Beberapa peserta Workshop SEJUK menepi dari gerimis di Sinagog, rumah ibadah Yahudi, di Tondano, Minahasa (21/5/2016)
Saya dan seorang teman dari Palu, Musyawir Acox, berencana membuat momen puasa Ramadan (tahun lalu, 2016) menjadi pengalaman yang menarik. Anda tahulah, bukan sekadar sahur pertama dengan keluarga, potong ayam, buka puasa di awal Ramadhan dengan menu lengkap, dll.
Ada dua opsi yang sempat kami perdebatkan: pergi ke Palu bersama dia agar di sana saya diharapkan bisa anjangsana ke komunitas-komunitas literasi yang digelutinya, atau pergi ke Minahasa untuk melakukan perjalanan jurnalistik, meliput budaya, sejarah, dan orang-orangnya. Setelah berdebat beberapa hari lamanya (lebih tepatnya menunggu kepastian), saya menuturkan cerita saya meliput komunitas Yahudi di Tondano bersama Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) sebelumnya.
“Bagaimana kalau kita menginap di rumah mereka?” usul saya antusias.
“Boleh juga, tapi apa diizinkan yah?” jawabnya masih ragu.
Tanpa menunggu konfirmasi dari Rabbi Yacoov Baruch (pimpinan komunitas Yahudi di Tondano), kami sudah berada di tengah perjalanan dari Gorontalo ke Tondano. Tepatnya di Jl. Trans Sulawesi, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Dan saya mendapat pesan via whatsapp (WA) dari Rabbi Yacoov bahwa dia sedang berada di Amerika dan dia dengan senang hati mempersilahkan kami mengunjungi Shaar Hasyamayim Synagogue di Tondano melalui juru kuncinya Noel.
Lebih dari 8 jam perjalanan di dalam bus yang sering berhenti karena kempes ban, beberapa kali mogok dan penumpang yang turun untuk buang air, akhirnya hawa dingin yang selalu saya rindukan dari tanah Minahasa itu terasa. Tampaknya hari telah senja. Kami sampai lupa sedang berpuasa dan telah saatnya berbuka. Untunglah ada masjid di terminal kota ini yang mengumandangkan azan. Sebotol air mineral volume 1 liter ditambah sewadah kurma menjadi menu pertama buka puasa kami di awal perjalanan ini (setelahnya, menu kami tetap sama).
Bingung mau kemana, saya meminta kontak dari Lulu Ramadhani teman pers mahasiswa Inovasi Universtas Samratulangi. Akhirnya kami dijemput oleh 2 motor berpenumpang 4 orang dari LPM Euridice: Iss, Septian Paath, Enjel Sakul dan Tabitha Karundeng. Selanjutnya kami bermalam di sekretariat mereka.
Hari-hari berlalu, beberapa daerah telah kami sambangi mulai dari Manado (tempat kelahiran Ibu), Bitung (tempat saya dilahirkan), Tomohon dan tentu saja Tondano. Kami pun sempat berdiskusi dengan pemuda Minahasa yang juga anggota di salah satu kelompok teater di Universitas Negeri Manado. Kami berbincang soal sejarah Minahasa, budaya, ekonomi, hingga cap tikus (minuman keras tradisional Minahasa).
Akhirnya momen yang ditunggu-tunggu pun tiba. Saatnya mengunjungi Sinagog. Kontak mengontak saya lakukan dengan Noel salah seorang jemaat Yahudi Tondano. Akhirnya kami berempat, Iss, Septian, Ilona, saya dan Musyawir bertemu pada hari Sabtu di Sinagog. Mereka nampak kaget melihat Noel beribadah. Saya yang sebelumnya sudah pernah melihatnya hanya ikut menambah rasa antusias mereka. Septian meniru gaya Noel, kami pun tertawa dalam diam (bukan bermaksud mengolok rasanya hanya lucu saja dengan kelakuan Septian). Lambat kami menyadari kalau ternyata hari Sabtu itu Sabbath bagi Yahudi, ada sejumlah aturan yang harus ditaati.
“Ngoni kalau pigi hari lain, saat torang rame-rame ibadah bagus. Itu Gulungan Torah boleh mo kase kaluar,” komentar Noel dengan logat Manado yang kental.
