Toleransi tidak cukup hanya dengan membiarkan ada tetangga yang berbeda agama. Kehidupan toleransi harus didorong sampai pada pemihakan yang tegas kepada kaum marginal, sehingga negara ikut memberikan tanggung jawabnya dalam memenuhi hak-hak segenap warga negara, termasuk kelompok minoritas.
Pernyataan itu disampaikan jurnalis Tempo wilayah liputan Kalimantan Barat Asheanty Wildaningsih Pahlevi untuk menegaskan pentingnya media berani mengangkat dan memperbanyak pemberitaan isu keberagaman. Ia mendorong para koleganya, jurnalis-jurnalis dari Kalimantan, untuk memberitakan konflik dengan tuntas untuk menciptakan perdamaian yang sesungguhnya.
Menurut perempuan yang akrab disapa Levi, pada wilayah seperti Kalimantan yang punya sejarah panjang konflik etnis, jurnalis atau media tidak cukup dengan memberitakan permukaan suatu masalah. Jurnalis, lanjut Levi, harus masuk lebih dalam lagi dengan memberikan ruang bagi kelompok-kelompok marginal, seperti LGBT dan eks-Gafatar, yang diserang pemukimannya dan diusir dari Mempawah, Kalimantan Barat (2016).
“(Sebagai) jurnalis tidak hanya membolehkan (perbedaan). Itu tidak cukup,” ujar Levi di ujung Workshop dan Story Grant Merawat Toleransi di Pulau Borneo yang diselenggarakan secara daring 4-7 Agustus 2020.
Kontributor Media Indonesia wilayah Kalimantan Tengah Surya Sriyanti turut berbagi kesannya mengikuti workshop dan story grant yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Internews. Kegiatan bertema media dan isu keberagaman ini diakui Yanti baru pertama kali ia ikuti. Ia kini mampu mengevaluasi dan membandingkan bahwa ada yang salah dari apa yang sudah ia lakukan sepanjang menjadi jurnalis.
Karena menurutnya sangat bermanfaat bagi pengembangan jurnalisme dalam memberitakan keberagaman ia berharap kegiatan serupa menarget kalangan editor dan pemimpin redaksi.
“Untuk tingkat lokal jangan hanya reporternya saja. Kalau di Palangkaraya bisa juga ke pemred (pemimpin redaksi),” harap Yanti yang merupakan pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Palangkaraya dan aktif di Forum Pemred.
Jurnalis Kaltim Post Noviyatul Chalimah juga mengamini harapan Yanti. Sebab, bagi Novi yang baru mengikuti workshop bertema jurnalisme keberagaman ini menyayangkan mengapa di Kalimantan timur, khususnya Samarinda, isu ini sangat jarang tersentuh. Isu lingkungan paling banyak diberitakan.
Hal senada disampaikan Agus Pujianto, jurnalis Tribun Pontianak, yang merasakan hal baru ketika mengikuti proses workshop bersama 15 jurnalis dari Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.
“Berhati-hati menggunakan diksi, khususnya dalam memberitakan isu-isu kebergaman, seperti LGBT,” kata Agus yang menjadikan prinsip-prinsip jurnalisme keberagaman sebagai bekal baru agar ke depannya tidak membuat berita yang menyudutkan dan menguatkan stigma kepada kelompok minoritas. Karena itu, akan bermanfaat juga jika pemahaman dan kesadaran baru ini sampai ke tingkat editor.
Bagaimana Meliput Konflik Etnis?
Reporter Radar Tarakan Januriansyah lebih mencemaskan bagaimana media memberitakan isu konflik antarsuku atau etnis. Kasus-kasus seperti kekerasan seksual, ungkap Janur, bisa merembet ke isu sektarian. Suku atau etnis dari pelaku tindak kejahatan, kriminal murni, kerap diseret-seret, sebagaimana Janur tunjukkan satu kasus kriminal murni yang sedang ramai di media sosial warga Tarakan. Ia khawatir, ketika memberitakannya malah memicu konflik etnis besar sebagaimana terjadi di Tarakan tahun 2010.
