Kebijakan tentang perubahan iklim di tingkat global dan nasional berdampak pada semakin terdesaknya ruang hidup masyarakat adat. Protokol Kyoto, Kespakatan Paris, dan kemudian diturunkan menjadi regulasi nasional tentang Kawasan Hutan Negara melucuti klaim ulayat masyarakat adat di Indonesia sehingga hutan tidak lagi milik mereka, tetapi milik negara.
Keresahan ini disampaikan oleh pengajar antropologi Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Ambon Ferry Rangi di hadapan media-media dari Maluku, Sulawesi Selatan, dan Jakarta dalam rangkaian The 6th International Conference on Indigenous Religion (ICIR 6) di Ambon (24/10).
“Kebijakan perubahan iklim nasional tentang Kawasan Hutan Negara adalah bentuk pengambilalihan ulayat masyarakat adat oleh negara,” papar Ferry yang juga menjadi salah satu narasumber ICIR 6 yang digelar di Ambon, 23-25 Oktober 2024.
Pada akhirnya, menurut hasil riset Ferry Rangi yang dilakukan di wilayah Maluku, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara, banyak hutan adat diserahkan negara kepada pihak swasta melalui pembangunan eksploitatif berupa proyek perkebunan dan pertambangan skala besar. Sebelumnya, Rabu (23/10), Ferry sudah menyampaikan pandangannya yang tak lagi percaya bahwa aturan-aturan pemerintah menguntungkan masyarakat adat, dalam sesi Indigenous Ecology Based Policy on Climate Change di IAKN Ambon, sebagai tuan rumah ajang internasional ICIR 6.
Koordinator ICIR 6 Dr. Samsul Maarif dalam kesempatan yang sama turut menegaskan bahwa aturan-aturan nasional seperti KUHP baru yang akan berlaku pada Januari 2026 menunjukkan ketidakberpihakan negara terhadap masyarakat adat. Pada pasal “Living Law” KUHP baru, ungkap pria yang akrab disapa Anchu, negara tidak mempunyai rasa hormat terhadap martabat masyarakat adat.
“Negara bukan tidak bisa, tetapi tidak mau memberikan pengakuan yang setara yang memartabatkan masyarakat adat,” ujar Anchu yang menggawangi Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Karena itu, penting membangun kerja sama interseksionalitas dari berbagai kalangan, seperti akademisi, media, stakeholders, dengan masyarakat adat agar terjadi perubahan kebijakan yang tidak hanya menguntungkan penguasa. Lewat pendekatan mobilisasi legal, Anchu mengajak kerja sama akademisi dengan media untuk lebih dekat dan melakukan engagement dengan masyarakat adat dan para penganut agama leluhur sebagai subjek bermartabat.
Maka, lanjut Anchu, mengawal kebijakan pemerintah dan terlibat dalam proses demokrasi keseharian yang hidup di kalangan masyarakat adat menjadi kemestian agar lembaga adat beserta tanah mereka menjadi subjek hukum yang berkeadilan dan selaras dengan hak asasi manusia (HAM). Ia pun mengevaluasi kalangan akademisi yang sebelumnya melakukan kesalahan yang kemudian belajar dan mengakui dosa atas pendekatan ‘ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan’ karena menjadikan masyarakat sekadar objek.
Berdemokrasi dari bawah
Anchu kemudian mengajak agar para jurnalis dan media-media arus utama, yang mengikuti Training Constructive Journalism yang mengambil tema masyarakat adat dan perubahan iklim yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Ambon pada 24-26 Oktober 2024 dengan dukungan International Media Support (IMS), agar ketika meliput lebih dekat lagi dalam memberi perhatian dan terlibat dengan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat adat.
Kekeliruan para akademisi ketika melakukan penelitian tentang masyarakat adat ataupun agama-agama leluhur yang kian tergusur dengan menggunakan pakem ‘ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan’ agar tidak dilakukan juga oleh kalangan media.
“Media tidak mempraktikkan ‘jurnalisme untuk jurnalisme,’ tetapi harus lebih dekat dan terlibat dengan masyarakat adat beserta isu, tantangan, dan aspirasi-aspirasinya,” harap Anchu.
Merespon pentingnya media terlibat dalam pencegahan pemanasan global, jurnalis Beranda Maluku Rahma Verolyn Sintya Alaidrus merasa bertanggung jawab untuk mengajak medianya dan para koleganya kalangan jurnalis di Maluku agar memotret dampak nyata perubahan iklim terhadap perempuan.
