Diskusi eks-Gafatar tentang Makar di LBH Jakarta (22/2/2017)
Jerat kasus permufakatan jahat atau makar terhadap negara belakangan semakin megancam kebebasan warga diiklim demokrasi ini. Tuduhan makar kini menjerat beberapa tokoh organisasi masyarakat saat mengutarkan dan mengekspresikan pendapatnya.
Tiga petinggi eks-Gafatar Mahful Muis, Ahmad Mushaddeq, dan Andry Cahya sedang menunggu hasil putusan persidangan pada 7 Maret mendatang dengan salah satu tuduhannya makar. Tuntutan terhadap mereka masing-masing 12 dan 10 tahuh penjara. Ketiganya didakwa melanggar Pasal 110 KUHP jo. Pasal 107 KUHP (tentang makar) dan Pasal 156a (tentang penodaan agama) hanya karena dalam organisasi mereka menggunakan elemen serupa jabatan struktural pemerintahan, seperti penggunaan istilah presiden, wakil presiden, untuk menjalankan fungsi pengorganisasian di internal organisasi.
Ketiganya juga diduga melakukan persiapan dalam menggulingkan pemerintahan saat ini di balik kegiatan kedaulatan pangan di Kalimanatan secara mandiri yang notabene pelaksanaannya dilakukan bersama dengan pemerintah daerah setempat. Padahal, dari fakta-fakta peristiwa dan fakta-fakta hukum, dalam proses peradilan dari keterangan dan kesaksian para saksi, ahli dan terdakwa, penggunaan istilah-istilah tersebut dan aktivitas pertanian, senyatanya bukan untuk menggulingkan pemerintahan dan tidak dapat dijadikan sebagai indikator niat atau perbutan persiapan maupun perbuatan pelaksanaan untuk menggulingkan pemerintah NKRI saat ini.
Permufakatan jahat atau makar sebagaimana tercantum dalam pasal 87, 88, 104, 106, 107, 109 dan 110 KUHP merupakan bentuk tindakan yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang yang mengakibatkan presiden tidak dapat menjalankan fungsi atau tugasnya, selain itu juga membuat pemerintahaan baik pusat ataupun daerah tidak berjalan.
Eva Ahjani Zulfa (kiri) dan Papang Hidayat (kanan)
Ahli hukum Universitas Indonesia (UI) Eva Ahjani Zulfa dalam diskusi tentang Makar yang digelar di LBH Jakarta (22/2/2017) menyoal definisi makar pada Pasal 87 yang mengandaikan dua syarat: niat dan permulaan pelaksanaan. Sehingga, secara teori dan praktik penerapan tentang permufakatan jahat atau makar jauh dari apa yang dituduhkan terhadap ketiga petinggi eks-Gafatar. Permulaan pelaksanaan pun harus diuji dengan melihat kemampuan dari para terdakwa untuk melakukan makar. Selain itu, sepanjang proses persidangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sama sekali tidak dapat mengajukan alat bukti untuk membuktikan adanya perbuatan pelaksanaan (tindakan) atau kemampuan mapun niat dari para terdakwa untuk melakukan makar untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.
Kegiatan atau aktivitas maupun ekspresi ketiga terdakwa sama sekali tidak memenuhi unsur-unsur makar maupun persiapan melakukan makar. Sehingga tidakditemukan kejahatan yang terbukti dilakukan oleh para terdakwa secara bersama-sama. Hal ini juga merujuk pada argumentasi Eva dimana tindakan makar hanya mungkin jika ada kesamaan kehendak dari dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan makar dengan melihat sejauh mana kemampuan mereka melakukan tindakan makar, seperti menggulingkan pemerintahan. Tuduhan melakukan latihan militer maupun rencana pembelian senjata yang disampaikan JPU kepada para terdakwa sama sekali tidak dapat dibuktikan di muka persidangan.
Bagi Eva, hak untuk berekspresi seperti kritik atau memberikan masukan terhadap pemerintah bukanlah suatu permulaan pelaksanaan dari makar. Hal tersebut justru merupakan hak setiap warga negara dan dilindungi oleh Konstitusi.
Sementara, aktivis Amnesty International Papang Hidayat pada kesempatan yang sama menegaskan bahwa dalam prinsip-prinsip atau instrumen HAM tidak mengenal kata makar. HAM internasional lebih menekankan apakah suatu ekspresi nir-kekerasan (damai) boleh dibatasi atau tidak? HAM PBB menggarisbawahi, sebuah ekspresi hanya bisa dibatasi, sambung Papang, jika mengandung unsur kebencian atas nama bangsa, agama, ras atau etnis yang merupakan bagian dari hasutan yang mendorong orang atau publik melakukan kekerasan.
Hal tersebut diamini oleh Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W. Eddyono bahwa sejauh warga negara atau kelompok melakukan ekspresi sah secara damai, maka hal tersebut tidak bisa dihukum. Maka tantangannya, Aanslag atau makar (serangan) harus terlebih dahulu didefinisikan secara lurus oleh Mahkamah Konstitusi (MK), bukan justru dalam proses peradilan. Harus ada Judicial Review di MK tentang Aanslag atau Pasal Makar. Jika tidak pasal ini akan sangat berbahaya karena dapat berujung pada kriminalisasi masyarakat.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, ketika fakta-fakta persidangan yang diperoleh dari berbagai alat bukti sama sekali tidak mampu menunjukkan terbuktinya tuduhan-tuduhan makar dengan maksud menggulingkan pemerintah dan penodaan agama yang dilakukan oleh para terdakwa, maka sudah selayaknya Majelis Hakim dalam perkara ini membebaskan para terdakwa dari seluruh tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Dari kiri ke kanan: Papang Hidayat, Supriyadi W. Eddyono, Eva Ahjani Zulfa, dan Yudistira Arif Rahman Hakim
Kontak:
Eva Ahjani Zulfa, Ahli hukum Universitas Indonesia (UI): 0813 8011 1591
Papang Hidayat, Amnesty International: WA +44 7511 701079
Supriyadi W. Eddyono, Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR): 0815 8631 5499
Yudistira Arif Rahman Hakim, Penasehat Hukum eks-Gafatar: 0815 7884 7777