Selasa, Juli 1, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Uncategorized

Warga Baduy Tularkan Semangat Damai pada Milenial

by Thowik SEJUK
12/10/2018
in Uncategorized
Reading Time: 7min read
Warga Baduy Tularkan Semangat Damai pada Milenial
Share on FacebookShare on Twitter

Bangunan Leuit, lumbung tempat penyimpanan padi hasil tumbukan dengan lesung warga Baduy, kampung Batara, Banten (30/9)

Kerekatan agama dengan kekuasaan belakangan ini menciptakan polarisasi dalam proses politik maupun kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Tidak jarang wajah agama tampil penuh ancaman dan permusuhan terhadap perbedaan. Hal ini mencemaskan Sekretaris Jenderal Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Johannes Haryanto, SJ karena menurutnya agama semakin kehilangan semangat dan nilai untuk menghadirkan rasa damai bagi para pemeluknya maupun dunia ini.

“Masih mungkinkah agama menjadi alat mencapai perdamaian?” Johannes Haryanto melontarkan pertanyaan yang ditujukan kepada anak-anak muda dalam sebuah diskusi yang digelar program Peace Train Indonesia (PTI) di Rangkasbitung (29/9).

Pertanyaan ini disodorkan rohaniawan yang akrab disapa Romo Hary sebagai bekal bagi para peserta PTI sebelum bertolak ke warga Baduy. Anak-anak muda dari berbagai agama dan keyakinan mengunjungi orang-orang Kanekes atau yang lazim disebut suku Baduy untuk mengalami toleransi dan merasakan perdamaian. Mereka tergabung dalam gelaran Peace Train yang merupakan program traveling lintas agama menggunakan kereta api.

Sunda Wiwitan Menghidupi Perdamaian

PTI yang ketujuh ini dilakukan dari Jakarta ke Rangkasbitung dengan salah satu tujuannya berinteraksi, mendiskusikan dan menghidmati secara langsung dengan penduduk Baduy (29-30/9/2018) perihal nilai maupun upaya-upaya harmoni yang diamalkan sehari-hari terkait kehidupan bangsa yang beragam ini.

Dalam sebuah obrolan ringan dengan Jero Saija, salah seorang warga Baduy yang tinggal di Leuwidamar, Lebak, Banten pada Sabtu malam (29/09) dengan penerangan senter yang remang-remang, para peserta PTI yang menganut Islam, Kristen, Katolik, agnostic dan sebuah gerakan keagamaan baru (yang tidak mau mereka publikasikan di tulisan ini) mendapat penjelasan bahwa warga Baduy sangat menjaga keseimbangan, bukan saja dengan sesama manusia, tetapi juga dengan alam yang menghidupi mereka.

Saat diskusi memasuki filosofi hidup dan ditanya soal dosa atau kesalahan yang tak terampuni, Jero Saija orang Kanekes yang sekaligus Kepala Desa Leuwidamar ini menyebut warga Baduy selalu bisa memaafkan. Karenanya, bagi orang-orang Baduy yang memeluk kepercayaan leluhur Sunda Wiwitan, tak ada dosa yang tak terampuni.

“Kami percaya tak ada guna menyimpan marah dan dengki. Hidup hanya sekali, tak sepatutnya diisi benci,” tutur Jero.

Meski tak begitu akrab dengan istilah toleransi, warga Baduy tahu betul cara menghargai perbedaan. Mereka sangat terbuka menerima para tamu dari luar Baduy yang berbeda-beda latar identitas keagamaan, etnis dan kebangsaan.

Seorang Baduy Luar menyebrangi jembatan akar “Nyalahan” menuju wilayah Baduy Dalam (30/9)

Dalam suasana gelap, karena orang-orang Kanekes mempertahankan hidup untuk lebih menyatu dengan alam sehingga memilih tidak menerima aliran listrik, para peserta PTI mendapatkan uraian yang lebih mendasar tentang pemaknaan kehidupan sehari-hari dari Ayah Mursyid, seorang tokoh kampung Cibeo, wilayah Baduy Dalam, bahwa secara turun-temurun warga Kanekes atau Baduy diajari untuk menerima apapun pemberian Tuhan.

“Jangankan untuk memusuhi, mengubah bentuk tanah saja kami tidak berani,” kata Ayah Mursyid menjelaskan bahwa suku Baduy sangat menghormati alam dengan tidak mengubah posisi atau bentuk dasar tanah, termasuk ketika membuat rumah di tanah yang miring atau curam yang mengharuskan mereka memanfaatkan kayu-kayu yang lebih panjang dan kuat untuk menopang bangunan rumah mereka yang suluruh kerangka dan penutupnya terbuat dari kayu atau material pepohonan.

