama ini perkawinan yang dilakukan oleh penganut agama lokal tak tercatat dalam dokumen negara dan anak-anak hasil perkawinan itu hanya mendapat hak keperdataan dari pihak ibu. Anak yang demikian ini jelas tak akan memperoleh hak waris dari ayah biologisnya.

Jika upaya inventarisasi agama-agama lokal itu terselesaikan, diharapkan akan ada tindak lanjut berupa pengakuan atas agama-agama lokal tersebut. Soal apakah nanti akan ada wadah birokrasi baru dalam bentuk direktorat jenderal, agaknya pemerintahan Jokowi-Kalla yang memutuskan.

Bagi pemeluk agama-agama lokal, yang terpenting adalah pengakuan negara atas eksistensi sistem iman mereka sehingga hak-hak asasi mereka terlayani dan terlindungi oleh negara. Hak menentukan agama, sebagaimana didengungkan jauh-jauh hari oleh cendekiawan Muslim, Nurcholish Madjid (mendiang), sudah difirmankan oleh Allah dalam Quran di Surat Al-Baqarah 2:256, yang berbunyi : Tidak boleh ada paksaan dalam agama. Menurut Cak Nur, larangan paksaan agama itu karena manusia dianggap sudah mampu dan harus diberi kebebasan untuk membedakan dan memilih sendiri jalan hidupnya yang benar, dan tidak perlu lagi dipaksa-paksa seperti seorang yang belum dewasa.

Tampaknya pemahaman tentang agama selama ini memang berbeda-beda satu sama lain. Bagi Cak Nur, agama adalah pintu menuju Tuhan. Pintu-pintu menuju Tuhan sebagaimana yang diuraikan dalam “The Religions of Man” yang ditulis Houston Smith, ada delapan. Kedelapan itu adalah enam agama sebagaimana diakui oleh pemerintah Indonesia dan dua tambahannya adalah agama Yahudi dan Taoisme. Kebebasan memeluk agama, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, selayaknya juga kebebasan mempraktikkan ibadah menurut kepercayaan dan agama masing-masing pemeluk.

Untuk menjamin kebebasan itu, pengakuan negara atas sistem keyakinan yang dianut oleh seluruh warga negara perlu dilakukan secara adil. Dalam konteks ini, pengakuan itu tak mesti didasarkan pada kuantitas jumlah pemeluk sebab praktik keberimanan setiap individu memang unik. Pengakuan negara atas agama-agama lokal di Indonesia bisa dipahami sebagai pengakuan terhadap sistem keyakinan leluhur yang menjadi unsur peradaban masa lalu yang perlu dilanggengkan.

Apalagi di era pascamodernisme sekarang ini ada gairah di seluruh dunia untuk merangkul segmen atau kelompok masyarakat periferi, komunitas pinggiran dengan segala tradisi dan sistem kebudayaan dan iman mereka. Agama-agama lokal tentu juga memiliki kearifan yang transendental dan bahkan mereka mengaplikasikan etika hidup keseharian yang cukup ketat. Sejumlah riset antropologi dan sosiologi tentang masyarakat Tengger bahkan menyimpulkan tentang minimnya tindak kriminalitas dan pemerkosaan.

Sampai-sampai dalam mengomentari hasil riset itu, guru besar sastra dari Universits Indonesia Sapardi Djoko Damono dengan agak bergurau mengatakan perlunya orang Indonesia melakukan “tengerisasi” untuk meminimalisasi tindak kriminal seperti pencurian, perampokan dan pemerkosaan. Yang menjadi persoalan krusial adalah kontinuitas kerja Kemenag dalam menginventarisasi agama-agama lokal itu.

Sebab, dalam waktu tak lama lagi, kabinet Jokowi-Kalla akan memerintah dengan visi misi yang sejauh ini tak bersentuhan dengan wacana agama-agama lokal. Terlepas dari ada atau tidak adanya kelanjutan dari usaha inventarisasi agama-agama lokal itu oleh kabinet mendatang, Kemenag di bawah komando Lukman Hakim Saifuddin sudah menyalakan obor penerang bagi pemeluk agama-agama lokal yang selama ini terpinggirkan dari layanan negara atas hak-hak keperdataan mereka terkait dengan sistem iman yang mereka peluk.

Dengan inventarisasi itu setidaknya Menag sudah menginisiasi ikhtiar negara untuk memberikan pengakuan awal atas agama-agama lokal yang pernah hidup dan menghidupi pemeluk di Indonesia. Dengan demikian, Menag telah mengembuskan kabar gembira demi peningkatan citra Indonesia dalam penegakan hak asasi manusia dalam konteks kebebasan beriman.

Tags: #Bahai#SundaWiwitan
Previous Post

Indonesianis: Jokowi Imbal Jasa, Penegakan HAM Tersandera

Next Post

Gereja Minta Jokowi Ungkap Identitas Kelompok Garis Keras Yang Kacaukan Papua

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Ahmadiyah

Global Peace Foundation Indonesia Gelar Peace! Project: Membangun Harmoni dalam Keberagaman

21/05/2025
Diskriminasi Beragama Kian Mencemaskan, Elemen Masyarakat Sipil Menggelar Konsolidasi Kebebasan Beragama di Provinsi Riau

Diskriminasi Beragama Kian Mencemaskan, Elemen Masyarakat Sipil Menggelar Konsolidasi Kebebasan Beragama di Provinsi Riau

17/11/2024
Masyarakat Adat, Pemimpin Agama, Akademisi, dan Media Bersama Atasi Perubahan Iklim

Masyarakat Adat, Pemimpin Agama, Akademisi, dan Media Bersama Atasi Perubahan Iklim

24/10/2024
Ilustrasi Istimewa

Raja Najasyi: Pemimpin tanpa Hegemoni

09/10/2024
Next Post
245 Kasus Intoleransi di Indonesia Dalam Setahun

Gereja Minta Jokowi Ungkap Identitas Kelompok Garis Keras Yang Kacaukan Papua

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gereja Ortodoks Rusia di Indonesia: Menjumpa dan Menyapa yang Berbeda dengan Cinta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Elisheva Wiriaatmadja, Contoh Penganut Judaisme yang Terbuka di Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dewi Kanti Rela Tak Punya Akta Nikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In