
“Dari yang saya dengar kalau perempuan diperkosa ujung-ujungnya ia menikmati.”
Pernyataan ini muncul dalam sebuah diskusi tentang Media dan Keadilan Gender pada workshop pers mahasiswa Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) di Malang (29/06/2019).
Sontak hal tersebut menimbulkan keriuhan dari seluruh peserta workshop. Karena itulah aktivis dan pelukis perempuan Dewi Candraningrum, selaku pembicara, kemudian menjelaskan bahwa tidak ada perempuan yang menikmati perkosaan. Sebab setiap perkosaan ada unsur pemaksaan di dalamnya.
“Memang benar vagina merespon secara biologis, namun apakah mentalnya menerima?,” timpal Arinda Nafsia peserta workshop asal Gorontalo.
Peserta yang lulus mengikuti workshop karena tulisannya yang mengungkap kasus pelecehan seksual di kampusnya ini mencoba menggambarkan betapa para korban kekerasan sesksual itu menanggung trauma yang mendalam.
Hal ini diiyakan oleh sebagian peserta, terutama perempuan, karena membayangkan jika kejadian itu menimpa mereka.
Dewi juga menjelaskan bahwa pemerkosaan juga berarti membunuh eksistensi perempuan. Selain itu, framing media yang Masih seksis turut menjadi pemerkosa kedua karena tidak sensitif gender. Peraih gelar doktor dari Universitaet Muenster, Jerman, ini mengkritik tentang lelucon perkosaan yang menurut masyarakat adalah hal yang normal.
Jika lelucon perkosaan masih dianggap normal, lanjut Dewi, maka masalah kekerasan seksual tidak akan usai. Karena dalam berbagai sektor akhirnya perempuan yang menjadi objek. Tentu, hal ini akan merugikan korban-korban perkosaan.
Beruntungnya, seluruh peserta workshop di ujung sesi sampai pada kesimpulan bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan. Untuk itu, cara membuat berita tentang isu-isu perempuan dan kekerasan seksual harus memperhatikan diksi-diksi yang jangan sampai menstigma dan menyalahkan korban, sehingga dikorbankan lagi oleh berita-berita yang tidak sensitif.
Dewi yang juga menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Surakarta ini kemudian memaparkan bahwa jalan korban pemerkosaan untuk menuju proses sintas tidak mudah karena membutuhkan resiliensi.
“Rape joke is not joke,” tegas mantan Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan periode 2014-2016 itu.[]
***
Workshop Pers Mahasiswa: Jurnalisme Keberagaman Menghidupkan Toleransi yang diadakan SEJUK kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF), Kementerian Hukum dan HAM RI, Unit Aktivitas Pers Mahasiswa (UAPM) Inovasi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan LPM Basic Universitas Brawijaya pada 28 Juni – 1 Juli 2019 di Malang.