“Siapa sih yang ingin menjadi seorang istri teroris?” Pertanyaan ini dilontarkan salah seorang istri pelaku terorisme, Umi, di hadapan peserta diskusi Hasil Survei Nasional: Tren Toleransi Sosial-Keagamaan di Kalangan Muslim Indonesia dan Halaqah Perempuan untuk Perdamaian yang digelar Wahid Foundation di Kuningan, Jakarta Selatan (29/1/2018).
Tidak mudah menjadi seorang perempuan yang sudah menikah dan terjadi musibah yang dialami keluarganya. Suami yang masuk penjara akibat kasus terorisme membuat Umi harus lebih berkerja keras dari sebelumnya. Belum lagi dirinya langsung mendapat cemooh ketika orang-orang membicarakan tentang suaminya dan mengaitkan pada diri Umi yang tidak tahu-menahu.
Demikian kisah Umi yang mengungkapkan tekanan-tekanan yang dirasakannya. Ia berharap publik memahami dan bukan menghakimi dirinya dan keluarganya, karena ia hanya seorang istri yang kebetulan suaminya pelaku terorisme.
“Jika kalian ingin mengetahui apa yang terjadi terhadap suami saya, saya akan mempertemukan kalian! Tapi tolong jangan seperti ini! Jangan membuat saya tertekan!” ujar Umi yang ketika menyampaikan testimoninya kerap dibarengi tangis, meskipun ia tampak berulang kali mencoba menahannya.
Ia pun mengaku sudah tidak tahan lagi dengan semua tekanan batin yang selama ini terus menindihnya. Umi harus menanggung semua akibat kesalahan yang diperbuat suaminya. Ia harus berhenti kerja karena cemoohan orang yang tidak pernah berhenti.
Karena itu ia sangat menaruh harapan kepada masyarakat luas untuk tidak pernah menilai orang hanya dari masa lalu saja. []
Penulis: Steffi
Editor: Thowik