Defry Hamid dan rekan-rekannya sesama peserta workshop pers mahasiswa Jurnalisme Keberagaman SEJUK di Manado (20-22/5/2016)
Kami berbincang-bincang hangat, dari persoalan Yahudi hingga terpeleset jauh ke ranah pribadi kami. Noel bercerita tentang dia yang tak tahu berbahasa Inggris namun kerap didatangi turis di Sinagog ini. “Saya hanya jawab yes no, yes no” kisah Noel.
Tak selang beberapa jam kemudian, benar saja, apa yang ditakutkannya datang. 3 orang turis asing keluar dari sebuah mobil: lelaki, perempuan dan seorang putri (terlihat seperti sebuah keluarga). Mereka bertanya-tanya dan melihat-lihat isi gedung yang lebarnya tak lebih dari 10 meter itu, tak ketinggalan menjepret-jepret dengan kamera.
“Itu kita so bilang apa,” kata Noel dengan raut cemas setelah ketiga turis itu beranjak.
Setelah berbasa-basi kami membuat janji beberapa hari ke depan kami akan datang lagi ke sini, tak lupa pula saya menuturkan keinginan kami untuk menginap di rumahnya.
“Kita mo hubungi Pak Rabbi Yakoov dulu neh, jangan taru kira, harap maklum,” begitulah kira-kira jawabnya.
Beberapa hari kemudian kami diundang ke rumahnya. Malah ia mengajak barangkali kami mau sekaligus buka puasa di rumahnya. Mendapat tawaran seperti itu, tentu saja dengan senang hati kami terima.
“Malam!” salam kami saat memasuki rumah Noel. Rumah sekaligus warung makan itu berdiri di atas tanah kering di pinggiran jalan. Tak ada bangunan lain di dekatnya. Posisinya tersudut di pinggir jurang. Rumah yang sederhana sekali.
“Malam, mari silahkan masuk!” jawab beberapa pasang wajah di dalam dengan senyuman yang begitu ramah.
Di situ ada Noel tentu saja dan seorang perempuan sawo matang berpotongan rambut pendek yang merupakan Istri Noel. Satu lagi wajah yang sudah saya kenal, Yobby Hattie Ensel, seorang Imam di komunitas Yahudi itu. Aroma sedap terhirup dari hidangan di atas meja.
“Makan dulu!”
Mendapat aba-aba demikian, kami langsung saja membumbungi piring dengan nasi, sayur kangkung dan Bebek bumbu RW yang sudah tersaji dengan apiknya. Setelah makan, kami ditawari teh manis. Lengkap sudah kegembiraan ini.
“Kalau di Yahudi ada istilah Kosher,” kata Yobbi Ensel seketika.
“Kosher artinya layak, kalau di Islam mungkin halal,” sambungnya.
Wow, kok bisa? Batin saya. Yobbi terus bercerita.
“Sayangnya kalau di Islam melarang anggur (minuman keras). Di Yahudi anggur itu kosher, yang penting tidak ada campuran apa-apa. Atau seperti di Amerika, ada perusahaan khusus makanan dan minuman orang Yahudi, jadi dilabeli kosher.”
Di Islam juga ada pelabelan seperti itu: halal oleh MUI.
Yobbi membeberkan sejumlah daftar yang tidak boleh dimakan oleh orang Yahudi, di antara makanan-makanan itu justru ada yang dihalalkan dalam Islam. Ia menyebut makanan yang diharamkan untuk orang Yahudi di antaranya babi, udang dan kepiting.
“Kosher bagi kami bukan sebatas pelabelan, karena kami yakini sesuai yang diperintahkan Tuhan (sambil melafazkan ayat berbahasa Ibrani), bahwa apa yang kami makan akan menjadi bagian tubuh ini, selanjutnya akan mempengaruhi kebersihan jiwa kami. Bagaimana mungkin jiwa yang bersih berasal dari makanan yang kotor?” paparnya.
Lalu bagaimana dengan orang Islam yang hobi minum oplosan itu? Saya mengambil kesimpulan, ini bukan persoalan perbedaan aturan di kedua agama ini, mana yang boleh dan mana yang tidak di antara keduanya. Tapi hal yang substantif tadi adalah nilai spriritualitas dalam mempertimbangkan apa yang kita makan. Aturan merupakan konteks yang berbeda dengan kesadaran spiritual kita, bahwa walaupun minuman keras haram dalam Islam masih banyak yang mengonsumsinya karena mereka tidak pernah betul-betul mengkaji kandungan, dampaknya seperti apa, kata orang yang penting happy.