Menurut Choirul Anam, salah satu fasilitator peace train, sepanjang obrolan malam itu, rombongan PTI mendapat banyak pembelajaran dari dua tokoh Baduy Dalam dan Baduy Luar.

“Kami seperti dituntun oleh mereka agar selalu sadar bahwa apapun agama dan budaya yang menempel dan turut membentuk identitas seseorang, kita semua manusia,” ujarnya dalam perbincangan reflektif dengan beberapa peserta PTI yang kali ini mengusung tema Mempelajari dan Mengalami Toleransi.

Esok harinya, Minggu (30/9), para peserta mengunjungi dan menyaksikan lebih dekat penduduk Kanekes di kampung Batara (Baduy Luar) yang kebetulan sedang membuat rumah dengan bergotong-royong memanfaatkan material alam yang tersedia di sekitar mereka. Selain menyaksikan langsung rumah-rumah tinggal penduduk Kanekes, peserta dari berbagai wilayah (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi serta Banten, beberapa datang dari Madura, Magelang, Pekalongan dan Cirebon) juga melihat rumah-rumah kecil yang oleh orang Baduy dinamakan “leuit.” Leuit merupakan lumbung untuk menyimpan padi yang sudah ditumbuk dari lesung sebagai persediaan makan sehari-hari.

Jembatan Akar Baduy

Dengan perjalanan kaki naik dan turun melalui perbukitan sekitar satu jam dari luar Baduy melewati kampung Batara, tepatnya dari titik yang menjadi batas akhir kendaraan bermesin diperbolehkan lewat, peserta peace train yang berjumlah 50 mendapati sebuah karya sangat mengagumkan yang dibuat orang Kanekes. Karya ini salah satu perwujudan orang Baduy yang akrab dan menghargai dengan sangat alam dan fungsinya: Nyalahan, jembatan akar.

Menurut penduduk Baduy Dalam, Safri (22) dan beberapa temannya, Nyalahan yang panjangnya sekitar 10 meter dan terletak di ujung Batara ini dibuat dari akar pohon karet “munding” (kerbau). Konon, dari cerita mereka, akar karet kerbau ini dari tahun ke tahun disusun dan dianyam dengan melilitkan satu akar dengan lainnya beserta dahan dan ranting-ranting oleh almarhum Sardi sekitar 50 tahunan yang lalu untuk dijadikan jembatan penyebrangan. Pepohonan besar beserta tonjolan batu-batu dengan diameter lebih dari dua meteran meningkahi jernih aliran sungai yang membelah dua bukit yang sangat tinggi.

Jembatan akar Baduy “Nyalahan”, kampung Batara, Banten (29/30)

Mereka juga menuturkan bahwa Nyalahan kini dirawat oleh Odo, anaknya Sardi. Hal tersebut dilakukan agar ujung-ujung akar dan ranting karet munding yang hidup memanjang terus dililit dan disambungkan mengikuti bentuk jembatan, dengan tanpa satu pun paku, sampai ke ujung seberang sungai. Jembatan akar yang sudah mulai ramai menjadi tujuan wisata Banten ini selama bertahun-tahun berfungsi menghubungkan kedua bukit sekaligus menjadi salah satu jalur yang mempertemukan penduduk Baduy Luar dengan Baduy Dalam.

“Kanekes terdiri dari Baduy Dalam dan Baduy Luar. Sedangkan masyarakat sekitar yang tidak tinggal di wilayah Baduy adalah luar Baduy,” Safri menjelaskan ke para peserta Peace Train yang berusaha menjalin interaksi dan berdialog sambil beristirahat di daerah penduduk luar Baduy setelah sama-sama jalan kaki dari Nyalahan.

Safri dan kawan-kawannya menyediakan jasa untuk memandu para pengunjung dan membantu membawa bekal kebutuhan makan dan minum pengunjung selama perjalanan menuju dan keluar dari kampung Batara dan jembatan akar. Kepada para peserta PTI yang berakar dari etnis Jawa, Sunda, Batak, Madura, Tionghoa, Minahasa, dan percampuran etnis lainnya menjelaskan tentang relasi yang terbuka warga Baduy dengan dunia luar tanpa mengubah tradisi dan keyakinan nenek-moyang. Safri juga berbagi informasi ihwal bentuk kepemimpinan yang dilestarikan turun-temurun di Baduy Dalam. Setiap komunitas Baduy Dalam, menurut Safri, masing-masing dipimpin oleh seorang “puun” atau ketua adat. Kini, berdasarkan hitungan Safri, komunitas-komunitas di Baduy Dalam dipimpin oleh tiga puun.

