Dokter Otto Rajasa (Dokumentasi GERAI, Balikpapan)
Dokter Otto Rajasa hari ini, Rabu (26/7/2017), divonis Ketua Majelis Hakim Aminuddin SH, MH, dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp50 juta, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar digantikan pidana kurungan selama satu bulan. Persidangan digelar di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur.
Meskipun terlepas dari jerat pasal 156a KUHP tentang Penodaan Agama, karena status Facebook dr. Otto sama sekali tidak memenuhi unsur-unsurnya, tetapi menurut Aminuddin dr. Otto terbukti bersalah menyebarkan rasa kebencian maupun permusuhan yang mengandung SARA. Oleh Majelis Hakim dr. Otto dikenai pasal 28 (2) Jo pasal 45 (2) UU ITE No 11 tahun 2008.
Padahal Direktur Operasional Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) Sigit Widodo, yang merupakan saksi ahli persidangan dr. Otto, menyatakan barang bukti yang diajukan dalam persidangan itu “abal-abal”, tidak kuat dan dipaksakan.
Sebagai pakar IT, Sigit menegaskan barang bukti berupa screen capture yang kemudian dijadikan dasar majelis hakim memvonis dr. Otto karena melanggar pasal 28 (2) Jo pasal 45 (2) UU ITE adalah keputusan hukum dengan barang bukti yang sangat lemah. Ini dikhawatirkan akan menjadi pola serupa yang dilakukan dalam kasus-kasus berikutnya.
Sebab, Sigit melanjutkan secara kronologis, dalam kasus ini dr. Otto menulis beberapa status di FB. Tetapi kemudian statusnya segera dihapus ketika ia ditegur. Setelah dihapus, print-out dari screen capture itulah yang dijadikan bukti dalam persidangan. Padahal, screen capture itu menggunakan HP, tetapi sebagai barang bukti dalam jalannya persidangan dr. Otto, HP tersebut tidak bisa dibuka.
“Jadi, apakah screen capture benar-benar asli status FB Otto Rajasa, sementara yang melakukan dan mengajukan screen capture ke pengadilan bukan ahli forensik digital? Artinya, screen capture barang bukti persidangan sangat mungkin dimanipulasi,” sambung Sigit.
Yang sangat disesalkan oleh Sigit dari vonis terhadap dr. Otto hari ini, jika screen capture dapat digunakan sebagai barang bukti, maka persidangan sangat mudah memfitnah, menjatuhkan seseorang dengan barang bukti yang tidak valid.
Mulyati SH selaku Penasehat Hukum dr. Otto sangat keberatan dengan vonis Majelis Hakim karena jauh dari rasa adil. Dengan barang bukti yang lemah Mulyati melihat kejanggalan dalam vonis hakim.
“Hakim telah keliru memberikan pertimbangan hukum ketika membuat keputusan, karena tidak didasarkan pada fakta-fakta persidangan dan terutama keterangan saksi ahli IT,” ujar Mulyati.
Terlebih lagi, lanjutnya, yang dipertimbangkan hakim justru keterangan ahli yang tidak hadir dalam persidangan. Sedangkan kami sebagai penasehat hukum tidak menerima keterangan ahli yang hanya dibacakan tersebut dan menyoal postingan dr. Otto. Sebab, yang ditanyakan penyidik adalah soal postingan, sementara bukti yang diajukan adalah screenshoot.
“Dalam putusannya hakim berulang kali menyebut potingan sebagai barang bukti. Padahal selama proses persidangan barang bukti yang digunakan itu bukan postingan Facebook dr. Otto, melainkan screenshoot”, pungkas Mulyati. [Thowik SEJUK]