Kecenderungan pemerintah dan aparatnya untuk memperluas wewenang dengan memasuki wilayah privat warga menunjukkan negara yang semakin lemah. Negara yang tidak bisa membedakan ranah pribadi dan publik sehingga terus mencampuri urusan-urusan privat warganya akan mengalami obesitas sehingga bermasalah dalam bertanggung jawab membangun sektor publik.
“Negara yang obesitas menunjukkan ada banyak masalah dalam pelayanan publiknya. Daerah di mana pemerintahnya banyak mengurusi wilayah privat warganya, umumnya menunjukkan bahwa daerah tersebut mengalami persoalan dalam pelayanan publik,” papar peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, dalam sebuah diskusi Membincang Homofobia di Kalangan Aparat, Sabtu (12/9). Diskusi ini merupakan upaya mengevaluasi dan kritik atas praktik-praktik kriminalisasi kepolisian terhadap komunitas LGBT, berkaca dari penggrebekan kegiatan privat Hotspace di bilangan Kuningan Jakarta.
Padahal, sambung lulusan master kebijakan publik Australian National University, Canberra, harusnya aparat mengetahui tugas dan tanggung jawabnya untuk melindungi hak-hak dan kebebasan segenap warga untuk hidup, berpikir dan mengekspresikan aktivitas-aktivitas damainya, apalagi di ruang pribadi. Menurutnya, upaya kriminalisasi aparat terhadap aktivitas warga dengan orientasi seksual yang berbeda dari mayoritas adalah pelanggaran, karena negara harusnya berdiri di atas semua golongan.
Ketua Badan Pengurus Arus Pelangi Ryan Korbarri sangat menyesalkan makin massif dan sistematisnya negara dalam mengkriminalisasi komunitas LGBTIQ. Dalam diskusi yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Internews ini Ryan mewakili komunitas LGBTIQ melihat kasus Hotspace Apartemen Kuningan, Jakarta, ini adalah lanjutan dari persekusi-persekusi yang dilakukan aparat di ruang-ruang pribadi komunitas LGBTIQ, seperti di apartemen, hotel, rumah, baik di Sunter, Kelapa Gading, maupun wilayah lainnya seperti Surabaya.
“Itu teror tersendiri buat kami. Apalagi stigma-stigma yang muncul dalam pemberitaan membuat teman-teman semakin takut dan trauma,” ungkap Ryan.
Cara-cara aparat mengkriminalisasi komunitas LGBTIQ yang kerap diiringi oleh pemberitaan-pemberitaan media yang menghakimi berdampak pada apa yang Ryan sebut sebagai menguatnya homofobia bertingkat. Selain di tingkat aparat yang homofobik dan kuatnya framing media yang menstigma, juga membuat banyak dari LGBTIQ yang menyalahkan dirinya bahwa itu semua disebabkan orientasi seksualnya.
Karena itu, Ketua Bidang Gender Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Endah Lismartini tidak saja mengecam cara polisi yang ketika melakukan penggrebekan komunitas LGBTIQ mengajak wartawan, juga menyesalkan pemberitaan-pemberitaan yang menghakimi 9 dari 56 laki-laki yang kini dikriminalisasi berdasarkan gelar perkara dan konferensi pers polisi pada kasus Hotspace (2/9).
“Jurnalis bukan hakim! Tugasnya menyampaikan fakta dan kebenaran, bukan menghakimi,” tegasnya atas berbagai pemberitaan yang menyalahi aturan dan etik jurnalistik yang berlaku dengan mengabaikan asas praduga tak bersalah.
Sejatinya, lanjut editor Viva.co, kerja-kerja jurnalisme membutuhkan pengetahuan yang memadai. Sayangnya, berdasarkan pantauan AJI Indonesia, pemberitaan-pemberitaan pada kasus Hotspace dan lainnya yang melibatkan komunitas LGBTIQ, hanya mengejar pageview, rating atau traffick online sehingga cenderung bombastis dan sensasional.
Narasumber hanya dari polisi, tidak mengedepankan prinsip praduga tak bersalah, pemilihan diksi yang berhasrat menarik pembaca, isi berita yang menggunakan sudut pandang heteronormativitas, bahkan memasukkan opini pribadi jurnalis merupakan kesalahan-kesalahan pemberitaan yang diulang dan cenderung terus ditiru media di era ketika akses digital semakin mudah.
Sementara, media tidak mengungkap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan aparat dan pola-pola kriminalisasi terhadap komunitas LGBTIQ yang tidak sesuai dengan prosedur hukum. Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat Dominggus Christian melihat pengulangan pola kriminalisasi tersebut dari kasus-kasus yang mereka didampingi.
Apa yang terjadi di Hotspace serupa dengan penggrebekan pada kasus Atlantis yang juga korbannya komunitas LGBTIQ, di mana proses kriminalisasinya disertai kamera-kamera untuk menangkap visual peristiwanya. Foto-foto dan video penggrebekan pun beredar, merendahkan martabat para korban.
“Menjadi LGBT itu bukan kriminal,” kata Christian sambil menekankan bahwa aktivitas-kativitas seksual di ranah privat secara konsensual, tidak ada paksaan dan kekerasan, tidak pula dilakukan terhadap anak-anak, maka semua itu bukanlah tindakan pidana.
Dalam perspektif hukum, urusan privat tidak bisa diadili, karena hukum ada untuk (kepentingan) publik. Yang menyedihkan lagi, media tidak tertarik memberitakan pelanggaran hukum yang menurut LBH Masyarakat dilakukan polisi pada penggrebekan, penangkapan, pemeriksaan, sampai penetapan sebagai tersangka pada kasus Hotspace Kuningan.
Dari 9 orang yang ditetapkan sebagai tersangka, sejak awal sangat sulit mengakses bantuan hukum, menghubungi keluarga, sampai ada salah satu dari keluarga mereka membuat laporan orang hilang. Selain itu, pengenaan pasal-pasal terhadap mereka sangat dipaksakan.
Kesalahan polisi lainnya adalah pemaksaan Pasal 296 KUHP yang dalam penerbitannya diperuntukan bagi mucikari dan rumah bordil. Sementara tidak ada aktivitas meraup keuntungan atau bisnis pada kasus Hotspace. Kesalahan lainnya adalah penggunaan UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi.
“Dua pasal (Pasal 33 junto Pasal 7) UU Pornografi itu hanya jika dilakukan di ranah publik,” ungkap Christian atas kesalahan polisi menyeret urusan privat warga ke aturan hukum yang berlaku untuk tindakan-tindakan di ruang publik.[]
Lihat lebih lengkap: