
Agenda sidang eks-Gafatar ke-20 mendengarkan keterangan para terdakwa. Sidang kriminalisasi terhadap Mahful Muis, Abdussalam alias Ahmad Mushaddeq, dan Andry Cahya digelar Pengadilan Negeri Jakarta Timur dengan dakwaan melanggar pasal 156a tentang Penodaan Agama dan pasal 110 KUHP juncto 107 KUHP tentang Permufakatan Jahat atau makar untuk menggulingkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara atau seumur hidup.
Terkait dengan tuduhan bahwa Millah Abraham adalah ajaran sesat, Mushaddeq sebagai Terdakwa 2 di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (2/2/2017) menegaskan bahwa bahwa sesungguhnya Millah Abraham adalah Islam. Ia juga menegaskan jika rukun Islam bukan hanya diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, karena sejak zaman Nabi Ibrahim atau Abraham sudah ada salat, begitu juga haji dan puasa, dikarenakan hal tersebut merupakan tradisi nenek moyang.
Sejalan dengan hal tersebut, buku Kerajaan Allah yang dibuatnya selama masih dalam masa tahanan bukan sebagai kitab suci baru dan bukan sebagai dasar dalam memberikan pemahaman agama baru.
“Dasar saya menyampaikan pemahaman Millah Abraham adalah al-Quran, Injil dan Taurat,” tegasnya.
Ia juga menambahkan jika isi buku tersebut menceritakan tentang tegaknya kerajaan Allah yang dibawa oleh Yesus di muka bumi secara nyata. Dasar pembuatan buku tersebut tidak lain hanya ingin tetap mengabdi kepada bangsa dan tanah air, bukan sebagai bentuk niatan untuk memerangi dan menyampaikan kebencian.
Dirinya juga megaku tidak pernah terlibat secara langsung dengan Gafatar dan NKTN (Negeri Karunia Tuan Nusantara) selain hanya sebatas sebagai undangan saja. Sehingga, Mushaddeq tidak begitu mengetahui sepak terjang dua organisasi tersebut. Kendati begitu, dalam persidangan ia sempat mengutarakan, “Pemahaman keyakinan Millah Abraham bersumber dari saya dan telah tersebar di Malaysia, Timur Tengah, Australia dan London, di mana kesemuanya itu dilakukan hanya berdasarkan undangan.”
Mengenai akta kelahiran yang dikeluarkan oleh Gafatar, Mushaddeq menjelaskan hal tersebut sebagai keterangan pemberkaatan atau bentuk pengorbanan yang wajib dilakukan bagi orang tua untuk anak kandungnya. Itu seperti praktik akikah dalam Islam. Maka yang benar bukan akta kelahiran, tetapi yang diterbitkan Gafatar ataupun NKTN adalah Akta Pengorbanan.
Akta Kelahiran menjadi fakta unik dalam persidangan lantaran dijadikan sebagai bukti dugaan telah berlakunya hukum kenegaraan di organisasi NKTN. Namun hal tersebut selain disangkal Mushaddeq juga oleh Andry Cahya, Terdakwa 3. Menurutnya hukum yang harus ditaati oleh pengurus dan anggota kelompok tani NKTN adalah hukum Tuhan. Hukum Tuhan yang ia maksud seperti halnya 10 perintah Allah dan hukum alam serta hukum positif. Jadi, sama sekali tidak ada hukum positif tersendiri di NKTN.
“Adapaun jika terjadi pelanggaran, maka diberikan sanksi organisasi yang lebih bersifat teguran dan pembinaan,” ujarnya.
Pada kesempatan itu pula Andry Cahya yang merupakan mantan Presiden NKTN tersebut mengatakan bahwa program yang dilakukan murni sebatas kedaulatan pangan semata. Memilih Kalimantan selain dikarenakan keputusan organisasi demi menyelamatkan warga yang terusir, juga dikarenakan masyarakat dan alamnya yang mendukung.
Dirinya merasa menjadi bagian dari korban pengusiran dengan lahan seluas 25 hektar yang dibelinya dan telah siap ditanami jahe tetapi harus direlakan begitu saja pada saat kejadian pembakaran dan pengusiran. Namun dalam kasus tersebut, dirinya mengaku memberikan instruksi kepada warga eks-Gafatar yang diusir paksa untuk tidak melakukan pembalasan dan juga bertindak anarkis karena dinilai hal tersebut melanggar hukum Tuhan dan hukum positif. Ia pun menegaskan bahwa kasus di Mempawah terjadi bukan dilakukan oleh warga sekitar.
“Kami punya foto-fotonya. Ada perbedaan tanda-tanda orang yang melakukan, ada yang pakai helm, tidak pakai helm dan yang berorasi, semuanya dibedakan dengan pita merah dan pita kuning,” ungkapnya.
Namun disayangkan sampai dengan saat ini tidak ada tindakan kepada para oknum yang melakukan perusakan tersebut. Andry juga mengatakan jika selama menjadi Presiden NKTN dirinya dan seluruh anggota tidak pernah melepaskan identitas kenegaraannya dan tetap berdasarkan pada ideologi Pancasila. Demikianlah dasar dalam organisasi NKTN.
Adapun tuduhan tentang kekuasan untuk penggulingan atau makar dengan membuat negara tandingan bukan merupakan cita-cita yang diraih.
”Bagi NKTN atau eks-Gafatar, kekuasaan adalah hak prerogratif Allah. Bukan atas kehendak manusia,” kata Andry.
Dari agenda sidang mendengarkan keterangan terdakwa terdapat fakta dalam persidangan yang disampaikan oleh ketiganya bahwa terjadi kejanggalan dalam proses penyidikan dan isi dari BAP (Berita Acara Pemeriksaan). Menurut Andry ada perbedaan isi dalam keterangan pelaporan, panggilan dan juga keterangan BAP.
“Dakwaan pasal makar sebelumnya tidak dimunculkan pada saat BAP. Isi BAP sempat dipertanyakan, sebelum dilakukan tandan tangan. Selain itu isi BAP yang ditulis oleh penyidik sebelumnya telah diisi dan bukan sepenuhnya hasil dari pemeriksaan secara langsung. Namun penyidik justru mengatakan apabila terdakwa keberatan atas hal ini, silahkan disampaikan dalam persidangan,” papar Andry menyibak kejanggalan BAP.
Fakta lainnya dalam persidangan membuktikan ketiga terdakwa mengucapkan dua kalimat syahadat dan mampu menjelaskan makna dua kalimat syahadat itu sesuai dengan keyakinan Islam mainstream. Sejauh jalannya persidangan.
Anggota Penasehat Hukum terdakwa, Yudistira Arif Rahman Hakim sangat menyesalkan jalannya persidangan yang sejak awal sampai sidang ke-20, baik dari mendengarkan keterangan saksi dari Jaksa Penuntut Umum, saksi Penasehat Hukum dan juga keterangan terdakwa, justru banyak ketidaksesuaian atas pasal-pasal dakwaan dengan bukti-bukti yang telah diungkapkan dalam persidangan. Hal tersebut jelas bahwa negara melakukan pelanggaran dalam menangani kasus eks-Gafatar.
***Dilaporkan kontibutor Sejuk.org Nanang Nurhayudi