Pernyataan Sikap Bersama
Kasus Atlantis Gym & Sauna
Koalisi Advokasi untuk Tindak Kekerasan terhadap Kelompok Minoritas Identitas dan Seksual yang turut mendampingi sejumlah korban penggrebekan disertai penangkapan tidak manusiawi terhadap komunitas gay di Atlantis Gym & Sauna dengan ini hendak menyampaikan pernyataan sebagai berikut:
Pertama, kami mengecam keras tindakan Kepolisian Resort Jakarta Utara (Polres Jakut) yang melakukan penggrebekan diikuti dengan penangkapan tidak manusiawi dan merendahkan martabat, yang dilakukan terhadap komunitas gay. Penangkapan tersebut dilakukan secara tidak manusiawi karena ketika dilakukan penggrebekan, banyak korban yang dibawa ke Polres Jakut dan menjalani pemeriksaan, dalam kondisi telanjang atau berpakaian seadanya. Selain itu, proses penangkapan dan pemeriksaan terhadap korban juga disertai dengan pengambilan foto para korban dalam keadaan telanjang dan disebarluaskan. Perlakuan pihak kepolisian ini sangat bertentangan dengan hak setiap orang yang dicabut kemerdekaannya untuk diperlakukan secara manusiawi dan bermartabat, seperti yang diatur di dalam Pasal 10 ayat (1) Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia sejak tahun 2005. Kemudian, Berdasarkan Peraturan Kepala Polri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, khususnya Pasal 30, 32 dan 33, dalam melakukan pemeriksaan terhadap orang dan penggeledahan tempat kejadian perkara (TKP), polisi wajib melakukannya dengan tetap menghormati hak-hak orang tersebut, tidak melanggar privasi, serta tidak melakukannya dengan cara yang berlebihan. Artinya, ketika Polres Jakut hendak membawa korban ke kantor polisi, korban seharusnya diberikan waktu untuk berpakaian secara layak.
Kedua, sejak penggrebekan terjadi kami menurunkan tim ke lapangan dan kami menemukan sejumlah pelanggaran fair trial (peradilan yang jujur), yakni: Polres Jakut menghalangi akses bantuan hukum; tidak kooperatif terhadap tim kuasa hukum; tidak memberikan kesempatan bagi anggota keluarga untuk menjenguk; tidak menyediakan akses penerjemah dan konsular secara segera kepada mereka yang berkewarganegaraan asing; dan melakukan kekerasan psikis maupun verbal terhadap korban. Perlakuan sewenang-wenang pihak kepolisian tersebut merupakan pelanggaran berat terhadap akses terhadap keadilan bagi setiap orang yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana, seperti yang telah dijamin perlindungannya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya di dalam Bab V, Bab VI dan Bab VII, serta pelanggaran terhadap Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, khususnya Pasal 9, 10 dan 14.
Ketiga, sebagian dari korban penangkapan sewenang-wenang di Atlantis Gym & Sauna tersebut dituduh melanggar Pasal 36 jo Pasal 10 dan Pasal 30 jo Pasal 4 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Secara umum, kami menilai bahwa keberadaan UU Pornografi ini membahayakan hak privasi warga, sebab undang-undang ini memungkinkan negara untuk mengintervensi ruang privat warga kapan saja dan di mana saja. Dalam konteks privat itulah, peristiwa Atlantis yang terjadi di ruang tertutup seharusnya bukan menjadi domain (tidak bisa disentuh) oleh UU Pornografi. Kami juga menilai bahwa UU Pornografi mengandung ketentuan-ketentuan yang bersifat multitafsir, terutama karena masih adanya unsur-unsur utama tindak pidana yang diatur di dalamnya yang tidak memiliki definisi yang ketat dan jelas, sehingga penerapannya rentan penyelewengan dan bergantung pada subjektifitas penegak hukum. Penegakan hukum yang bergantung pada subjektifitas para penegaknya, sangatlah berbahaya, karena tidak memberikan kepastian hukum dan berpotensi diterapkan secara diskriminatif dan sewenang-wenang, terutama terhadap kelompok-kelompok minoritas dan rentan, baik dari segi ekonomi, jender, maupun orientasi seksual.
Keempat, kami melihat potensi dampak trauma dan stres yang berkepanjangan akibat perilaku sewenang-wenang pihak kepolisian di dalam melakukan penggerebekan dan penangkapan terhadap para korban. Selain itu, pelanggaran yang dilakukan terhadap privasi data diri korban yang terlanjur tersebar di media atau publik, akan semakin menyulitkan para korban di dalam mengatasi trauma mereka. Dengan tersebarnya data diri korban di tengah masyarakat yang masih homofobik, maka akan sulit bagi para korban untuk kembali menjalani kehidupan mereka, ataupun mengakses pendidikan atau pekerjaan mereka seperti semula. Oleh karena itu, Koalisi mengajak seluruh pihak untuk tidak meneruskan mendistribusikan foto-foto ataupun identitas diri korban dan mendukung pemberian dukungan pemulihan trauma kepada korban.
Demikian pernyataan sikap Koalisi Advokasi untuk Tindak Kekerasan terhadap Kelompok Minoritas Identitas dan Seksual.
Jakarta, 23 Mei 2017.,
Narahubung:
Pratiwi Febry, LBH Jakarta, +62 813 8740 0670
Ricky Gunawan, LBH Masyarakat, +62 812 10 677 657
Asep Komarudin, LBH Pers, +62 813 10 72 87 70
Supriadi Widodo, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), +62 815 8631 5499
Muhammad Isnur, Yayasan LBH Indonesia, +62 815 100 14395
Yuli Rustinawati, Arus Pelangi, +62 817 600 4446
Lini Zurlia, Arus Pelangi, +62 8111 72 701