Perempuan cenderung dipinggirkan dan dipandang lebih rendah dari laki-laki. Itu yang lazim berlaku dalam banyak agama. Perempuan tidak bisa menjadi pemimpin agama dan memimpin peribadatan atau doa dengan jamaah laki-laki.
Bagaimana dengan perempuan-perempuan masyarakat Baha’i?
Demi mendakwahkan risalah kesatuan Tuhan, kesatuan agama dan kesatuan kemanusiaan, perempuan-perempuan Baha’i sangat aktif dalam membangun dialog lintas-iman, baik di daerah maupun di Jakarta (nasional).
Hal tersebut tercermin dalam Perayaan 200 Tahun Kelahiran Sang Bab, tokoh suci yang mewartakan perihal kemunculan pembawa wahyu, Nabi Baha’u’llah, yang digelar Sabtu siang (23/11)
di bilangan Menteng, Jakarta.
“Lelaki dan perempuan telah dan akan selalu sama dalam pandangan Tuhan,” sabda Baha’u’llah, Nabi agama Baha’i, yang pada 1863 memproklamirkan diri sebagai pembawa wahyu.
Itulah yang mendorong keterlibatan aktif perempuan masyarakat Baha’i ini bahkan sampai ke tingkat kepengurusan tertinggi, Majelis Rohani Nasional, yang selalu diisi secara seimbang antara laki-laki dan perempuan.
“Dalam Majelis Rohani Nasional Baha’i yang diisi 9 orang tidak ada derajat pemimpin tertinggi,” kata salah satu perempuan dari masyarakat Baha’i yang aktif di tingkat nasional, Rina.
Di agama Baha’i yang muncul dari Shiraz, Iran, sambung Rina, tidak ada pembedaan sama sekali derajat laki-laki dan perempuan.
“Tidak tahukah kalian mengapa Kami telah menjadikan kalian semua dari tanah yang sama? Supaya yang satu tidak meninggikan dirinya di atas yang lainnya,” demikian Rina membacakan “Kalimat Tersembunyi” terjemahan dari Bahasa Arab yang disampaikan Baha’u’llah.
Perayaan 200 Tahun Kelahiran Sang Bab di Jakarta menghadirkan perwakilan Kementerian Agama, organisasi agama-agama, lembaga dan masyarakat sipil lintas-iman dan kepercayaan, kalangan media dan sebagainya.