
Beberapa waktu lalu, kita dikejutkan oleh gambar-gambar yang diblur. Bukan hanya dada perempuan berkebaya pada ajang pemilihan Puteri Indonesia, tapi juga kartun bahkan tubuh binatang. Apa yang menyebabkan kegilaan ini tiba-tiba muncul?
Sesaat setelah gambar-gambar itu beredar dan menjadi bahan cemoohan publik, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) buru-buru mengeluarkan pernyataan. Mereka membantah bahwa aksi blur itu atas instruksi lembaga pengawas media ini. Idy Muzayyad, anggota KPI, menyatakan, bahwa lembaganya tidak pernah melarang perempuan memakai kebaya atau pakaian trandisional lainnya di televisi (Republika, 26/02).
Jika bukan karena instruksi lembaga negara, maka ini adalah bentuk swa-sensor dari media sendiri. Mengapa itu muncul dan menjadi marak? Tulisan ini coba mengajukan dua kemungkinan jawaban: antisipasi terhadap sensor negara dan doktrin dominan dari dalam media itu sendiri.
Berkaca pada Orde Baru
Sensor yang mendorong swa-sensor sudah lama ada di Indonesia. Masa Orde Baru memberi banyak contoh bagaimana sensor dan swa-sensor di media terjadi. Pada masa Orde Baru, ada dua hal yang membuat swa-sensor media terjadi: menghindari sensor langsung dari negara dan adanya doktrin pembangunan.
Di masa rezim Soeharto, negara begitu ketat mengawasi semua produk berita. Negara bahkan turun tangan langsung memproduksi berita dan harus disiarkan oleh semua kanal media. Negara memiliki perusahaan media sendiri seperti Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan Radio Republik Indonesia (RRI) yang menjadi suara tunggal dalam semua produk berita, terutama yang menyangkut politik, ekonomi, dan kebijakan publik lainnya.
Kontrol negara atas media muncul dalam bentuk-bentuk informal, misalnya bahwa pekerja media (pemimpin redaksi, editor, bahkan jurnalis lapangan) bisa sewaktu-waktu ditelepon oleh menteri, pejabat atau didatangi langsung oleh aparat keamanan untuk melakukan konfirmasi atau teguran atas produk berita yang mereka anggap keluar dari kepentingan penguasa. Sanksi atas ketidak-patuhan itu muncul dalam bentuk pembreidelan, misalnya yang menimpa Majalah Tempo, Detik dan Editor. Sanksi lain bisa dalam bentuk pemenjaraan wartawan atau bahkan penghilangan, seperti yang menimpa jurnalis Bernas Yogyakarta, Udin.
Pressure yang ketat dari negara memaksa media untuk melakukan swa-sensor. Dalam sebuah wawancara, Pendiri Kompas, Jacob Oetama, menyatakan pada Ross Tapsell (2012) bahwa media harus menyuguhkan berita sebanyak-banyaknya pada publik. Tapi untuk mewujudkannya, maka media harus hati-hati.
Sementara itu, dalam wawancara tahun 2006, Abdurrahman Wahid menyatakan pada Tapsell, “Under Suharto the ministry was a kind of police over us. Always when I write, I have to apply a kind of self-censorship, otherwise my piece will not be published. You had to be careful. Suharto controlled society through that.”
Sumber swa-sensor yang kedua pada masa Orde Baru adalah adanya doktrin bahwa media atau jurnalisme adalah semata alat pembangunan. Tahun 1980an dan 1990an, di Asia Tenggara, tak terkecuali Indonesia, dikenal istilah developmental journalism atau jurnalisme pembangunan (Tapsell, 2012).
Swa-sensor terjadi karena pekerja media merasa mereka adalah bagian yang harus mensukseskan pembangunan. Mereka merasa memiliki tanggungjawab untuk mendukung pembangunan. Karena itu, segala produk jurnalisme mengarah pada gagasan pembangunan itu. Segala sesuatu yang potensial kontra-produktif pada pembangunan, mereka akan singkirkan dari meja redaksi.
Di sini, prinsip pertama jurnalisme untuk memaparkan kebenaran tereduksi oleh prinsip lain, yakni pembangunan. Persoalannya, pembangunan yang menjadi koor utama media adalah pembangunan yang didefinisikan oleh penguasa yang tidak demokratis, yakni junta militer Soeharto.
Swa-sensor Kini
Dua pendekatan yang digunakan untuk membaca swa-sensor yang terjadi pada masa Orde Baru bisa juga digunakan untuk membaca fenomena swa-sensor yang terjadi sekarang. Pertama, media massa, terutama televise, saat ini sangat berhati-hati karena adanya pengawasan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Komisi ini setiap saat bisa memanggil media yang dianggap melanggar ketentuan-ketentuan KPI.
Baru-baru ini KPI, misalnya, mengeluarkan surat edaran tentang larangan bagi televisi menampilkan gaya keperempuanan. Surat edaran bernomor No. 203/K/KPI/02/16 itu menjadi perbincangan banyak kalangan. Entah apa yang dimaksud oleh KPI pakaian keperempuanan atau kewanita-wanitaan pada surat itu.
KPI adalah representasi negara yang secara tidak langsung mendorong televisi melakukan swa-sensor atas produk mereka. Fenomena pembluran sejumlah tayangan adalah bentuk swa-sensor untuk menghindari teguran KPI.
Pada sisi doktrin, apa yang terjadi pada masa Orde Baru, juga terjadi pada masa kini. Pada masa Orde Baru, para pekerja media merasa menjadi bagian dari proyek pembangunan. Ideal semacam ini masih dipertahankan hingga kini dalam bentuk yang lebih beragam, misalnya nasionalisme, religiusitas, moralitas, dan seterusnya.
Menurut Steele (2011, dikutip Tapsell 2012), beberapa jurnalis dan editor di Indonesia yang masih percaya bahwa ‘jurnalis yang bertanggungjawab’ harus memfilter atau menurunkan tone laporan-laporan mereka mengenai isu-isu yang dianggap sensitif, Mereka bahkan berpendapat bahwa adalah lebih baik tidak melaporkan kekerasan etnit atau agama.
Pada ranah yang lain, mulai muncul, dan semakin banyak, pekerja media yang merasa menjadi penjaga moral atau agama. Karena itu, mereka akan mendahulukan tanggung-jawab menjaga moralitas dan religiusitas itu daripada melaporkan fakta dan kebenaran.
Itulah yang menjelaskan kenapa berita-berita, misalnya, tentang kekerasan pada kelompok minoritas acapkali tidak berimbang. Alih-alih berpihak pada korban, banyak media justru menjadi corong kelompok besar pelaku kekerasan. Ini terjadi karena adanya anggapan mengamini dalih penyerang untuk menyelamatkan agama dan moralitas.
Tentu saja masih banyak media dan jurnalis yang masih memegang teguh prinsip-prinsip jurnalisme. Tapi konservatifisme agama yang sekarang berkembang semakin luas di masyarakat juga mulai masuk ke kalangan media.
Alhasil, swa-sensor dalam bentuknya yang negatif mungkin bisa diminimalisir jika saja tangan-tangan negara meminimalisir intervensi mereka pada media. Pada saat yang sama, profesionalisme pekerja media yang mengedepankan prinsip-prinsip universal jurnalisme juga sangat dibutuhkan.
Saidiman Ahmad, Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting