Kamis, Juli 3, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Siaran Pers

Tegakkan Hukum terhadap Kasus-kasus Kekerasan Seksual!

by Redaksi
24/01/2014
in Siaran Pers
Reading Time: 3min read
Share on FacebookShare on Twitter

 

Siaran Pers LBH APIK Jakarta

 

“Mendorong Penegakan Hukum atas Kasus-Kasus Kekerasan Seksual dan  Pembahasan RUU Kekerasan Seksual di DPR dan Pemerintah, Segera!”

Akhir-akhir ini pemberitaan media menyoroti kasus kekerasan seksual cukup menyedot perhatian publik. Sebut saja  kasus perkosaan yang dilakukan Penyair-Sitok Srengenge terhadap RW, kasus perkosaan oleh CK, seorang fotografer dengan korban Ans, serta kasus pelecehan seksual yang dilakukan salah seorang pejabat Kantor Berita Antara yang terungkap belum lama ini.

 

Pemberitaan kasus kekerasan seksual tersebut memperlihatkan betapa lemahnya sistim hukum untuk melindungi dan menjamin akses keadilan bagi korban. Proses hukum yang berjalan cenderung mendiskualifikasi pengalaman perempuan korban dan sangat mudah menstigmatisasi korban. Aparat penegak hukum (APH) dan masyarakat cendrung menggunakan riwayat seksual korban atau status sosial korban (yang sangat tidak relevan) untuk mengabaikan laporan korban, sehingga alih-alih menindak pelaku, justru korban diviktimisasi dan lebih jauh, korban rentan dilaporkan balik (dijadikan tersangka/kriminalisasi) seperti dalam kasus yang menimpa Ans.

 

Jikapun kasus kekerasan seksual berlanjut untuk diproses secara hukum, dalam penanganannya seringkali berjalan sangat lambat, atau terhenti di tengah jalan karena kurang bukti. Hal ini akibat APH tidak mau mempertimbangkan konteks dan pengalaman perempuan korban dan bersikukuh dengan keharusan adanya minimal dua saksi (KUHP).  Selain itu selama proses berjalan, korban tidak mudah mengakses fasilitas seperti penanganan secara khusus di Unit PPA di Kepolisian, seperti yang terjadi pada kasus RW. Begitupun dalam pencantuman pasal dalam dokumen hukum seperti di berkas laporan, seringkali kasus pelecehan seksual dan perkosaan oleh APH dirujuk menjadi hanya delik pidana perbuatan dan perlakuan yang tidak menyenangkan (pasal 335 ayat 1) yang merupakan pasal “keranjang sampah”.

 

Belum lama ini, tepatnya tanggal 16 Januari 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus delik pidana ini, oleh karena dianggap sebagai pasal karet karena sumir unsur pidananya. Baik perspektif APH maupun substansi hukum seperti dalam KUHP, terkait pengaturan kekerasan seksual sangat juah dari konteks pengalaman perempuan korban. Sistem hukum sejak awal telah menjauhkan akses perempuan kepada keadilan. Secara penempatannya pun dalam KUHP masih dikelompokkan dalam bab kejahatan terhadap kesusilaan. Bukan sebagai bentuk kejahatan terhadap orang.

 

Bagaimanapun kekerasan seksual merupakan kejahatan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Tindakan seperti perkosaan, pelecehan seksual, pencabulan jelas melanggar integritas tubuh dan kedirian/kemanusiaan seseorang. Kekerasan seksual seperti perkosaan dan pelecehan seksual tidak bisa ditangani seperti halnya kejahatan biasa. Faktanya, tidak mudah bagi perempuan korban untuk menuturkan pengalamannya, di tengah budaya masyarakat yang mudah mencemooh dan menghakimi perempuan apalagi jika perempuan tersebut dengan status sosial/pekerjaan tertentu  dan atau memiliki riwayat seksual yang dengan gampang dilekatkan sebagai perempuan “tidak baik”. Trauma psikologis mendalam atas kejadian yang dialami seringkali mengakibatkan korban butuh waktu untuk memproses kasusnya secara hukum. Proses menceritakan kembali peristiwa yang menyakitkan bukanlah hal mudah bagi korban.

 

Proses hukum pada kasus kekerasan seksual  menjadi perhatian serius bagi LBH APIK Jakarta. Banyak kasus yang dilaporkan sebagai perkosaan oleh korban dianggap oleh kepolisian tidak memenuhi unsur-unsur perkosaan dalam KUHP yakni “unsur paksaan” yang harus dibuktikan secara fisik.  Padahal dalam pengalaman perempuan, paksaan tidak mesti secara  fisik, cukup dengan adanya tekanan yang dilakukan oleh seorang yang memiliki pengaruh/pihak yang dominan dalam relasi yang tidak setara  membuat korban tidak berdaya. Paksaan secara psikis seperti ini justru sangat membekas dan menimbulkan trauma yang mendalam di diri korban.

