Kembali viral di media sosial pembubaran ibadah gereja HKBP di Cikarang 13 September 2020. Publik Indonesia juga menyaksikan diskriminasi terhadap pembangunan bakal makam sesepuh masyarakat adat Sunda Wiwitan, Kuningan, Jawa Barat, di pertengahan Juli 2020. 8 Agustus acara keluarga kelompok Syiah di Solo digeruduk dan beberapa diserang.
Kasus lainnya menimpa keluarga Kristen di Bekasi yang menghelat ibadah virtual di rumah kemudian dibubarkan ketua RT dan tokoh agama Islam. Sempat beredar pula surat Dinas Sosial di Bangka Belitung yang menyaratkan penerima bantuan untuk warga terdampak Covid-19 beragama Islam. Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya juga hendak memaksa untuk menutup Masjid Al-Aqso milik jemaat Ahmadiyah di Singaparna.
Celakanya, kasus-kasus intoleransi dan diskriminasi tersebut terjadi di tengah badai Covid-19. Awal merebak pandemi di Indonesia, kebencian bernuansa etnis mengemuka: Tionghoa menjadi “bulan-bulanan” di media sosial.
Sementara, situasi kebebasan sipil Indonesia 10 tahun terakhir mengalami kemunduran, sebagaimana dilaporkan Lembaga Survei Indonesia (LSI) atau Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Begitupun situasi tiga tahun terakhir, laporan LSI yang dirilis 19 November 2019 menunjukkan intoleransi politik cenderung mengalami peningkatan di 2018 dan 2019 jika dibandingkan dengan 2016.
Mirisnya, era revolusi digital ini justru tidak sedikit media yang memberitakan isu-isu minoritas agama atau keyakinan, etnis atau ras, dan seksualitas secara bombastis dan sensasional. Sebaliknya, pada peristiwa-peristiwa keberagaman yang inspiratif media enggan memberitakannya.
Pertanyaan yang penting diajukan kemudian, mengapa media cenderung menghindari pemberitaan isu-isu agama, tetapi ketika hal itu viral di media sosial mereka memberitakannya lebih berorientasi clickbait atau memuja page view? Bagaimana bisa media sering melupakan fungsi watchdog dan edukasi dari jurnalisme, sehingga ketegangan berbasis agama atau keyakinan, etnis, gender, dan seksualitas disuguhkan oleh mereka lewat stigma-stigma dan tone yang menyudutkan kelompok minoritas?
Jika media mainstream terkendala pada kekhawatiran ketika memberitakan isu keberagaman, baik secara bisnis maupun keamanan, apakah posisi independen dan progresif pers mahasiswa masih ragu tergerak dalam membangun toleransi dan perdamaian di sekitar?
Terhadap situasi intoleransi yang tetap marak di masa pandemi dan pertanyaan-pertanyaan di atas, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) merasa perlu melanjutkan upaya-upaya melibatkan jurnalis-jurnalis kampus demi mendorong kaum muda meningkatkan kesadaran kebinekaan dan mempromosikan perdamaian.
Untuk itu, kami mengundang rekan-rekan jurnalis kampus wilayah Jawa dan Bali untuk terlibat dalam Workshop Pers Mahasiswa: Jurnalisme Keberagaman Era Pandemi di Banyuwangi. Kegiatan ini akan digelar dengan protokol kesehatan yang ketat.
Seperti workshop pers mahasiswa SEJUK yang sudah-sudah, proses diskusi, debat, kunjungan ke komunitas-komunitas agama atau kepercayaan yang terdiskriminasi maupun yang menginspirasi akan mengiringi pengalaman bersama menggumuli keberagaman. Pengalaman perjumpaan dalam perbedaan ini akan diproduksi oleh setiap peserta menjadi karya-karya jurnalistik.
Waktu penyelenggaraan: 23–26 Oktober 2020.
Lokasi workshop akan diinformasikan langsung kepada peserta terpilih.
Cara mendaftar
Bagi rekan-rekan jurnalis kampus yang ingin bergabung, sila mengirim:
- CV dengan menyertakan posisi atau jabatan saat ini di lembaga pers mahasiswa beserta nomer WA;
- Tulisan bertema keberagaman seputar isu agama atau keyakinan, etnis, dan gender berupa reportase, opini, resensi buku maupun film yang belum dipublikasikan.
Para pendaftar wilayah Jawa dan Bali yang tidak lolos seleksi pada workshop-workshop SEJUK yang telah lewat silakan mendaftar lagi.
CV dan tulisan dikirim ke bit.ly/persmabanyuwangi paling lambat 4 Oktober 2020 pkl. 23.59 WIB.
Pengumuman peserta workshop hasil seleksi akan dipublikasikan 8 Oktober 2020 di Sejuk.org, IG: @kabarsejuk, Twitter: @KabarSEJUK, FB: Sejuk, Page: Kabar SEJUK.
Panitia menanggung akomodasi, transportasi, dan rapid test peserta Workshop Pers Mahasiswa: Jurnalisme Keberagaman di Era Pandemi di Banyuwangi.
Untuk informasi lebih lanjut sila hubungi IG: @kabarsejuk, FB: Sejuk, Page: Kabar SEJUK, atau Twitter @KabarSEJUK atau WA ke Lidya di +62 85331490088.
Penyelenggaraan workshop ini ditaja Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) Indonesia dan Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Demikian undangan ini kami sampaikan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Jakarta, 17 September 2019
Hormat kami,
Ahmad Junaidi
Direktur SEJUK