Selasa, Juli 1, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Siaran Pers

Laporan Amnesty International: Jokowi Gagal Menegakkan HAM

by Redaksi
24/02/2016
in Siaran Pers
Reading Time: 3min read
Laporan Amnesty International: Jokowi Gagal Menegakkan HAM
Share on FacebookShare on Twitter

24 Februari 2016 

Indonesia: Hak asasi di bawah ancaman karena pemerintahan Joko Widodo gagal memenuhi janji-janjinya

 

Indonesia terus menghadapi serangkaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang mana pemerintahan President Joko Widodo gagal untuk atasi dan di beberapa kasus bahkan terlihat lebih buruk di bawah masa satu tahun jabatannya, menurut Amnesty International pada peluncuran Laporan Tahunan HAM globalnya hari ini.

Laporan ini mendokumentasikan serangkaian masalah HAM di Indonesia sepanjang tahun lalu, termasuk hal mengkhawatirkan dan meningkatnya pengekangan kebebasan berkespresi, pembatasan kebebasan beragama, penggunaan kekuatan berlebihan, dan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan, dan kembalinya penggunaan hukuman mati.

“Presiden Joko Widodo dan pemerintahannya punya banyak hal untuk dilakukan jika mereka mau memenuhi janji-janjinya untuk memperbaiki situasi HAM di Indonesia. Kami melihat suatu bahaya kemunduran di banyak isu HAM pada 2015,” menurut Josef Benedict, Deputi Direktur Kampanye Asia Tenggara Amnesty International.

“Meskipun pemerintah telah berulang kali membuat janji-janji untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM serius masa lalu, mereka masih keras kepala untuk melanjutkan komitmen-komitmen tersebut.”

 

Kebebasan berekspresi dan beragama

Dibebaskannya aktivis pro-kemerdekaan Papua Filep Karma pada November – setelah ia menghabiskan lebih dari satu dekade di dalam penjara karena ekspresi politik damainya – merupakan sesuatu yang baik, tetapi tidak bisa menutupi pengekangan kebebasan berekspresi yang lebih luas di segala penjuru Indonesia.

Lebih dari 50 tahan nurani (prisoners of conscience) masih ada di balik jeruji di Papua dan Maluku, sementara penangkapan ratusan aktivis damai di Provinsi Papua dan Papua Barat terjadi sepanjang tahun lalu. Janji-janji Presiden Joko Widodo untuk menghapus pembatasan akses jurnalis asing ke Papua belum terpenuhi hingga akhir tahun lalu.

“Pemerintah Indonesia harus berhenti menangkap dan mengkriminalisasikan mereka yang berbicara secara damai. Semua tahanan nurani harus segera dan tanpa syarat dibebaskan, dan ketentuan hukum yang digunakan untuk memenjarakan mereka harus dicabut”, menurut Josef Benedict.

Gangguan, intimidasi, dan serangan terhadap minoritas agama terus terjadi, difasilitasi oleh ketentuan hukum yang diskriminatif baik di tingkat nasional maupun lokal.

 

Impunitas

Korban-korban konflik bersenjata dan represi kekerasan masa lalu masih terus dilupakan di Indonesia, tahun lalu ditandai oleh peringatan ke-50 tahun mulai terjadinya peristiwa pembantaian massal 1965-66, ketika hingga satu juta orang kehilangan nyawanya di segala penjuru Indonesia. Meskipun laporan-laporan resmi menghubungkan aparat keamanan kepada serangkaian kasus tersebut di atas dan pelanggaran HAM serius lainnya di masa lalu, budaya impunitas terus berjaya dan hanya segelintir orang yang bisa dimintai pertanggungjawabannya.

Tahun lalu, pemerintah Indonesia bahkan mencoba mencegah pertemuan-pertemuan yang akan diselenggarakan oleh para korban dan aktivis untuk memperingati peristiwa 1965.

