Para pekerja seks, orang dengan HIV (ODHIV), queer, umat Kristen, muslim Ahmadiyah, maupun Batak, India, Tionghoa serta etnis-etnis minoritas lainnya adalah kalangan terpinggirkan di wilayah-wilayah Indonesia yang masyarakatnya menjadikan agama dan adat untuk mendominasi mereka yang berbeda, seperti Riau dan Sumatera Barat (Sumbar).
Akibatnya, mereka menjadi komunitas yang sangat rentan mengalami berbagai bentuk diskriminasi, kriminalisasi, pemerasan bahkan persekusi. Celakanya lagi, tindak diskriminasi hingga persekusi lebih banyak dilakukan oleh aktor-aktor negara. Warga atau kelompok masyarakat yang intoleran dan media, baik media arus utama maupun media sosial, juga teridentifikasi sebagai pelaku, bahkan kerap menekan atau mempengaruhi negara untuk tunduk pada tuntutan dan kehendak mereka.
Kondisi tersebut mengharuskan kelompok marginal memilih untuk memperjuangkan hak-hak dan keadilannya dengan strategi yang sangat hati-hati. Ketimbang menyampaikan aspirasi secara demonstratif, kelompok-kelompok rentan di Riau dan Sumatera Barat melakukannya dengan cara persuasif. Hal tersebut dilakukan oleh komunitas-komunitas yang bergerak di isu pendampingan para pekerja seks, baik pekerja seks perempuan maupun transgender, komunitas ODHIV, dan gereja di Riau dan Sumbar.
Sebab, jika protes dan advokasi dilakukan secara terbuka, dapat memicu backlash yang merugikan gerakan dan perjuangan mereka sendiri. Hal ini akan memperburuk situasi korban, alih-alih memulihkan dan menguatkan para korban.
Dialog dan pergumulan tersebut mengemuka dalam Training & Story Grants untuk Komunitas di Riau dan Sumatera Barat yang digelar di Pekanbaru, 17-18 Januari 2025, oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Internews.
“No viral, no justice bagi kelompok-kelompok minoritas yang rentan seperti di Riau dan Sumbar, jika dipaksakan, justru menjauhkan komunitas untuk menikmati keadilan yang diperjuangkannya. Adalah tanggung jawab negara untuk memenuhi hak dan keadilan seluruh warganya, termasuk dan terutama kelompok minoritas, meskipun mereka tidak secara terbuka mempublikasikan perjuangan mereka,” papar Chief of Party Internews Indonesia Eric Sasono (17/1).
Eric sangat menyayangkan semakin menguatnya pandangan bahwa advokasi dan kampanye untuk memperjuangkan hak-hak para korban harus dengan memviralkan kasus-kasus yang dihadapi kelompok rentan.

Berjuang dalam Senyap
Karena itu, “No viral, no justice” adalah praktik yang bisa sangat merugikan hak-hak komunitas rentan di wilayah-wilayah yang masyarakatnya sangat homogen dan dominan, sehingga kelompok minoritas semakin sulit menikmati hak-hak dan kebebasannya sebagai warga. “No viral, no justice” akan membuat keamanan korban atau komunitas marginal semakin berbahaya mengalami tekanan balik dan berbagai ancaman bahkan kekerasan, baik digital maupun fisik.
Dalam training yang diikuti oleh 8 perempuan, 6 laki-laki dan 1 peserta non-binary dari provinsi Riau dan Sumbar ini, justru membuktikan efektivitas strategi-strategi komunitas melalui gerakan yang tidak selalu demonstratif dan tidak mengandalkan viral. Meski demikian, pilihan atau strategi tidak memviralkan ini adalah kebutuhan nyata bagi komunitas-komunitas di akar rumput dan tak sedikit yang berbuah baik, karena dapat memenuhi hak dan keadilan tanpa tekanan dan kerumitan, terutama bagi para korban dari kalangan rentan.
Pendekatan seperti ini dipilih oleh Yayasan AKBAR di Sumbar, OPSI Riau dan Sumbar, dan jaringan komunitas yang tergabung dalam Community Led Monitoring dan Community Liaison Officer yang mengadvokasi ODHIV, seperti Inti Muda, Warna Gaung Pekanbaru, dan sebagainya. Demi keamanan komunitas dan korban, mereka lebih memilih mengkonsolidasikan komunitas untuk melakukan lobby-lobby langsung ke pemegang kebijakan di isu-isu pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS bahkan pimpinan Satpol PP.