Safri mengungkapkan bahwa kekuatan adat dengan nilai-nilai dan tradisinya demikian menghormati seluruh ciptaan Tuhan seperti alam dan manusianya. Damai dan harmoni adalah tujuan hidup orang Kanekes yang berakar dari keteguhan menganut kepercayaan leluhur: Sunda Wiwitan. Begitupun penduduk Kanekes yang berada di wilayah Baduy Luar, seperti Batara dan Leuwidamar, merupakan para penganut Sunda Wiwitan.

Namun, ungkapnya, dibandingkan Baduy Luar, warga Baduy Dalam yang paling taat dan ketat menjaga dan menjalankan nilai-nilai dan keyakinan Sunda Wiwitan yang diturunkan dari nenek-moyang mereka. Meski begitu, persaudaraan dan kerjasama antara Baduy Dalam dan Baduy Luar sangat kuat layaknya keluarga. Nyalahan menjadi salah satu “jembatan” yang menghubungkan persaudaraan keduanya.

“Mereka di Batara yang sedang kerjasama membangun rumah itu adalah para pemeluk Sunda Wiwitan juga,” jelasnya sambil memberi penekanan bahwa mereka sama-sama orang Kanekes seperti dirinya.

Sebagai salah satu peserta Peace Train, Sonya yang bersekutu di Gereja Protestan Indonesia di bagian Barat (GPIB) merasa sangat beruntung bisa belajar secara dekat dari orang-orang Baduy bagaimana manusia memilih hidup damai di tengah realitas yang semakin kompleks. Selama berinteraksi dengan orang-orang Kanekes, baik Baduy Dalam maupun Luar, Sonya mengambil sikap lebih banyak mendengar untuk menyerap dan merefleksikan bagaimana nilai-nilai damai dan toleransi mereka hidupkan.

“Ketika berinteraksi dengan orang-orang Baduy, saya memutuskan untuk menggali serta mendengar dari mereka ketimbang memaksakan persepsi dan nilai-nilai yang saya yakini kepada mereka,” ujar Sonya ketika berbagi tentang pengalamannya berkunjung dan bertemu orang Baduy kepada beberapa temannya di ujung kegiatan.

Mahasiswi tingkat tujuh Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta ini bahkan memperoleh kesan bahwa orang-orang Baduy jauh lebih bijak dalam merawat budaya damai karena hidup mereka menghargai dan mencintai lingkungan dan akar-akar semesta yang menghidupinya. Sementara, kita sebagai masyarakat luar Baduy yang merasa lebih berpendidikan dan beradab dari mereka ternyata lebih suka konflik dan tidak toleran terhadap perbedaan.

Kesan serupa disampaikan peserta lainnya, Ignasius Lorenzo. Berkat keterlibatannya dalam PTI 7 Banten yang dilakukan 28-30 September 2018 dengan mengunjungi Gua Maria Bukit Kanada, Vihara Ananda Avalokitesvara, dan Gereja Kristen Pasundan Rangkasbitung, pria berambut panjang yang aktif di komunitas muda Katolik ini merasa mendapatkan pengalaman baru bertemu dan bergumul bersama dengan para peserta lain yang berbeda agama bahkan ada yang menganut new religion movement. Kesan yang mendalam ia rasakan ketika dua hari berinteraksi dengan para penghayat Sunda Wiwitan.

“Saya mendapatkan pengalaman luar biasa karena dengan mengikuti peace train bisa mengenal dan menjalin persahabatan dengan kawan dari agama-agama yang berbeda bahkan dengan pengamal new religion movement. Saya juga menjadi paham hal-hal luhur dari orang-orang yang meyakini kepercayaan lokal Baduy setelah mengalami langsung,” ungkapnya.

Warga Kanekes Baduy Luar kampung Batara bergotong-royong membangun rumah (30/9)

Fasilitator peace train yang mendampingi komunikasi para peserta dengan warga Kanekes ikut memungut inspirasi: dari apa yang disampaikan dan diamalkan mereka, kita perlu belajar bahwa benci dan dengki adalah penyakit yang menggerogoti hati.

