Di balik setiap laporan kekerasan berbasis gender (KBG) di Indonesia, ada perempuan yang terancam secara fisik dan psikis, serta melawan standar sosial yang disematkan kepada perempuan. Mereka adalah para penyintas, para saksi, dan tak jarang, para pembela hak asasi manusia yang tetap berdiri tegak meski menghadapi berbagai bentuk intimidasi dan ancaman. Dalam struktur sosial yang masih kental dengan stigma dan patriarki, perempuan pembela HAM (PPHAM) sering menjadi lapisan pertama perlindungan bagi korban kekerasan. Namun, siapa yang melindungi mereka?
Pertanyaan inilah yang menjadi latar belakang di balik penyelenggaraan Masterclass PPHAM dan Penghapusan Kekerasan Berbasis Gender, sebuah inisiatif kolaboratif antara Institut KAPAL Perempuan dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Lebih dari sekadar pelatihan, kegiatan ini menjadi ruang pertemuan, pembelajaran, dan penguatan solidaritas bagi para perempuan yang memilih berdiri di garis depan perjuangan hak asasi manusia. Kegiatan ini diselenggarakan pada Kamis, 22 Mei 2025, di Ruang Auditorium, LPSK, Jl. Raya Bogor KM 24, Susukan, Jakarta Timur.
Sesi pertama diisi oleh Sri Nurherwati, Wakil Ketua LPSK periode 2024–2029, yang membawakan materi “Penanganan dan Penghapusan Kekerasan Berbasis Gender”. Ia memaparkan dengan rinci prosedur nasional penghapusan KBG, termasuk implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Materi yang disampaikan mencakup bentuk-bentuk kekerasan seksual serta pendekatan pencegahan melalui pendidikan masyarakat dan penguatan hak korban, mulai dari bantuan hukum hingga layanan rehabilitasi. Sri juga menekankan pentingnya peran pemerintah dalam koordinasi penanganan kasus dan peran Sahabat Saksi Korban dalam proses restitusi bagi korban.

Sesi kedua dipandu oleh Yuniyanti Chuzaifah, Ketua Komnas Perempuan periode 2010–2014. Dalam sesi bertajuk “Perkenalan Mendalam dan Memahami Situasi PPHAM”, Yuniyanti menyampaikan situasi terkini yang dihadapi perempuan pembela HAM di Indonesia, mulai dari jenis-jenis kerentanan hingga ancaman spesifik terhadap tubuh dan seksualitas mereka. Ia juga memaparkan berbagai respons strategis, termasuk praktik perlindungan di negara lain dan peluang advokasi dalam konteks kepemimpinan baru di Indonesia. Salah satu hal penting yang didorong dalam sesi ini adalah urgensi pengesahan regulasi perlindungan khusus bagi PPHAM serta perlunya kerja sama multi-stakeholder yang solid.
“Marsinah adalah alasan mengapa LPSK dibentuk,” ujar Yuniyanti Chuzaifah. “Ia adalah perempuan pembela HAM, pembela buruh perempuan, karena vokal terhadap hak-hak buruh ia dibunuh dengan sangat sadis”. Yuniyanti Chuzaifah kemudian mengenang masa-masa jelang reformasi, beberapa aktivis menolak untuk membawa isu perempuan karena akan memecah isu demokrasi. Namun Yuniyanti Chuzaifah menolak usul itu, isu perempuan harus terus disuarakan, Marsinah adalah simbol perlawanan. Selain LPSK, hasil perjuangan PPHAM lainnya adalah UU TPKS, UU PKDRT, Komnas Perempuan, dan lain-lain.
Kekerasan terhadap perempuan yang terus berevolusi
Kekerasan berbasis gender di Indonesia tidak hanya terjadi dalam bentuk fisik, tetapi juga kekerasan seksual, psikologis, ekonomi, bahkan kini menjalar ke ruang digital. Data dari KemenPPPA mencatat lebih dari 14 ribu kasus KDRT sepanjang tahun 2024. Sementara itu, SAFEnet melaporkan lonjakan kasus kekerasan berbasis gender online, naik lebih dari empat kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Korban terbesar dari kekerasan ini adalah perempuan, terutama yang berusia 18–25 tahun. Mereka tidak hanya harus melawan trauma, tapi juga menghadapi sistem yang belum sepenuhnya berpihak pada korban.
Dalam situasi ini, PPHAM memiliki peran penting, menjadi jembatan harapan dan suara bagi korban yang tak terdengar. Namun, dalam menjalankan peran tersebut, mereka sendiri sering menjadi sasaran kekerasan. Komnas Perempuan mencatat lebih dari 100 kasus kekerasan terhadap PPHAM dalam satu dekade terakhir. Sayangnya, hingga kini belum ada perlindungan hukum yang secara khusus menyasar kelompok ini. Akibatnya, banyak PPHAM bekerja dalam tekanan dan risiko tinggi, tanpa jaminan perlindungan institusional.

Masterclass ini menjadi salah satu upaya untuk mengubah keadaan secara bertahap. LPSK, sebagai lembaga negara yang memiliki mandat perlindungan bagi saksi dan korban, menghadirkan pendekatan kelembagaan. Sementara itu, KAPAL Perempuan membawa pengalaman panjang dalam kerja-kerja pemberdayaan komunitas dan advokasi berbasis akar rumput. Selama tahun 2022–2024, LPSK menerima hampir 3.000 permohonan perlindungan dari korban KBG, angka yang sekaligus menunjukkan tingginya kebutuhan perlindungan dan mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat.
Pelatihan ini membekali peserta dengan pengetahuan tentang perlindungan hukum, pemulihan psikososial, serta strategi advokasi yang berbasis pada kebutuhan korban. Lebih dari itu, forum ini menjadi ruang aman untuk saling berbagi pengalaman, memperkuat jaringan solidaritas, dan merumuskan masa depan perlindungan yang lebih responsif dan adil. Melalui kolaborasi ini, harapannya muncul praktik-praktik baik yang dapat direplikasi di daerah lain. Sebab perjuangan melawan kekerasan berbasis gender bukan hanya tugas satu lembaga, melainkan kerja kolektif seluruh elemen masyarakat. Masterclass PPHAM dan Penghapusan KBG bukanlah akhir, melainkan sebuah titik awal. Titik di mana negara dan rakyat bersatu untuk memastikan tak ada lagi perempuan yang harus berjuang sendirian.