
“Saya sangat yakin kasus Yael dan pak rektor hanya masalah miskomunikasi” ujar Paristiyanti Nurwardani, Direktur Pembelajaran. Paris merupakan perwakilan Dikti yang menjadi salah satu pembicara dalam Diskusi Publik dan Pameran Foto Essay “Tanggung Jawab Dikti dan Diskriminasi di Kampus” yang diadakan di Wisma PKBI (18/05/2019). Diskusi ini juga dihadiri oleh Yael Stefany Sinaga, perwakilan dari Universitas Sumatera Utara (USU) yang mengalami represi karena cerpen yang diduga mengandung pornografi beberapa waktu silam.
Diskusi yang diadakan untuk memperingati Hari Internasional Melawan Homofobia, Bifobia, dan Transfobia ini bermula dari meningkatnya diskriminasi di perguruan tinggi. Menurut laporan ulang tahun ke-5 Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) tercatat 22 kasus diskriminasi sejak 2016 dimulai dari pernyataan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir tentang LGBT masuk kampus. Hal tersebut diungkapkannya menanggapi keberadaan SGRC di kampus Universitas Indonesia 2016 silam.
Selain pernyataan Menristek, beberapa penolakan terhadap kelompok LGBT di beberapa perguruan tinggi berupa pemasangan spanduk, pembubaran diskusi, munculnya lembar pernyataan bukan LGBT, hingga yang paling terakhir pembredelan terhadap Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara USU karena mengunggah cerpen “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya”.
Sebanyak 18 pengurus Suara USU tahun 2019 dipecat melalui SK Rektor no.139/UN5.1.5/SK/KMS2019 yang dikeluarkan oleh Runtung Sitepu selaku rektor USU karena menolak menurunkan cerpen yang diunggah di web resmi Suara USU. sebelum pemecatan, represi-represi berupa pembubaran diskusi, pemutusan aliran listrik di sekretariat Suara USU, hingga pengawasan terhadap akademik pengurus Suara USU. Hal ini kemudian memancing jaringan-jaringan Suara USU untuk membela Suara USU melalui tanda pagar #RektorTakutCerpen yang diinisiasi oleh Koalisi Bela Literasi (Kobel) dan pengiriman seribu cerpen untuk rektor. Selain itu di beberapa daerah lain juga muncul aksi-aksi solidaritas yang mengecam tindakan rektor USU.
“Kreatifitas pun memiliki batas” ujar Yayat dari Biro Komunikasi Menristekdikti selaku perwakilan Dikti ketika ditemui oleh perwakilan Kobel di kantor Dikti pada 1 April 2019 silam,”Jika anak saya yang menempuh pendidikan di sana (USU red.) tentunya saya pun khawatir” lanjutnya
Sikap perwakilan Dikti ketika bertemu dengan perwakilan Kobel tentunya menunjukkan bahwa Dikti tidak menyikapi serius kasus represi rektor USU kepada Suara USU karena menambahkan opini pribadi yang bias. Hal ini juga terlihat ketika Paris sebagai perwakilan USU menghadiri diskusi terbuka di PKBI.
“Kami sebagai generasi kolonial dan mahasiswa sekarang yang merupakan generasi milenial tentunya memiliki frekuensi yang tidak sama. Solusinya adalah mencari frekuensi yang sama lalu berkomunikasi sehingga bisa menemukan jalan tengah dari masalah” ujar Paris.
Selain itu Paris juga menyangkal bahwa terjadi tindak diskriminasi di perguruan tinggi karena menurutnya rektor USU merupakan seorang pendidik yang berpengalaman. Hal ini tentu saja berlawanan dengan yang dipaparkan oleh Yael Stefany, Pemimpin Umum LPM Suara USU sekaligus penulis cerpen yang dipermasalahkan oleh pihak USU.
”Yang lebih tinggi dari Undang-undang (UU) adalah Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 E yang menyatakan ‘setiap orang berhak atas berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat’. Yang disoroti oleh Yael bukan hanya masalah cerpen saja melainkan pembubaran yang merupakan tindak diskriminasi dan melanggar kebebasan berkumpul dan berpendapat” ujar Ferena Debineva selaku chairperson SGRC yang juga menjadi salah satu pembicara dalam panel diskusi.
Ferena juga menggarisbawahi definisi diskriminasi menurut American Psychology Association adalah segala tindakan yang berlandaskan prasangka. Menurut Ferena, diskriminasi yang terjadi di perguruan tinggi tidak boleh hanya dilihat dari satu kasus melainkan ditarik ke belakang ketika awal SGRC mengalami diskriminasi pada 2016. Ferena menegaskan bahwa diskriminasi yang terjadi adalah diskriminasi yang terstruktur dari pemerintah.
“Saya tidak pernah mendapatkan arahan dari pak Menteri terkait diskriminasi. Beliau menegaskan perihal pendidikan inklusif yang saat ini terlihat adalah untuk teman-teman difabel. Mereka adalah yang rentan mendapatkan diskriminasi” ujar Paris. dalam konteks ini, Paris melenceng dari tujuan utama mengapa diskusi ini diadakan. Pendidikan inklusif yang dimaksudkan Paris merupakan pendidikan yang diterima oleh kelompok difabel sementara itu pendidikan inklusif untuk kelompok LGBT masih belum ada.
Pernyataan-pernyataan yang sudah dipaparkan oleh perwakilan Dikti menunjukkan bahwa Dikti abai terhadap persekusi yang terjadi dan sedang membela diri dari banyaknya kasus-kasus seputar tindak diskriminasi kelompok LGBT di perguruan tinggi.