Selasa, Juli 1, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Agenda

Penulisan Ulang Sejarah oleh Penguasa: Membungkam Perempuan yang Kritis

by Redaksi
30/05/2025
in Agenda
Reading Time: 2min read
Penulisan Ulang Sejarah oleh Penguasa: Membungkam Perempuan yang Kritis
Share on FacebookShare on Twitter

Jakarta, 28 Mei 2025 — Sejumlah aktivis perempuan, sejarawan, dan pembela hak asasi manusia menyuarakan penolakan terhadap rencana pemerintah menulis ulang sejarah nasional secara sepihak. Acara ini dilatarbelakangi oleh pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menargetkan rampungnya penulisan ulang sejarah nasional menjelang 80 tahun Kemerdekaan RI, Agustus 2025.

Dalam webinar bertajuk “TIDAK MAU DIBUNGKAM: Perempuan Menolak Penulisan Ulang Sejarah Indonesia oleh Penguasa”, para narasumber menegaskan bahwa proyek ini sarat kepentingan kekuasaan, minim partisipasi publik, dan berpotensi menghapus sejarah kekerasan terhadap perempuan serta kelompok rentan lainnya. Webinar ini diselenggarakan oleh Perempuan Mahardhika, dengan narasumber Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia, Ita Fatia Nadia dari RUAS (Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan), serta Dhia Al-Uyun mewakili Serikat Pekerja Kampus.

Mutiara Ika Pratiwi, perwakilan dari Perempuan Mahardhika, mengkritik keras proses yang dijalankan secara tertutup. “Penulisan ini dilakukan tanpa transparansi dan partisipasi publik yang memadai. Kita khawatir sejarah hanya akan menjadi narasi tunggal penguasa,” tegasnya. Ia juga menyoroti potensi penghapusan jejak kekerasan seksual terhadap perempuan, seperti yang terjadi dalam tragedi Mei 1998.

Senada dengan Ika, Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia memperingatkan bahwa sejarah yang ditulis ulang oleh negara rawan menjadi alat glorifikasi kekuasaan dan menormalisasi impunitas. “Pelaku pelanggaran HAM bisa diposisikan sebagai pahlawan, sementara korban dihapus dari catatan sejarah,” ujarnya. Usman juga mengatakan bahwa penulisan sejarah secara sepihak dapat menutupi fakta dan mengaburkan tanggung jawab pelaku. Sejarah bisa dimanipulasi demi glorifikasi kekuasaan dan penghapusan catatan kejahatan masa lalu.

Dampaknya, lanjut Usman, Menghapus sejarah pelanggaran HAM akan mengurangi kesadaran masyarakat tentang HAM, menghambat pembelajaran dan pencegahan pelanggaran HAM di masa depan. Selain itu negara akan kehilangan kesempatan untuk memahami dan memperbaiki patologi politik masa lalu.

Sejarawan perempuan Ita Fatia Nadia menyoroti penghilangan sistematis terhadap tokoh perempuan dalam narasi sejarah nasional. “Kita tidak pernah dengar nama Maria Ulfah disebut dalam sejarah resmi gerakan nasional. Ini bukti sejarah resmi masih sangat patriarkis dan militeristik,” katanya. Lebih lanjut, Ita menilai proyek ini adalah bagian dari upaya lama negara untuk mengontrol ingatan kolektif warga. “Sejarah dijadikan alat ideologis yang membentuk cara pandang tunggal dan mengukuhkan hegemoni negara atas identitas warganya,” jelasnya.

Dhia Al Uyun dari Serikat Pekerja Kampus menambahkan bahwa penulisan ulang sejarah bisa menjadi bentuk penghilangan baru terhadap perjuangan rakyat. “Kasus-kasus seperti pembunuhan Munir, perampasan tanah di Wadas, hingga aksi buruh May Day bisa saja disingkirkan dari narasi resmi,” katanya.

Para narasumber sepakat bahwa sejarah harus ditulis dengan prinsip transparansi, partisipasi, dan penghargaan terhadap kebenaran. Mereka menyerukan publik untuk menolak penulisan ulang sejarah yang dikendalikan rezim demi menjaga ingatan kolektif bangsa dan membuka jalan bagi keadilan transisi.

“Sejarah tidak boleh ditulis ulang oleh penguasa. Ia harus ditulis oleh rakyat, untuk rakyat,” tutup Ika.

Tags: #HAMHeadlineKeberagamanSEJUK
Previous Post

Hari Kebangkitan Bangsa: Kebangkitan Orang Muda untuk Melawan Segala Bentuk Kekerasan 

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Hari Kebangkitan Bangsa: Kebangkitan Orang Muda untuk Melawan Segala Bentuk Kekerasan 

Hari Kebangkitan Bangsa: Kebangkitan Orang Muda untuk Melawan Segala Bentuk Kekerasan 

24/05/2025
pelatihan komunitas Pekanbaru Riau Sumbar

‘No Viral, No Justice’ Tak Selalu Adil bagi Komunitas Rentan

21/01/2025
Komunitas Kreatif Dukung Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Komunitas Kreatif Dukung Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

19/11/2024
Masyarakat Adat ICIR Ambon

Mengupayakan Kebijakan yang Berpihak pada Masyarakat Adat dan Penghayat Agama Leluhur di Indonesia Timur

23/10/2024
Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gereja Ortodoks Rusia di Indonesia: Menjumpa dan Menyapa yang Berbeda dengan Cinta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Elisheva Wiriaatmadja, Contoh Penganut Judaisme yang Terbuka di Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dewi Kanti Rela Tak Punya Akta Nikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In