Oleh: Dian Andriasari
“Hak yang kami tuntut untuk diri kami sendiri, harus kami berikan pula kepada orang lain yang memintanya kepada kami. Merintangi kemajuan rakyat kiranya sama halnya dengan perbuatan Tsar, yang mengkhotbahkan perdamaian dunia, sedang ia sendiri menginjak-injak hak rakyat dengan kakinya”
(Surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar, 12 Januari 1900)
Demokrasi Kartini adalah demokrasi kaum marginal, terpinggirkan, liyan, yang disunyikan. Demokrasi Kartini merupakan demokrasi masyarakat yang mengalami penepian dalam riuh kekuasaan dan politik elektoral.
Demokrasi Kartini bukan hanya milik perempuan, tentang perempuan, tetapi ihwal lanskap rezim politik dari waktu ke waktu. Ketika itu dapat dibayangkan, Kartini berada dalam satu persimpangan jalan intelektual yang memukau. Sisi ini berlatar belakang kultural yang hierarkis dengan kegemilangan dunia Barat yang memesona karena kemajuan dan keterbukaan.
Kartini belumlah mengeja d-e-m-o-k-r-a-s-i saat itu. Jauh dari kata itu, feodalisme di tanah Jawa adalah keniscayaan yang ia saksikan sehari-hari. Kesenjangan kultural yang ia retas membuatnya gelisah dan kelebihan dari kisah hidupnya adalah ia meninggalkan jejak teks melalui surat-surat yang ia kirimkan kepada sahabat-sahabatnya.
Tapi memang Kartini belum bicara lugas tentang demokrasi. Tanggal 25 Mei 1899, Kartini menulis surat kepada sahabatnya Stella Zeehandelaar. Ia menuliskan, “Aku sungguh ingin mengenal seorang yang kukagumi, perempuan yang moderen dan independen, yang melangkah dengan percaya diri dalam hidupnya, ceria dan kuat, antusias dan punya komitmen, bekerja tidak hanya untuk kepuasan dirinya namun juga memberikan dirinya untuk masyarakat luas. Bekerja untuk kebaikan sesamanya.”
Kartini bergelora dengan pemikirannya mewacanakan akses perempuan dalam pemenuhan hak-hak dasarnya dan keterlibatan di ruang publik sebagai pengambil kebijakan atau setidaknya terlibat dalam pengambilan keputusan bersama. Dalam posisi politiknya, Kartini dengan pedas mengkritik sikap kolonial yang memeras kekayaan di tanah Jawa. Kartini mewacanakan keadilan dan kesetaraan dengan lantang dan tak sedikit pun gentar. Sikap tak lazim pada zamannya: seorang perempuan yang akses sosialnya dibatasi oleh sekat tradisi dan agama kemudian bersuara keras mengkritik penjajah. Dua hal terlintas menghayati sikap Kartini ketika itu: berani atau mungkin ia siap mati.
Kartini adalah post-demokrasi, ia melampaui situasi zaman bangsanya. Surat-surat Kartini adalah refleksi kekuatan seorang perempuan dalam melawan belenggu kehidupannya. Belenggu yang kemudian membuka pandangan kritis terhadap adat atau budaya feodal masyarakat Jawa tempat ia hidup. Dengan bekal pengetahuan yang dimiliki, Kartini begitu fasih berbicara tentang hak-hak perempuan dan kritis terhadap perkembangan politik di Jawa.
Spektrum isu-isu perempuan yang digulirkan Kartini sangat berpengaruh dalam konstruksi perjuangan kaum perempuan hingga saat ini. Kartini boleh jadi tidak menyebut kata “demokrasi” karena baginya diatas semua itu adalah penghormatan pada kemanusiaan yang lebih asasi.
Kartini dan Pascapemilu Raya
Merayakakan demokrasi melalui pemilu raya 17 April 2019 apakah langkah menuju demokrasi yang lebih substansial ataukah hanya selebrasi yang menjadi nilai satu-satunya yang dihasilkan dari pesta tersebut?