“Daripada mengganggu mereka yang mencoba memperingati kejadian masa lalu, Indonesia harus menjamin bahwa hak-hak korban atas kebenaran dan keadilan dihormati. Memendam masa lalu hanya mempertahankan penderitaan dan tidak memutus rantai impunitas dan pelanggaran HAM yang telah terjadi berpuluh-puluh tahun”, menurut Josef Benedict.

 

Penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat

Paling tidak 108 orang dicambuk di Aceh di bawah hukum Syariah karena perjudian, meminum alkohol, atau “zina” selama tahun 2015. Pada bulan Oktober, Hukum Pidana Islam Aceh (Qanun Jinayat)  mulai berlaku, memperluas penggunaan penghukuman yang kejam bagi pelaku hubungan seksual sejenis dan hubungan intim antara dua orang di luar ikatan perkawinan, dengan hukuman cambuk maksimum masing-masing 100 dan 30 kali.

“Hukum cambuk merupakan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat, dan bisa merupakan penyiksaan.  Qanun Jinayat di Aceh dan implementasinya merupakan pelanggaran yang jelas terhadap kewajiban HAM internasional Indonesia, dan harus dicabut oleh pemerintah pusat,” menurut Josef Benedict.

 

Hukuman Mati

Pemerintah Indonesia mengeksekusi mati 14 orang pada in 2015. Juga mengkhawatirkan, pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk melanjutkan eksekusi mati pada 2016 – secara potensial menempatkan nyawa dari terpidana mati dalam resiko, dan tak terhindarkan akan menempatkan mereka dan keluarga mereka dalam situasi kecemasan yang hebat dan ketakutan.

Amnesty International menegaskan kembali seruannya kepada pemerintah Indonesia untuk segera menerapkan moratorium eksekusi mati dengan pandangan untuk menghapus secara total hukuman mati.

 

Dokumen Publik

****************************************

Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi tim media Amnesty International di London, Inggris, di: +44 20 7413 5566 atau +44 (0)777 847 2126

email: press@amnesty.org twitter: @amnestypress

International Secretariat, Amnesty International, 1 Easton St., London WC1X 0DW, UK

Tags: #HAM#KebebasanBeragama
Previous Post

Sikap intoleran ‘kian meluas’ di masyarakat Indonesia

Next Post

Cara Tuntut Negara Tegakkan Kebebasan Beragama

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Ahmadiyah

Global Peace Foundation Indonesia Gelar Peace! Project: Membangun Harmoni dalam Keberagaman

21/05/2025
Jelang 17 Agustus Ahmadiyah Dilarang Gelar Bazar Kemerdekaan, YLBHI: Ini Pelanggaran Konstitusi RI

Jelang 17 Agustus Ahmadiyah Dilarang Gelar Bazar Kemerdekaan, YLBHI: Ini Pelanggaran Konstitusi RI

10/08/2024
Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Muslim Indonesia Terhadap Lingkungan serta Perubahan iklim

Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Muslim Indonesia Terhadap Lingkungan serta Perubahan iklim

24/07/2024
Dijegal Menjadi Kepala Daerah, Elemen Gerakan Perempuan Aceh Menegaskan: Partisipasi Perempuan dalam Pilkada adalah Hak Konstitusional

Dijegal Menjadi Kepala Daerah, Elemen Gerakan Perempuan Aceh Menegaskan: Partisipasi Perempuan dalam Pilkada adalah Hak Konstitusional

23/07/2024
Next Post
Cara Tuntut Negara Tegakkan Kebebasan Beragama

Cara Tuntut Negara Tegakkan Kebebasan Beragama

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gereja Ortodoks Rusia di Indonesia: Menjumpa dan Menyapa yang Berbeda dengan Cinta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Elisheva Wiriaatmadja, Contoh Penganut Judaisme yang Terbuka di Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dewi Kanti Rela Tak Punya Akta Nikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In