Ini berbeda dengan konteks haramnya daging babi, bukan karena kesadaran spritualitas, tapi hanya karena pikiran mereka terasosiasi dengan makanan babi yang berlumpur, habitat babi di lumpur, dan konon katanya ada cacing pita di dalamnya. Babi menimbulkan rasa jijik dan minuman keras menimbulkan rasa ketagihan. Tak lebih dari itu. Tidak ada hubungannya dengan apakah jika mereka mabuk karena minuman akan terjadi kecelakaan saat berkendara, atau apakah daging babi bisa tertelan dan rasanya enak (tentu saja iya).
Defry Hamid Sofyan (LPM MERAH MARON Universitas Negeri Gorontalo)
Percakapan kami semakin dalam, saya hanya bisa tercengang mendapati bahwa begitu banyaknya persamaan di antara ajaran kami. Waktu ibadah diatur berdasarkan waktu (pagi, siang, malam); kitab suci yang harus ditulis dengan hati-hati agar tidak keliru; membaca kitab suci harus perlahan dan dilagukan; kedudukan ilmu yang ditinggikan; adanya imam; aturan halal haram pada makanan dan minuman; hari raya dan lain-lain.
Saya tercengang mungkin karena kebodohan saya selama ini, sebagaimana mayoritas umat Islam di Indonesia yang saat menyebut Yahudi selalu dengan penuh kebencian, prasangka dan tuduhan. Untunglah saya bisa berada di lingkungan orang berpikiran terbuka, jika tidak saya pasti senasib dengan katak dalam tempurung.
Kami kemudian membahas soal ketuhanan dan surga-neraka. Pembahasan ini membuat saya terguncang. Ini adalah sesuatu yang luar biasa, yang belum pernah saya dengar selama 6 tahun saya di pesantren.
“Tuhan bagi kami milik semua orang, semua umat. Karena sesuai firmannya (bahasa Ibrani), tujuan Tuhan menciptakan manusia dengan berbagai golongan itu ibarat jalan yang banyak dan akan bertemu pada satu titik, satu tujuan, yaitu menuju kepada-Nya. Jika kami memaksa orang masuk Yahudi atau mengklaim mereka salah dan kami benar, maka kami melanggar ketentuan Tuhan.”
Saya tak bisa membayangkan seorang ustad atau imam dalam Islam, yang setara statusnya dengan Yobbi, berkata demikian.
“Dan bagi kami tidak ada yang namanya surga atau neraka, tempat kembali hanya kepada-Nya,” sambungnya.
Bayangkan tidak ada surga dan neraka! Tuhan menurut mereka seindah itu.
Suasana mulai cair, karena Yobbi dan Noel mulai bernostalgia dengan masa lalu mereka. Yobbi adalah seorang pendeta di Pantekosta dan Noel berasal dari keluarga Kristen yang toleran. Noel punya saudara muslim, demikian juga Istrinya. Mereka semua memilih Yahudi atas dasar keinginan pribadi.
Noel juga bercerita masa-masa mudanya yang hobi naik gunung dan melancong. Perjuangan romantisme memperjuangkan meminang Istrinya. Sementara Yobbi selain seorang pendeta juga adalah sosok yang ditakuti di tempat tinggalnya.
“Soal kalian ingin menginap di sini, belum bisa kayaknya, tadi saya telepon Rabbi Yakoov, katanya jangan dulu menerima tamu yang ingin menginap karena pergerakan anti-semit sedang marak-maraknya,” kata Noel dengan sangat hati-hati. Ternyata mereka juga korban dari terorisme.
Yobbi pun berkata sambil sedikit tertawa, “Namun bukan berarti kami orang baik semuanya. Torang sama seperti orang lain, bisa saja berbuat salah. Bahkan lebih banyak yang jahat. Sama seperti manusia di bumi ini, sedikit yang benar-benar baik.”
Kesimpulan yang klimaks, sungguh sangat bijaksana. Saya pun merenung tanpa perjalanan ini saya tak bisa tahu apa-apa tentang-Nya. Sungguh Tuhan tak sesempit halal-haram dan surga-neraka. Dia ada saat kita bisa menampung semua perbedaan seisi bumi di batok kepala kita.
Terimakasih Minahasa, terima kasih Yahudi, terimakasih Tuhan. []
Defry Hamid, LPM Merah Maron Universitas Negeri Gorontalo
Sumber: http://defryhamid.blogspot.co.id/