Selain rentan tertular virus dalam masa pendemi, pekerja migran juga harus menghadapi stigma negatif, diskriminasi dan tuduhan sebagai penyebar virus. Setidaknya, terdapat empat masalah besar dalam pemberitaan media arus utama ketika meliput isu pekerja migran, di antaranya sebagai korban kekerasan, pelaku kriminal, perusuh sosial dan pembawa virus.
Hal itu dipaparkan Eni Lestari, Ketua International Migrants Alliance (IMA) dalam diskusi daring 100 Hari Pandemi Covid-19: Melawan Virus Diskriminasi dan Kebencian terhadap Pekerja Migran yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Internews, Jumat (19/6).
Menurut Eni, hal ini tak lepas dari kepentingan pemilik media, minimnya perspektif jurnalis dan sentimen pembaca terhadap pekerja migran.
“Media kerap hanya meliput faktor pelanggarannya. Tetapi mereka gagal melihat faktor-faktor dan latar belakang sosio-ekonomi, politik dan budaya mengapa seorang pekerja migran sampai melakukan pelanggaran hukum. Media jarang sekali mengangkat soal aturan visa, tempat tinggal, atau perusahaan yang membayar sangat rendah,” jelasnya.
Eni menandaskan, pekerja migran hampir tidak punya ruang di media arus utama. Hal ini tak bisa dilepaskan dari posisi ekonomi, politik dan sosial di masyarakat penempatan, bahkan di masyarakat Indonesia.
“Apa sih buruh migran? Kami ini pekerja murahan, diambil dalam sistem kontrak, dan dipulangkan setelah tidak dibutuhkan. Memang posisi kami, bukan manusia. Kenapa? Dari sisi ekonomi kami hanya alat pembangunan, secara politik kita tidak punya hak memilih dan dipilih, tidak bisa terlibat dalam pemilu lokal, tidak bisa menjadi warga negara dan tidak bisa tinggal menetap, dan secara sosial kita terisolasi,” imbuhnya.
Eni mendorong, lebih banyak media membangun simpati lewat laporan yang mampu menjelaskan lebih mendalam. Melawan propaganda anti-imigran.
Jurnalis Malaysiakini Aidila Razak mengakui peliknya persoalan pekerja migran yang sudah terjadi cukup lama di Malaysia. Bahkan membanjirnya pekerja migran dituduh sebagai cara untuk mengawini perempuan-perempuan Malaysia.
“Sentimen anti pekerja migran bukan permasalahan baru di Malaysia,” beber Aidila.
Celakanya, tutur editor laporan khusus Malaysiakini, pemberitaan media-media di Malaysia banyak yang menyudutkan dan menebalkan kebencian terhadap pekerja migran. Dari pemilihan diksi pekerja migran ilegal, memprofil mereka sebagai pelaku-pelaku kriminal sampai penggunaan ujaran kebencian dalam pemberitaan.
“Pada headline media-media dituliskan warga asing sebagai virus, kotoran, yang harus ‘dibersihkan’ dari Malaysia,” paparnya dengan nada menyesalkan.
Karena itu Malaysiakini, media tempatnya bekerja, mengambil posisi yang justru memihak pada kelompok-kelompok rentan. Penyebutan etnis atau kewarganegaraan pelaku kriminal tidak penting buat Malaysiakini.
Eva Mazrieva dari VOA Indonesia mengakui bahwa banyak pemberitaan media di berbagai negara yang selama pandemi Covid-19 ini ikut menguatkan sentimen atau prasangka terhadap pekerja migran. Itu bisa terjadi, menurut Koordinator Liputan VOA Indonesia ini, karena minimnya perspektif jurnalis seputar pekerja migran. Hal lainnya, banyak jurnalis dan media yang mengejar clickbait.
“Penyakit teman-teman media yang baru adalah clickbait, dengan dua pragraf sudah cukup, (paragraf) setelah itu tidak ada hubungannya,” sesal Eva yang pernah bekerja di Radio Trijaya, SCTV, NHK TV, Yomiuri Shimbun, Radio Singapura Internasional dan ANTV.
Maka, dalam membuat berita atau laporan yang harus dikejar, menurut Eva, adalah dampak tulisan yang berpengaruh untuk membangun dan mengubah kesadaran publik dan kesadaran politik yang menghormati dan memihak agar pekerja migran tidak mendapat diskriminasi.
“Bahkan, VOA mendorong agar suara perempuan diprioritaskan,” ungkap Eva mengacu pada kebijakan VOA Indonesia yang sangat tegas melarang pemberitaan diskriminatif terhadap pekerja migran. Seimbang dan objektif, lanjut Eva, menjadi prinsip yang penting dalam memberitakan.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan pentingnya pemerintah memberikan jaminan perlindungan pekerja migran Indonesia yang sudah terdampak Covid-19 sejak masih status epidemi, belum pandemi. Wahyu juga menyesalkan belum adanya skema bantuan sosial dari pemerintah terhadap pekerja migran yang pulang ke Indonesia.
“Penanganan kepulangan dan pemulangan pekerja migran harus melalui protokol non-diskriminatif yang menghapus stigma,” ujar Wahyu yang memprediksi arus kepulangan pekerja migran Indonesia semakin deras sampai Agustus 2020. []
Penulis: Daniel Awigra dan Thowik SEJUK