[Jakarta, 19 September 2020] – Penahanan musisi Jerinx atau JRX memperlihatkan demokrasi yang seharusnya menjamin keterbukaan, partisipasi publik dan kebebasan ekspresi di Indonesia sedang dirong-rong oleh norma dan implementasi yang bermasalah dari khususnya pasal 27, 28 dan 29 UU ITE. Hal ini terkait dengan konteks sejarah dosa asalnya, mulai pembentukannya, norma yang diadopsi hingga implementasi dari UU ini.
Deputi Direktur Riset ELSAM Wahyudi Djafar mengatakan hal ini terjadi karena dalam UU ITE memunculkan norma baru sebagai alasan yang tidak ada dan bertentangan dalam norma hak asasi internasional. Menurutnya, dalam kerangka HAM internasional kebebasan berekspresi memang dapat dibatasi untuk tujuan perlindungan. Pun kemudian diatur dalam ketentuan hukum untuk alasan keselamatan, ketertiban, kesehatan, moral publik dan soal reputasi. Namun, beda konteks dalam pelaksanaan UU ITE.
“Dalam konteks UU ITE, ditambahkan norma pembatasan lain yang batasannya tidak jelas dan karet yaitu alasan norma kesusilaan, moral, agama, dan juga kepentingan bangsa,” tambahnya webinar UU ITE: Dulu, Kini & Nanti yang diselanggarakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dan Internews pada Sabtu, (19/9).
Hal senada diutarakan I Wayan Gendo, pendamping kasus Jerinx. Jerinx sendiri dijerat oleh UU ITE Pasal 28 Ayat (2) yang telah mengalami perluasan arti ‘antar-golongan’ menurut Mahkamah Konstitusi (MK), di mana definisinya adalah golongan atau entitas apapun yang tidak terwakili dengan definisi suku, agama dan ras.
“Makna golongan yang polisi rujuk dalah KBBI, kelompok dianggap golongan, profesi, aliran, lapisan masyarakat. Lembaga profesi juga diakui sebagai golongan oleh pihak kepolisian,” papar Gendo.
Menurut Gendo, hal itu juga yang menyebabkan UU ITE akan mengancam siapapun yang bersuara kritis. Apabila ada pihak yang tidak menyukainya mereka bisa menggunakan UU ITE untuk mengancam, membungkam dan memenjarakan mereka. Untuk kasus Jerinx, dia sedang ditunggu-tunggu kapan slip-nya,” tambah Gendo.
Tidak sekadar mengancam siapa saja yang kritis dan mengutarakannya di dunia maya, UU ITE juga kerap menyasar perempuan korban kekerasan seksual, media dan jurnalis perempuan, serta minoritas seksual. Hera Diani selaku Managing Editor Magdalene.co turut menyampaikannya.
Hal ini bisa dilihat dari tekanan yang dialami oleh Magdalene.co seperti ancaman yang kerap diterima jurnalis-jurnalis di Magdalene.co yang focus terhadap isu perempuan serta minoritas gender dan seksualitas. Bahkan website Magdalene.co juga pernah mengalami kesulitan pengaksesan karena diserang dan diretas.
“Ada pihak yang tidak setuju karena Magdalen sangat focus dan vokal menyuarakan isu yang masih tabu seputar seksualitas, LGBT, budaya dan agama. Hingga ancamannya tidak jauh-jauh dari ancaman bersifat seksis dan misoginis. Tetapi hal ini tidak menjadikan kami melakukan swa-sensor,” ungkap Hera.
Ini sejalan dengan kebiasan mayoritas media yang turut membumbui pemberitaan mengenai perempuan-perempuan korban kekerasan seksual yang biasanya kemudian juga terjerat UU ITE.
“Yang menyedihkan adalah bagi korban kekerasan seksual, sudah jadi korban, kemudian kriminalisasi ITE, kemudian diekspos di media, reviktimisasinya berlapis-lapis,” sesalnya.
Ellen Kusuma dari SAFEnet menambahkan bahwa tren kriminalisasi menggunakan UU ITE terus meningkat dari tahun ke tahun, khususnya saat mendekati momen-momen politik di tanah air. Pun, melalui catatan SAFEnet sendiri, yang paling banyak menggunakan pasal ini adalah umumnya yang memiliki kuasa seperti kepala daerah.
Tercatat jumlah kasus digital di kepolisian meningkat sejak tahun 2017-2019 dengan total kasus sebanyak 6895 akun yang diselidiki oleh Dittipidsiber POLRI. Jumlah kasus terkait UU ITE di persidangan sendiri meningkat dua kali lipat jumlahnya dari 2017 menjadi 292 kasus di akhir 2018.
Ditambahkan Ellen kelompok-kelompok yang paling beresiko adalah jurnalis/media, aktivis, dosen/guru dan yang paling tinggi adalah warga. []
Untuk tayangan lengkap webinar dapat dilihat di: