Berkeliling bersama komunitas gay, waria, lesbian dan transman dari Surabaya dan Malang untuk mengunjungi media-media adalah berkah tersendiri. Dari sana kebahagiaan dan harapan tumbuh beriringan.
Wakil Pemimpin Redaksi TIMES Indonesia Wahyu Nurdiyanto menyampaikan pengakuan dosa-dosa media.
“Jurnalis profesi yang mulia, tapi dosanya banyak: mulai pemilihan judul saja bias, sampai memelintir pernyataan narasumber,” ungkap Wahyu di hadapan komunitas LGBT Malang Raya di kantornya, Kamis (5/9).
Kunjungan media ke Surya dan Jawa Pos di Surabaya serta Malang Post, Radar Malang, Malang TIMES dan TIMES Indonesia dilakukan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dengan mengajak komunitas LGBT. Hal ini ditempuh bersama agar komunitas LGBT ke depannya lebih lincah dalam mengadvokasi media dan membangun komunikasi yang baik dengan kalangan jurnalis sampai editor dan pemimpin redaksi media-media di Surabaya, Malang dan Jawa Timur lainnya.
Karena itu TIMES Indonesia yang mempunyai jaringan di 220 wilayah Indonesia dan 4 di luar negeri, sambung Wahyu, memberi ruang positif bagi berbagai komunitas, termasuk LGBT, untuk menyuarakan hak-hak dan aspirasinya di media yang berkantor pusat di Malang ini.
Kepala Kompartemen Jawa Pos Tatang Mahardika juga menyadari bahwa kegagapan media dalam memberitakan LGBT disebabkan keterbatasan pengetahuan.
“Penting (kelompok minoritas) membuka komunikasi dengan media, seperti LGBT yang menjadi korban pemberitaan media yang tidak berimbang,” kata Tatang di Graha Pena, Surabaya, Selasa lalu (3/9).
Menurutnya, keberagaman menjadi salah satu prinsip yang dipegang medianya.
“Komitmen kami merawat keberagaman, toleransi terhadap liyan,” ujar Tatang terkait pentingnya mengamplifikasi keberagaman yang sudah hidup di negeri ini oleh Jawa Pos dan media-media lainnya.
Sementara, selaku ahli Dede Oetomo menyampaikan dorongan kepada komunitas LGBT yang masih muda untuk lebih terbuka dalam membangun komunikasi dengan media-media. Hal tersebut selalu diutarakannya ketika berkunjung ke Surya dan Jawa Pos yang mempunyai pengaruh besar di Jawa Timur.
“Jika ada pemberitaan yang menyudutkan komunitas LGBT, maka kita sendiri yang harus introspeksi mengapa informasi sebenarnya tidak sampai ke kalangan media,” harapnya kepada kalangan LGBT yang tergabung di GAYa NUSANTARA, Persatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos), Transhold, Transman Indonesia dan Voice of Youth yang ikut kunjungan ke kantor Surya di Surabaya (2/9).
Sementara hadir dalam kunjungan ke media-media di Malang: Aan Anshori. Sebagai ahli yang kerap mempromosikan prinsip-prinsip toleransi dan inklusi termasuk dalam lingkup keberagaman seksualitas, Aan mengoreksi cara-cara kerja media. Penggunaan kata normal dan tidak normal, penyakit, menyimpang dan seterusnya yang dilekatkan kepada komunitas LGBT adalah hal yang tidak benar. Ia memaparkan perkembangan mutakhir seputar kedokteran, psikologi dan ilmu pengetahuan lainnya yang kredibel dan sudah diadopsi oleh lembaga kesehatan dunia seperti WHO agar menjadi rujukan media ketika memberitakan LGBT.
Tak pelak, sebagai senior di komunitas waria Malang, Ratih juga menyesalkan stigma-stigma terhadap komunitas LGBT yang terus diberitakan oleh media-media. Sehingga, lewat perkenalan dan komunikasi yang terbuka dan hangat antara komunitas dengan media-media di Malang, Ratih sangat berharap pemberitaan media menjadi lebih ramah terhadap LGBT dan bersedia memberitakan aktivitas-aktivitas sosial, kesehatan dan kesenian yang mereka lakukan bersama masyarakat yang bahkan sudah melebur dalam kultur Malang, seperti pentas-pentas waria pada Ludruk.
Lyla Nur Ratri, editor Malang TIMES, langsung menyambut bahwa medianya sangat terbuka membangun kerja sama untuk memberi ruang bagi komunitas dalam memberitakan aktivitas-aktivitasnya maupun langkah-langkah advokasi yang dilakukan Ikatan Gay Malang (IGAMA), Ikatan Waria Malang (IWAMA) dan komunitas waria atau LGBT Malang lainnya. Kanal opini di Malang TIMES, tutur Lyla, juga mengundang komunitas LGBT untuk mengisinya sehingga menjadi ruang edukasi.
Untuk itulah Pemimpin Redaksi Malang TIMES Heryanto menegaskan pentingnya perjumpaan-perjumpaan antara media dengan komunitas LGBT.
Kesalahpahaman terjadi, menurutnya, karena tidak adanya sikap dan laku inklusif. Sehingga pertemuan dengan komunitas LGBT Malang Raya adalah hal yang sangat berguna.
“Kami berdiri di atas keberagaman. Tujuan media kami membangun keseimbangan. Maka, silaturahim (penting) agar media tidak satu frame pemberitaannya, minimal, cover both sides. Sehingga kami dari media dan komunitas LGBT dapat mencari manfaat bersama,” tegas Heryanto.[]