“Kebencian tak perlu disimpan atau bahkan dikembangkan; buang jauh hingga lepas dari ingatan. Sebab, bagi orang Baduy, sebesar apapun kesalahan atau dosa yang orang lain pernah lakukan, tak ada alasan untuk tidak memaafkan,” kata Anam dalam penutupan PTI 7, setelah di ujung kegiatan berkunjung dan menonton film tentang sejarah dan kehidupan masyarakat Banten di Museum Multatuli dan Perpustakaan Saidjah Adinda.

Agama Sumber Perdamaian?

Dalam diskusi bertema Together for Peace: Respect, Safety, and Dignity for All yang dilakukan di aula Gereja Katolik St. Maria Tak Bernoda Rangkasbitung ini Romo Hary menuturkan di hadapan peserta PTI 7 bahwa agama lahir dari semangat pembaharuan, dari sebelumnya yang kondisi masyarakatnya “rusak”. Sayangnya, bukan prinsip-prinsip dasar yang sekarang dihidupkan melainkan lebih memperkarakan simbol-simbol dari agama.

“Ketika hanya mengejar simbol dan berhadapan dengan simbol-simbol yang berbeda, maka hanya mementingkan kebenaran simbolnya sendiri,” ujar Romo Hary menyesalkan penggunaan agama untuk mencapai kekeuasaan dalam proses-proses politik yang membuat ketegangan satu kelompok agama dengan agama lainnya.

Berbeda dengan Romo Hary, Wakil Sekretaris Komisi Kerukunan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dr. KH. Abdul Moqsith Ghazali, MA, sebagai narasumber diskusi PTI menyampaikan peluang-peluang bagi anak muda untuk mendekati agama dengan nada optimis. Meskipun dalam al-Quran maupun kitab suci agama lainnya bertabur ayat-ayat yang mendorong permusuhan dan kekerasan yang kemudian dipegang oleh kelompok-kelompok agama yang intoleran, tetapi Moqsith meyakini bahwa jembatan penghubung lintas-agama adalah kitab suci.

“Maka, anak milenial harus berani memasuki kitab suci dengan menafsirkannya dan membawa konteksnya pada hari ini,” kata pengajar UIN Sayarif Hidayatullah ini mengajak anak-anak muda untuk menghadapi intoleransi atas nama agama yang semakin meningkat di hampir seluruh penganut agama-gama besar di dunia, bukan hanya Islam.

Ketika media sosial dipenuhi hoax dan kebencian dengan menggunakan agama, Moqsith bersikukuh melecut agar kalangan milenial tetap teguh pada agama untuk memperjuangkan perdamaian. Setiap agama dan kitab suci, menurutnya, menyimpan nilai-nilai luhur yang harus menjadi penuntun bagi para pemeluknya. Ia pun dengan penuh semangat mengajak peserta lebih percaya diri duduk bersama dengan yang berbeda agama, bergaul dalam forum-forum lintas-iman.

“Dalam konteks masyarakat yang semakin tidak toleran, maka perdamaian (lintas-agama) harus diupayakan dari kitab suci,” pungkas Moqsith.[]

Tags: #Baduy#BaduyDalam#BaduyLuar#JembatanAkar#Kanekes#Nyalahan#PeaceTrain#PeaceTrainIndonesia
Previous Post

Keteguhan sang pelayan gereja di tengah tekanan sosial

Next Post

Harmoni Keluarga Islam-Kristen di Makassar

Thowik SEJUK

Thowik SEJUK

Related Posts

Ngober: Ngonten Keberagaman

Ngober: Ngonten Keberagaman

28/11/2024
Transgender

DOSA DAN NERAKA BUKAN URUSAN NEGARA: TRANSGENDER ISA ZEGA UMRAH BERJILBAB TIDAK BISA DIPENJARA

26/11/2024
God is Miraculous in Creating LGBT People

Pernyataan Sikap KOMPAKS: Menyikapi Pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Bahwa LGBTQ adalah Ancaman Negara

21/11/2024
Gadis Kretek

Review Gadis Kretek: Kisah Cinta Dasiyah Memang Menyedihkan, Namun Peristiwa 1965 yang Menghancurkan Hidupnya

13/11/2023
Next Post
Keteguhan sang pelayan gereja di tengah tekanan sosial

Harmoni Keluarga Islam-Kristen di Makassar

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gereja Ortodoks Rusia di Indonesia: Menjumpa dan Menyapa yang Berbeda dengan Cinta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 7 Alasan Mengapa LGBT Diterima Gereja Ini

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Elisheva Wiriaatmadja, Contoh Penganut Judaisme yang Terbuka di Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In