“Pendidikan itu hak bagi semua.”
Sambil memegang siku rekan di sampingnya, lelaki setengah baya itu berjalan masuk ke dalam ruangan. Pakaian bernuansa hitam menghiasi tubuhnya, dari ujung kaki hingga kepala. Lengkap dengan kacamata hitam yang dikenakannya.
“Hidup saya gelap, jadi begini pakaiannya juga,” ucapnya dengan nada bercanda.
Semenjak lahir, Adi memiliki visibilitas yang terbatas. Mata kanannya hanya mempunyai visibilitas sebesar 40 persen. Sementara mata kirinya terlahir dengan kondisi buta total.
Kecelakaan lalu lintas 24 tahun yang lalu telah merenggut indera penglihatannya secara total. Dunia Adi berubah menjadi gelap seketika kala umurnya masih 18 tahun.
“Dulu saya masih bisa lihat meski bayang-bayang saja, sekarang mimpi aja cuma suara,” ungkapnya dengan sedikit tawa.
Meski begitu, Adi tidak larut dalam kesedihan. Justru lelaki kelahiran 1982 itu melanjutkan perjuangan demi membela teman-teman disabilitas lainnya.
Seringkali Adi merasa prihatin dengan kondisi penyandang disabilitas di wilayah Cilegon. Masyarakat Banten, katanya, masih belum teredukasi perihal disabilitas. Ditambah perilaku pemerintah yang belum maksimal dalam memberikan kesempatan yang sama terhadap teman-teman disabilitas.
Adi merasa salah satu hal yang vital namun sering terlupakan adalah akses pendidikan bagi disabilitas. Baginya, pendidikan dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kapasitas teman-teman netra, tuli, maupun daksa. “Pendidikan itu hak bagi semua.”
“Itu dapat menjadi sarana teman-teman disabilitas untuk meningkatkan kualitas hidupnya,” lanjutnya.
Saat ini, di daerah Cilegon, pusat operasi dari Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) hanya terdapat lima sekolah swasta, dan satu sekolah negeri. Termasuk Yayasan Mutiara Bunda, Al Hadid, Muhammadiyah. Serta sebuah sekolah yang dioperasikan pemerintah, yaitu Sekolah Khusus (SKh) Negeri 1 Cilegon.
Meski begitu, sebuah SKh tidak cukup untuk menampung populasi disabilitas di Cilegon yang mencapai angka 1.706 jiwa. Adi memuji langkah pemerintah dalam membangun SKh negeri, tapi baginya sebuah sekolah negeri–hasil desakan Pertuni–belum cukup untuk melayani teman-teman disabilitas.
“Banyak akhirnya yang tidak tertampung negeri, alhasil mereka beralih ke swasta yang biayanya lebih besar,” ucapnya.
Selain itu, Adi juga menyoroti pemerataan SKh. Adi yang turut menjadi guru di SKh itu mengaku beberapa muridnya harus menempuh perjalanan yang begitu jauh. “Titik lokasi SKh itu sangat jauh dibandingkan rumah-rumah disabilitas.”
“SPP hilang, tapi ongkosnya lebih gede,” sambungnya.
Seakan hanya menggugurkan kewajiban saja. Bagi Adi, pemerintah masih belum maksimal dalam memfasilitasi disabilitas. “Kami gak mengharapkan bantuan kayak bansos. Kami cuma ingin meningkatkan skill dan SDM,” pungkasnya.
Antara Sekolah Inklusi dan SKh
Umumnya dalam penerapan pendidikan disabilitas, Pemda menggunakan pola SKh atau SLB yang memisahkan antara disabilitas dengan murid pada umumnya. Juga sekolah inklusi yang membiarkan peserta didik disabilitas duduk bersama siswa non-disabilitas.
Penerapan sekolah inklusi menjadi semakin marak ketika Kemendikbud Ristek mengeluarkan Permendikbud Ristek Nomor 48 Tahun 2023 yang mengatur bantuan dana tambahan bagi sekolah inklusi. Di Banten sendiri, sekolah inklusi turut diatur lewat Peraturan Gubernur Banten Nomor 74 Tahun 2014.
Hikmatullah seorang disabilitas netra yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah inklusi merasa nyaman duduk sebangku dengan teman-teman non-disabilitas. Meski begitu, di SMA tempat Hikmat bersekolah dulu masih banyak bahan-bahan ajar yang belum ramah disabilitas.
“Jauh dari kata inklusi, belum optimal. Akses pembelajaran, buku itu belum ada. Gak ada guiding block,” katanya.
Meski merasa nyaman, Hikmat yang tengah menempuh pendidikan tinggi di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) itu kerap risih dengan perlakuan spesial terhadapnya. Ia merasa tidak perlu diberikan pengecualian dari guru, “Saya sanggup mengerjakan soal yang sama, kok,” ungkapnya.
Hikmat merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kedua saudaranya mengalami kondisi yang serupa dengan Hikmat. Awalnya, orang tua Hikmat skeptis untuk memberikan pendidikan setinggi-tinggi mungkin. Namun, kata Hikmat, hari ini orang tuanya amat bangga ketika anaknya sudah bisa mengenyam pendidikan tinggi.
Sekolah inklusi, menurut Hikmat, sangat cocok untuk teman-teman disabilitas netra, tuli, dan daksa. “Karena sama dengan orang-orang biasanya. Banyak teman dan berbaur, lebih bisa bersaing,” kata mahasiswa Pendidikan Khusus Untirta tersebut.
Sementara itu, Ulum, seorang Tuli yang duduk di bangku kelas 2 SMP memiliki pengalaman berbeda. Ulum membuat gestur membuka kedua telapak tangannya, ia membentuk abjad “T” menggunakan tangan kanannya. Selepas itu ia mengangkat kedua tangannya menirukan gestur salat.
“Ulum suka belajar di sekolah, katanya dia belajar membaca, lalu ibadah, dan tenis meja,” kata Ilham seorang Juru Bahasa Isyarat (JBI) yang menemani Ulum.
Ulum menyukai teman-temannya di sekolah. Ia amat senang berada di sekolah khusus yang memiliki fasilitas bagi penyandang disabilitas sepertinya. Sekarang, Ulum sedang berupaya untuk menjadi atlet di bidang tenis meja.
Meski begitu, sekolah khusus memiliki beberapa kelemahan. Adi mengatakan sekolah khusus tidak tersambung dengan Dirjen Dikti. Hal tersebut menyulitkan teman-teman disabilitas untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi.
“Pendidikan tinggi sangat diperlukan, supaya mendewasakan pola pikir. Kalau di dunia pendidikan khusus itu kebanyakan hanya keterampilan saja,” ucap Adi.
Sampai kini, Adi dan teman-teman disabilitas lainnya terus berjuang untuk mewujudkan pendidikan yang merata dan inklusif. Utamanya di tingkat umur sekolah dan kuliah. “Kami kan ingin kesempatan yang sama dan adil bagi kita,” pungkasnya.
Penyusun laporan: Izam, Abdul hamid, Rubbi, Fitri, Ine, dan Naila
Laporan ini adalah bagian dari kegiatan workshop “Pemilu Serentak 2024 dan Tantangan Menerapkan Jurnalisme Keberagaman di Kalangan Pers Mahasiswa Banten” yang didukung oleh Internews dan USAID dan bekerja sama dengan LPM Sigma UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, LPM Institut UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Aliansi Pers Mahasiswa Serang (APMS) yang digelar di Carita, Pandeglang, Banten, 23-26 Februari 2024.