“Kami bekerja bersama para pekerja seks dan ODHIV di bawah. Jika terjadi diskriminasi dan ketidakadilan, maka kami langsung ‘pegang kepalanya’ atau mereka yang bertanggung jawab pada dinas-dinas terkait,” ujar Siti Uripah mewakili Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) Riau yang mendampingi para pekerja seks dan ODHIV dengan menjangkau komunitas-komunitas di daerah-daerah pinggiran Riau, tidak hanya di Kota Pekanbaru.
Kerja-kerja advokasi yang dilakukan komunitas, sambung perempuan yang akrab disapa Iip, secara umum lebih memilih ‘mode senyap’, jauh dari publikasi-publikasi media. Namun begitu, ia sangat berharap negara tidak lagi melakukan diskriminasi terhadap komunitasnya. Bukan karena tidak viral, lalu negara mengabaikan hak-hak dan kebebasan berekspresi warga dari kalangan rentan.
“Ketika ada dampingan kami yang positif (HIV) menjadi korban razia, maka kami akan langsung berkoordinasi dengan atasan-atasan Satpol PP agar melepaskan rekan dari komunitas, karena kami sudah ada MoU dengan Satpol PP,” kata Erniwati dari OPSI Sumbar.
Sedangkan Anjali Sabna dari komunitas etnis India yang aktif di Pelita Padang menjelaskan pendekatan-pendekatan advokasi yang ditempuh organisasinya adalah dengan membangun ruang jumpa di kalangan agama atau keyakinan dan etnis yang berbeda, termasuk melibatkan minoritas gender dan seksual. Menurut Anjali, ruang jumpa dan advokasi yang dipilih Pelita Padang tidak harus dengan publikasi, meskipun mereka mempunyai media sosial yang aktif dan dekat dengan media-media arus utama.
Refleksi atas proses training bersama komunitas marginal dari Riau dan Sumbar: The right to be invisibe adalah kesadaran dari banyak kalangan warga dan komunitas rentan yang mengalami diskriminasi bahkan praktik-praktik persekusi berhak menikmati keadilan, yang dijamin oleh negara, meskipun mereka tidak secara terbuka dan ekspresif melakukan advokasi dan kampanye untuk memperjuangkan hak-haknya, terutama ke publik (online).
Terkait kerentanan komunitas dalam melakukan kerja-kerja advokasi dan kampanye, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Pekanbaru Eko Faizin dan Direktur LBH Pers Ade Wahyudin membekali para peserta dengan dasar-dasar keamanan digital dan fisik serta bagaimana kampanye memperjuangkan hak-hak warga dari komunitas pinggiran. Keduanya menyuguhkan cara mengadvokasi kasus-kasus kekerasan digital hingga kriminalisasi dengan pendekatan HAM dan prinsip kebebasan berekspresi.
“Baru kali ini saya mengikuti training tentang keamanan digital yang lebih praktis dan teknis yang sangat berguna bagi kami dan komunitas,” ungkap Ari mewakili Yayasan Akbar Sumbar membagikan kesannya setelah mendapatkan materi tentang keamanan digital dan kebebasan berekspresi bagi komunitas-komunitas marginal.
“Saya baru kali ini bebas mengekspresikan diri, baik pandangan dan apa yang saya pakai, dalam kegiatan yang pesertanya berbeda latar belakang,” tutur Sandi dari Inti Muda Riau menumpahkan impresinya di ujung training (18/1).
Pada hari kedua pelatihan, 15 peserta mempresentasikan rancangan produksi konten kolaborasi “Community Journalism” yang mengangkat pergumulan isu-isu kelompok rentan di Riau dan Sumbar. Berikut adalah 5 tema konten kolaborasi yang terpilih untuk diteruskan ke tahapan produksi beasiswa terbatas Community Journalism:
- Advokasi Komunitas yang Aman dari Kekerasan Berbasis Gender (Danil, Yayasan Akbar Bukittinggi)
- Bele Kampong: Ritual Inti Suku Anak Rawa (Alit, Suku Anak Rawa Siak)
- Inisiatif Positif Advokasi Hak Komunitas Rentan (Erniwati Erman, OPSI Sumbar)
- Upaya Komunitas Marginal di Padang Bersuara (Anjali Sabna, komunitas India Padang; Nashifa Noor, Ahmadiyah Padang; dan Labora Silaban, GMKI Padang)
- Upaya Komunitas Marginal di Riau Bersuara (Amar Ma’ruf, Inti Muda Riau, dan Muhammad Iqbal, Warna Gaung Pekanbaru).