“Illegal logging, penggususran hutan mangrove di Teluk Ambon untuk pembangunan, pendangkalan permukaan laut yang mengakibatkan rob, berakibat pada perempuan yang tidak bisa mengonsumsi air, karena bahaya bagi perempuan yang menyusui, menstruasi, dan melahirkan,” kata jurnalis perempuan yang sehari-hari disapa Ipeh (26/10).
Membangun demokrasi dari bawah menjadi semangat ICIR 6 yang mengambil tema Performing Democracy. Untuk itu, dalam konferensi internasional Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia Salampessy Latuconsina ingin memastikan agar konsolidasi demokrasi melibatkan para perempuan adat. Sebab, menurut Olivia, perempuan adat seringkali menjadi korban.
“Perempuan adat belum banyak dilibatkan dalam demokrasi di kalangan warga. Hak kolektif perempuan adat masih menjadi catatan penting yang harus diadvokasi,” ungkat Olivia, Kamis (24/10), mengingatkan para peserta ICIR 6 bahwa perempuan adat punya hak yang sama dengan laki-laki.
Pertobatan kalangan agamawan
Dampak dari proyek perkebunan dan pertambangan skala besar yang menggusur ruang hidup masyarakat adat juga turut menyingkirkan penghayat agama leluhur. Masalahnya, para pemimpin agama mayoritas menjadi aktor yang memusuhi masyarakat adat dan kepercayaannya.
Kafir, sesat, dan tidak beradab adalah stigma-stigma yang kerap disandangkan kalangan agamawan kepada masyarakat adat. Kebencian dan penyingkiran masyarakat adat dilakukan bertahun-tahun oleh kalangan agamawan. Dakwah dan kristenisasi atau penginjilan bukan satu-satunya sumber penyingkiran yang dilakukan agamawan terhadap masyarakat adat. Celakanya, agamawan kerap memihak kepada mereka yang menyumbang lebih banyak serta mengabaikan kerusakan lingkungan dan penyerobotan lahan yang dilakukan para penyumbang (donatur).
Gugatan-gugatan ini muncul dari kalangan masyarakat adat dan para pemeluk agama leluhur dalam beberapa kelas pada The 6th International Conference on Indigenous Religion (ICIR 6), 23-24 Oktober 2024, di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Ambon, Maluku.
Merspon hal tersebut, Pdt. Jimmy Sormin, Sekretaris Eksekutif bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan (KKC) Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menyampaikan perkembangan dari kalangan agamawan yang kemudian membangun gerakan bernama Interfaith Rainforest yang diinisiasi PGI.
“Perlu melakukan pertobatan kelompok-kelompok keagamaan, karena selama ini masyarakat adat menjadi objek penginjilan atau dakwah,” tegas Jimmy (24/10).
Karena itu, lanjut Jimmy, perlu bersama-sama mendorong gerakan antariman dan masyarakat adat untuk keberlanjutan lingkungan dan keadilan melawan pemusnahan flora dan fauna di dunia yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. Maka penting untuk melakukan perubahan pendekatan, dari eksploitatif dan dominatif yang digunakan pemimpin-pemimpin agama menjadi kolaborasi untuk bersama-sama menyelamatkan masyarakat adat dan lingkungan.
Jimmy mendorong agar gereja-gereja di Ambon, kalangan akademik dari Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) dan IAKN Ambon membangun ruang-ruang perjumpaan yang datang dari bawah, bukan kalangan elit.
“Gerakan ini mengedepankan aspirasi aktor-aktor lokal dari masyarakat adat yang bekerja sama dengan gerakan lintas iman, akademisi, dan organisasi-organisasi masyarakat sipil secara setara,” papar Jimmy di hadapan kalangan masyarakat adat dari Pulau Seram, Maluku, seperti Naulu, Huaulu, dan Nuniali, dari Pulau Buru bahkan Talaud, Sulawesi Utara (ADAT Musi), dan Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
ICIR ke-6 dihelat oleh panitia yang terdiri dari anggota-anggota sukarela dari the Intersectoral Collaboration for Indigenous Religions Rumah Bersama dan dosen atau pegawai Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Ambon, Maluku, bekerja sama dengan dan disponsori oleh beberapa lembaga seperti The Asia Foundation (TAF), Komnas Perempuan, LKiS, CRCS UGM, ICRS, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Ambon, Kemitraan, Pusad Paramadina, Direktorat Kepercayaan dan Masyarakat Adat Ditjen Kebudayaan, Badan Pelestarian Budaya Wilayah XX, PGI, University of Oslo, International Center for Law and Religion Studies, serta International Media Support (IMS).[]