Pemerintah Kabupaten dan aparat kepolisian Sintang, Kalimantan Barat, hanya bisa tunduk pada aspirasi kelompok intoleran untuk merampas kemerdekaan warganya yang rentan. Desakan beberapa pihak yang mengatasnamakan Aliansi Umat Islam Kabupaten Sintang ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Plt. Bupati Sintang (13/8) yang melarang aktivitas dan penggunaan masjid Ahmadiyah Desa Balai Harapan.
Sehari setelah terbitnya surat bupati, masjid Ahmadiyah Sintang disegel Sabtu (14/8) oleh Pemerintah Kabupaten Sintang. Selain desakan kelompok intoleran, SKB Tahun 2008 tentang Ahmadiyah menjadi acuan tindakan diskriminatif yang melanggar hak beragama anak bangsa.

Pertanyaannya, apakah tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Sintang adalah meluluskan kepentingan mayoritas (penganut Islam mainstream), menindas hak-hak minoritas? Di manakah prinsip keadilan dan kesetaraan yang telah dijamin dan dinyatakan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945?
Padahal secara tegas Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing”, sebagaimana termaktub pada Pasal 29 ayat (2).
Jemaat Ahmadiyah Indonesia bukan kelompok warga negara yang merugikan bangsa. Dalam sejarah Indonesia, mereka bagian dari anak bangsa yang mempunyai kontribusi besar.
Pencipta lagu Indonesia Raya WR Supratman dan pahlawan Ampera Arif Rahman Hakim, di antaranya, menjadi bagian jemaat Ahmadiyah.
Kendati banyak pemerintah daerah yang menumpas hak-hak jemaat Ahmadiyah, sampai kini Ahmadiyah menjadi penyumbang rutin donor darah paling banyak, termasuk donor mata, di Indonesia. Aksi-aksi sosial kemanusiaannya semakin hari bertambah aktif dan meluas ke berbagai wilayah, menjangkau banyak korban di setiap ada bencana, dari tsunami Aceh, gempa dan tsunami Banten, Lombok, Jogja, Palu, dan seterusnya.
Ironis, kemerdekaan hanya diproklamirkan, tetapi tidak dirasakan oleh warga negara dari kalangan rentan bangsa ini, seperti Ahmadiyah. Aksi-aksi intoleransi tidak pernah berhenti memakan korban dari kelompok rentan, tindakan pemerintah dan aparat yang diskrimintif terus berulang.
Selain bersolidaritas, maka penting bagi kami mengajak semua pihak bersama-sama bersikap dengan menuntut:
- Cabut SKB 3 Menteri Tahun 2008 tentang Ahmadiyah, sumber diskriminasi dan aksi-aksi intoleransi;
- Pemerintah Kabupaten Sintang mencabut segel masjid Ahmadiyah dan membatalkan Surat Bupati tentang penghentian aktivitas jemaat Ahmadiyah (beribadah) di masjid Ahmadiyah, Desa Balai Harapan. Ini pelanggaran HAM;
- Menuntut aparat kepolisian untuk tidak masuk ranah keyakinan warga dengan memihak yang satu dan menafikan lainnya. Tugas polisi memberi jaminan perlindungan bagi seluruh warga, termasuk jemaat Ahmadiyah di Sintang, untuk beribadah dengan aman dan tenang;
- Meminta Komnas HAM memediasi dan menuntut pemerintah daerah memenuhi hak-hak dan kebebasan beragama jemaat Ahmadiyah di Sintang;
Sebab kemerdekaan beragama dan beribadah sesuai keyakinan adalah hak setiap warga.