 

Kondisi inilah yang dialami RW, korban perkosaan dengan tersangka seorang seniman Sitok Srengenge yang menjadi guru, pembimbing, mentor, sekaligus figur yang dihormati dan disegani oleh korban sebelumnya. Dalam laporannya oleh Kepolisian hanya dikenakan pasal keranjang sampah itu, dan hingga kini laporannya masih dalam proses BAP padahal telah dilaporkan sejak Sepetember 2013. Korban juga tidak dapat mengakses unit PPA yang dibentuk di Kepolisian untuk memberikan penanganan khusus bagi perempuan korban kekerasan. Bahkan pelaku tidak juga ditetapkan sebagai tersangka apalagi ditahan.

 

Lemahnya sistem hukum termasuk substansi hukum yang ada (KUHP dan KUHAP), mendorong LBH APIK Jakarta bersama jaringan kerjanya melakukan upaya advokasi tidak saja revisi KUHP dan KUHAP, namun juga mendesak adanya UU lex specialis, yakni RUU Kekerasan Seksual (semula RUU Anti Perkosaan). Sehingga, pengaturannya bisa lebih komprehensif, tidak hanya rumusan hukum materil dan formil, tetapi bisa mengatur lebih luas hingga pencegahan, penanggulangan, kewajiban pemerintah,  hingga pemulihan korban. Sudah lama usulan untuk adanya RUU tersebut dimasukkan ke dalam agenda Prolegnas di DPR RI. Namun, sampai hari ini belum ada inisiatif baik dari DPR maupun Pemerintah untuk merespon usulan tersebut.

Berdasarkan situasi di atas, maka kami, LBH APIK Jakarta menuntut agar:
1.  APH segera memproses kasus-kasus kekerasan seksual dan menegakkan hukum kepada pelaku.
2.  Memberikan kepada korban apa yang telah menjadi hak-haknya sebagaimana diatur dalam aturan yang ada, seperti akses kepada pelayanan khusus yang memang disediakan/diperuntukkan untuk perempuan korban kekerasan.
3.  Tidak memberi stigma dan menggunakan riwayat seksual/pekerjaan/status sosial untuk mengabaikan laporan dan pengalaman yang dialami perempuan korban.
4.  DPR dan pemerintah segera membahas RUU Anti Perkosaan/ Kekerasan Seksual dan memasukkanya dalam program legislasi nasional pada 2014-2018

Jakarta, 23 Januari 2014

Tags: Headline
Previous Post

KPU Dorong Pemilu 2014 Bebas dari Diskriminasi

Next Post

Menyigi Rumah Ibadah Kaum Minoritas di Sumatera Barat (Part I)

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Ahmadiyah

Global Peace Foundation Indonesia Gelar Peace! Project: Membangun Harmoni dalam Keberagaman

21/05/2025
Jelang 17 Agustus Ahmadiyah Dilarang Gelar Bazar Kemerdekaan, YLBHI: Ini Pelanggaran Konstitusi RI

Jelang 17 Agustus Ahmadiyah Dilarang Gelar Bazar Kemerdekaan, YLBHI: Ini Pelanggaran Konstitusi RI

10/08/2024
Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Muslim Indonesia Terhadap Lingkungan serta Perubahan iklim

Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Muslim Indonesia Terhadap Lingkungan serta Perubahan iklim

24/07/2024
Dijegal Menjadi Kepala Daerah, Elemen Gerakan Perempuan Aceh Menegaskan: Partisipasi Perempuan dalam Pilkada adalah Hak Konstitusional

Dijegal Menjadi Kepala Daerah, Elemen Gerakan Perempuan Aceh Menegaskan: Partisipasi Perempuan dalam Pilkada adalah Hak Konstitusional

23/07/2024
Next Post
Renovasi Gereja GPIB Ditolak Ormas Anti-Toleransi

Menyigi Rumah Ibadah Kaum Minoritas di Sumatera Barat (Part I)

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hotspace Privat Event Jakarta, Bukan Tindak Pidana!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gereja Ortodoks Rusia di Indonesia: Menjumpa dan Menyapa yang Berbeda dengan Cinta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 7 Alasan Mengapa LGBT Diterima Gereja Ini

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In