Di musim dingin, rasa terusir dan dipersekusi di kalangan imigran dari Timur Tengah sampai Asia Selatan semakin menjadi-jadi. Saat seperti ini, sepotong kehangatan menjadi sungguh berarti.
Camilan, irisan roti, teh dan kopi yang dihidangkan bersama keluasan solidaritas dan persahabatan dari orang-orang gereja di Jerman mampu “mengusir” beku nasib pengungsi yang tidak menentu.
Senja awal Februari 2018, di sebuah aula pertemuan milik gereja di Bornheim, Jerman, para volunteer terdiri dari pengurus maupun jemaat gereja Kristen, Katolik bahkan ateis berkumpul melebur demi berbagi cinta kepada para imigran Iran (Sunni), Suriah (Sunni), Afghanistan (Hazara yang kerap diidentikkan dengan Syiah) dan negara-negara Muslim lainnya yang mengalami perang saudara.
Semua yang hadir di ruangan itu saling kenal, satu sama lainnya saling sapa layaknya keluaga.
“Perjumpaan ini sangat penting bagi mereka agar sering keluar dari shelter atau tempat-tempat pengungsian, yang justru membuat mereka semakin tertekan karena trauma yang membekas saat pelarian dari negara asalnya. Di sisi lain, proses integrasi dengan masyarakat Eropa dan untuk mendapat kewarganegaraan Jerman membutuhkan waktu yang tidak sebentar,” ujar salah satu volunteer, Lara (42).
Perempuan asal Perancis ini dua sampai tiga hari setiap minggunya mengajar Bahasa Jerman untuk para imigran. Bersama dua anaknya, Mewan dan Nadi, di bangunan milik gereja itu Lara membaur melempar senyum dan tawa kepada setiap imigran yang diajaknya bincang.
Kemanusiaan menghangatkan petang, yang di musim dingin lekas melesat ke dalam dekapan malam melampaui tembok-tembok iman, yang di negara asal para pengungsi, perbedaan agama dan keyakinan demikian saling menyakiti dan menghabisi.
Jika yang ditinggikan egoisme keimanan, maka konflik dan kekerasan akan sangat diidamkan. Tetapi ketika yang ditajamkan adalah rasa kemanusiaan, niscaya cinta menjadi panglimanya.
Pengungsi dari Suriah, Ahmed (39), sebut saja begitu, terkesan dengan pertemuan rutin ini. Di tengah menguatnya gerakan ultranasionalis Jerman, ada oase kedamaian naungan orang-orang gereja yang menyediakan waktu dan makanan bagi dirinya dan sesama pencari suaka lainnya untuk tetap menjaga optimisme.
“Memang, kebanyakan sukarelawan ini adalah orang-orang tua yang sudah lelah dengan konflik Jerman di masa belianya. Sehingga mereka demikian murah hati dan lapang membantu kami,” kata Ahmed, lulusan S2 di negara asalnya, menganalisa.