Aksi International Women’s Day 2017 di Jakarta (4/3/2017)
Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah menyampaikan ada 100.000 lebih kasus pembunuhan terhadap perempuan di Indonesia yang tidak terdata karena masih dianggap sebagai kasus kriminalitas biasa, bukan kasus pembunuhan berbasis gender. Padahal sepanjang tahun 2016 saja perkosaan berkelompok (gang rape) serta penganiayaan seksual disertai dengan pembunuhan terhadap perempuan karena mereka perempuan (femicide) menjadi peristiwa kekerasan yang menyita perhatian publik.
Karena itulah kekerasan seksual terhadap perempuan menjadi isu utama Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2017 (CATAHU 2017) yang diluncurkan untuk memperingati Hari Perempuan Internasional. Dalam Diskusi Publik bertema “Apa yang bisa kita lakukan untuk melawan kekerasan seksual?” yang digelar di Ruang Persahabatan Komnas Perempuan, Jakarta Pusat, Rabu 8 Maret 2017, Yuni mengutarakan bahwa kekerasan seksual yang disertai pembunuhan terhadap perempuan (femicide) terjadi karena katersinggungan dan arogansi maskulinitas. Sehingga, kondisi darurat seperti ini semakin menegaskan pentingnya pengesahan rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual agar negara hadir secara lebih serius melindungi perempuan.
“Begitu banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, dimana pola dan bentuknya lebih cepat dari kemampuan negara menanganinya” ujar Yuni.
CATAHU 2017 Komnas Perempuan menemukan 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani di seluruh Indonesia. Kasus-kasus tersebut terjadi di antaranya disebabkan perkawinan anak usia dini yang sangat rentan terhadap kekerasan.
“Mental dan alat reproduksi mereka belum siap. Ironisnya, orang tua merestui, negara mensahkan dan masyarakat merayakan,” sesal Yuni.
Terlebih lagi, kekerasan dalam rumah tangga dan hubungan pacaran tidak lain labirin kekerasan terhadap perempuan. Kerentanan perempuan lainnya diceritakan Yuni pada kasus perdagangan perempuan dan buruh migran yang menjadi korban sindikat perdagangan narkoba. Tidak sedikit yang berakhir pada hukum mati atas perbuatan yang sama sekali mereka tidak ketahui karena dimanfaatkan oleh para sindikat dan mafia.
Berangkat dari temuan dan pendokumentasian data CATAHU 2017, Komnas Perempuan merekomendasikan negara untuk mengupayakan pendalaman pengetahuan, pengenalan pola dan pencegahan serta penanganan korban kekerasan terhadap perempuan, termasuk pada kekerasan yang berulang dan keji seperti perkosaan berkelompok (gang rape) dan femicide.
Sophia Hage (kedua dari kiri) dan Yuniyanti Chuzaifah (ketiga dari kiri) dalam Diskusi Publik Komnas Perempuan “Apa yang bisa kita lakukan untuk melawan kekerasan seksual?” (8/3/2017)
Sementara itu perempuan dengan spesialisasi bidang kedokteran olahraga dari Universiatas Indonesia (UI) dr. Sophia Hage mendorong bahwa salah satu upaya penghentian kekerasan seksual terhadap perempuan adalah dengan menjadikan ikhtiar tersebut sebagai gerakan bersama di masyarakat. Bersama Komnas Perempuan dan organisasi masyarakat sipil lainnya Sophia menginisiasi sebuah gerakan dengan tagar #GerakBersama untuk mengajak siapa saja bergerak bersama melawan kekerasan seksual.
Menurutnya kasus kekerasan perempuan bukanlah hal yang mudah untuk dibicarakan baik di tingkat masyarakat maupun kehidupan personal. Karena itu kegiatan dengan tema The Untold Story yang pernah Sophia buat sangat membantu para korban kekerasan terhadap perempuan menceritakan kasus-kasus yang mereka alami yang tidak tersampaikan karena dianggap tabu. Prosesnya dilakukan dengan mendengar cerita-cerita para korban tanpa menghakimi. Karena, menurutnya, respon kita dalam mendengar akan mempengaharui langkah-langkah mereka selanjutnya dalam pemulihan.
“Partisipasi dan keterlibatan masyarakat akhirnya menjadi penting untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan untuk membuat sebuah perubahan,” pungkas Sophia.
**Dilaporkan Rifah Zainani