Siaran Pers
Konferensi Nasional Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan
“Indonesia Tanpa Kebencian”
Dalam rangka memperingati Hari Pancasila 1 Juni, sejumlah lembaga penggiat Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), LBH Jakarta, Abdulrahman Wahid Center (AWC)Universitas Indonesia, CRCS Universitas Gajah Mada, Yayasan Cahaya Guru, Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK) dan HIVOS, menyelenggarakan konferensi nasional hak kebebasan beragama/berkeyakinan dengan tema “Indonesia Tanpa Kebencian”
Konferensi dengan tema tersebut, dilatarbelakangi kesadaran bahwa Indonesia adalah negara yang beragam termasuk agama/keyakinan. Keragaman agama dan keyakinan , telah menjadi consensus pendirian Negara Indonesia. Sejak awal, Kosntitusi telah menjamin hak kebebasan beragama dan menyatakan bahwa ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Dan menyatakan pula bahwa ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal tersebut memberikan batasan hubungan agama dengan Negara. Yaitu Negara Indonesia tidak akan didasarkan kepada suatu agama tertentu, namun menyatakan keyakinan kepada adanya Tuhan. Rumusan tersebut berasal dari sila pertama Pancasila sebagai ideologi nasional Negara. Dan untuk mengikat keberagaman untuk mencapai tujuan Negara, Indonesia diikat dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Namun, dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik keagamaaan sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Dan Reformasi 1998 telah melahirkan perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia. Sayangnya hasil pemantauan yang dilakukan banyak pihak memperlihatkan bahwa pelanggaran hak kebebasan beragama dan intoleransi terus meningkat setiap tahunnya. Selain berdasarkan survey, aksi intoleransi berbasis agama semakin marak terjadi. Kelompok-kelompok minoritas keagamaan menjadi sasaran intimidasi, koersi, persekusi, perusakan properti, penutupan paksa tempat ibadah, penjarahan, penganiayaan, dan bentuk kekerasan lainnya. Pelanggaran hak kebebasan beragama/berkeyakinan dan intoleransi, umumnya diawali melalui penyebaran kebencian atau permusuhan yang dilakukan secara terus menerus, oleh satu kelompok agama terhadap kelompok agama lainnya (hate speech).
Disisi lain terjadi pula gerakan advokasi hak kebebasan beragama/berkeyakinan yang dilakukan masyarakat sipilmaupun pemerintah daerah. Gerakan baik dalam bentuk advokasi kasus-kasus pelanggaran hak kebebasan beragama, kampanye toleransi, pendidikan sampai pada upaya –upaya perubahan kebijakan. Sejumlah tokoh dan LSM telah mengajukan uji materiil UU Penodaan Agama ke Mahkamah Konstitusi (MK). Untuk rumah ibadah, terdapat sejumlah putusan TUN yang menegaskan ijin mendirikan rumah ibadah. Pada upaya membangun toleransi, tumbuh gerakan-gerakan yang dimotori generasi muda, seperti “bedaisme”, Indonesia tanpa diskriminasi, “Gerakan Kebhinekaan untuk Pemilu Berkualitas (GKPB) dll. Sedangkan pada level pejabat public, hadir tokoh-tokoh seperti Gubernur DKI Jakarta, yang menolak pemindahan Lurah Susan, atas dasar keyakinannya, menyelesaikan ketegangan terkait pembangunan Gereja Cinta Kasih. Bupati Wonosobo, Kholiq Arif yang membela kehadiran penganut agama-agama minoritas dan Ahmadiyah di wilayahnya, ditengah sejumlah kepala daerah mengeluarkan larangan aktivitas Ahmadiyah.
Karenanya konferensi ini ditujukan untuk : (1) Mempertemukan berbagai pengalaman advokasi, perkembangan pengetahuan dan konsep hak kebebasan beragama/berkeyakinan; dan (2) Menghasilkan rekomendasi untuk membangun Indonesia tanpa kebencian. Peserta yang terlibat dalam konferensi ini berjumlah 100 orang yang berasal dari berbagai daerah, dari berbagai profesi dan kalangan. Untuk memaksimalkan acara, konferensi dibagi dalam lima diskusi paralel, yang membahas sejumlah hasil penelitian terkait issue :
- Inklusif Governance ; memperkenalkan tata kelola pemerintahan yg inklusif, dan bagaimana pemerintah daerah dapat melindungi kelompok-kelompok rentan, termasuk kelompok agama minoritas;
- Peradilan dan Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan; yang membahas permasalahan yang dihadapi dalam pemenuhan hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan, khususnya menyangkut dunia peradilan,dan strategi atau langkah advokasi yang sudah dilakukan atau perlu dikembangkan terhadap penyelesaian masalah terkait hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan;
- Gerakan Sosial Membangun Toleransi ; yang membahas isu-isu penting terkait ujaran kebencian dan mengajak peserta untuk menyusun agenda gerakan sosial untuk melawan ujaran kebencian
- Anak Muda, Media Sosial dan Gerakan Toleransi; yang membahas fenomena media sosial sebagai media ekpresi dan menyatakan pendapat, yang dapat digunakan untuk mendorong intoleransi, namun disisi lain juga dapat mendorong gerakan toleransi. Workshop ini membahas pembatasan-pembatasan yang dibenarkan dalam mengekpresikan diri tanpa melanggar hak kebebasan berpendapat/berekpresi dan hak kebebasan beragama/keyakinan
- Pendidikan Keberagaman; Workshop ini mengajak para peserta untuk mengevaluasi berbagai macam indikator keragaman pendidikan yang selama ini mereka jumpai dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam lingkungan pendidikan. Sikap evaluatif dan reflektif ini diperlukan agar masing-masing peserta dapat mendesain gerakan dalam lingkungan pendidikan, menemukan berbagai macam alternatif kegiatan yang mendukung keragaman,
Demikian siaran pers ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terimakasih.
Jakarta, 02 Juni 2014