Praksis pengelolaan negara pascareformasi memasuki ranah kontestasi politik, segregasi sosial nyaris tak dapat dihindari karena politik kini dibungkus dengan beragam warna dan paket kebijakan yang dikemas menarik melalui visi misi caleg dan capres. Padahal semestinya di rezim demokrasi, setiap paket kebijakan publik yang dikemas dalam visi-misi harus memenuhi standarisasi kebijakan dasar, yakni bahwa kebijakan yang diusung mesti relevan dan baik untuk demokrasi itu sendiri. Faktanya caleg maupun capres seringkali mengusung paket kebijakan yang irrasional alias janji surga. Sudah dapat dibayangkan pascapemilu visi-misi tersebut akan menguap dan rakyat menjadi korban janji politik (lagi).
Warga negara Indonesia selesai berpesta demokrasi melalui rangakaian panjang yang melelahkan. Kampanye publik, online maupun off-line, debat capres-cawapres hingga proses pemungutan dan penghitungan suara yang semakin meningkatkan polarisasi masyarakat. Lantas pemaknaan apa yang publik peroleh dari pesta tersebut? Adakah kepongahan dan kecemasan akan perpecahan tersisa, setelah para elit luput menyajikan pembelajaran demokrasi untuk konsolidasi politik bermartabat dan berkeadilan, sebaliknya sibuk mengejar tujuan-tujuan primordial atau tujuan jangka pendek yang ada dalam sekat biner, menang dan kalah? Adakah kejutan-kejutan politik yang terjadi di tahun pasca-kebenaran ini akan menimbulkan pengaruh besar terhadap iklim demokrasi di masyarakat?
Kartini: sebuah Pesan untuk Demokrasi
Menyitir pendapat Julia Suryakusuma, kepemimpinan mestilah bersifat kontekstual dari sisi sejarah, sosial, ekonomi dan budaya. Tidak ada satu pun pemimpin kita yang mampu bersikap demokratis sepenuhnya. Hingga reformasi, Indonesia tidak pernah menjadi masyarakat demokratis yang berkeadilan. Penjajahan oleh asing selama berabad-abad, otoritarianisme dan krisis multidimensional menjadikan kita berpikiran sempit, suka bertengkar, egois, haus kekuasaan dan berorientasi pada kepentingan picik serta keuntungan pribadi atau kelompoknya (Julia Suryakusuma: Agama, Seks dan Kekuasaan, hlm. 39).
Apakah tesis Julia Suryakusuma tersebut sepenuhnya benar? Hari ini pascapemilu raya, setiap kata yang dieja Julia tampak tercermin dalam wajah elit. Lewat kecepatan akses teknologi, tak berlebihan jika terbit kecemasan pada ancaman perpecahan bangsa pascapemilu. Sarat paradoks.
Namun menjadi keniscayaan bagi masyarakat Indonesia di masa transisi menuju demokrasi yang substansial untuk terus belajar mendewasakan proses politik elektoral setiap lima tahun sekali. Dengan begitu seluruh rakyat Indonesia dipertemukan dalam konsolidasi demokrasi dan sepatutnya para elit menatap wajah rakyat sambil menyalami satu-persatu dengan hati-hati. Ikhtiar ini harus dimulai bersama-sama oleh warga, masyarakat sipil dan para elit lewat proses-proses politik partisipatif agar demokrasi menjadi urat nadi bangsa ini.
Fragmen itu mengingatkan kita pada sebuah surat yang ditulis Kartini kepada Ny. R.M Abendanon. Suratnya tak bicara demokrasi, namun ia bicara soal keteguhan dan kegelisahan intelektual serta kritik sosial yang tajam, diselingi renungan tentang hubungan makhluk dan penciptanya. Akhirnya Kartini menerima segala yang ditimpakan padanya dengan optimisme yang tak pernah pudar: keimanan yang teguh menafikan kekecewaan, semuanya adalah rahmat dan iradat Allah.
Mungkin sebaiknya para politisi dan petarung politik juga kita semua membaca (lagi) surat-surat Kartini, agar mampu menginsyafi makna kata demokrasi yang semua sisi dan isinya adalah kemanusian.[]
Penulis adalah aktivis perempuan dan mahasiswa program doktoral Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Artikel ini terbit di Pikiran Rakyat, Senin, 22 April 2019, dan merupakan pandangan pribadi penulis sebagai refleksi dan peringatan hari Kartini.