Konflik sektarian kerap bergolak di Borneo. Yang besar terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah, dan Sambas, Kalimantan Barat, 2001, sehingga masih menghantui para jurnalis di Kalimantan, mengingat isu-isu etnis kerap diseret ketika terjadi kasus kejahatan sampai proses politik daerah seperti pilkada.
Menjawab kekhawatiran para peserta, Produser Kompas TV Budhi Kurniawan menegaskan bahwa Panduan Meliput Keberagaman yang disusun SEJUK mendorong jurnalis ketika memberitakan tindak kriminal murni seperti kekerasan sesksual atau pembunuhan yang bermotif pribadi agar tidak membawa-bawa agama atau etnis dari pelaku atau korbannya yang bisa menggiring fakta dan berpotensi memperluas konflik.
“Tidak menampilkan atribut yang tidak relevan dengan kasusnya dan tidak melakukan generalisasi,” papar Budhi dalam workshop & story grant online yang merupakan rangkaian dari kegiatan yang digelar di dua wilayah sebelumnya: Jakarta, Banten, Jawa Barat; dan Sumatera.

Selain Budhi, dalam workshop ini melibatkan narasumber lainnya: Pemimpin Redaksi KBR Citra Dyah Prastuti (Media dan Keberagaman Gender & Seksualitas), jurnalis TEMPO sekaligus Kepala Divisi Online Freedom of Expression SAFEnet Ika Ningtyas (Keamanan Digital Jurnalis), editor The Jakarta Post Ahmad Junaidi (Dosa-dosa Media dalam Meliput Keberagaman), Deputy Director Human Rights Working Group (HRWG) Daniel Awigra (HAM Kebebasan Beragama), dan peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad (Prinsip-prinsip Kebebasan).
Yang menyampaikan testimoni kepada para jurnalis adalah Wakil Sekretaris Lembaga Keagamaan Majelis Agama Kaharingan Indonesia (MAKI) Nesiwati dan perwakilan Transpuan Palangkaraya Ajeng Kartika.
Proposal Liputan Keberagaman Terpilih
Sebagaimana workshop sebelumnya, di hari terakhir dilakukan coaching proposal liputan para peserta. Dari 15 proposal yang dipresentasikan dipilih 10 proposal liputan oleh 3 mentor story grant, Sri Wahyuni Fatmawati Pulungan (Pemimpin Redaksi Sejuk.org), Ahmad Junaidi (editor The Jakarta Post dan Direktur SEJUK), dan Budhi Kurniawan (produser Kompas TV). Masing-masing peserta yang terpilih proposalnya melanjutkan story grant berhak atas Rp7.000.000.
Berikut 10 proposal story grant liputan keberagaman terpilih:
1. Rumah Betang dan Keberagaman dalam Masyarakat Dayak – Surya Sriyanti, Media Indonesia Palangkaraya
2. Ragam Cerita dari Rumah Sakit selama Karantina Covid-19 – Agus Pujianto, Tribun Pontianak
3. Tenun Sambas, Rekonsiliasi Masyarakat Madura di Sambas Pascakonflik – Ashri Isnaini, Pontianak Post
4. Mediasi Rekonsiliasi Pascakonflik Antarsuku di Pontianak Lewat Pemadam Kebakaran – Hendra Cipta, Kompas.com Pontianak
5. Masyarakat Adat Tuntut Pengakuan Agama Kaharingan – Hafiz Ramadhani, Media Indonesia Banjarmasin
6. Merawat Ritual Adat Warisan Leluhur dalam Keberagaman – Ramses Tobing, Pontianak Post
7. Satu Dalam Perbedaan (SADAP), Komunitas Pemuda Perekat Keberagaman Lintas Iman di Pontianak – Asheanty Wildaningsih Pahlevi, Tempo.co
8. Kisah yang Tersisa dari Bom Oikumene – Noviyatul Chalimah, Kaltim Post
9. Nasib Anak-anak eks-Tapol PKI Argosari – Sri Gunawan Wibisono, Liputan6 Balikpapan
10. Kondisi Kaharingan di Kedang Ipil Kutai Kartanegara – Sapri Maulana, Tribun Kaltim Tenggarong