Masjid Ahmadiyah Cipeuyeum, Cianjur, Jawa Barat yang dirusak massa pada tahun 2012 dan dibiarkan saja oleh pemerintah daerah sampai 2017 lewat (Thowik 1/12/2017)
Oleh: Fanny S Alam
Suatu daerah akan menjadi lebih maju jika terjadi partisipasi aktif birokrat politik dan warganya tanpa melihat latar belakang suku, agama dan etnis. Kedua pihak harus sama-sama bergandengan menuju pembangunan daerah untuk menyejahterakan masyarakat dan bersama-sama pula mengelola dan mengatasi konflik-konflik berbasis hak asasi manusia (HAM). Untuk itu, pemilu kepala daerah (pilkada) menjadi hajatan penting bagi masyarakat untuk memilih para pemimpinnya yang diharapkan mampu mengakomodir aspirasi dan bertanggung jawab pada pemenuhan HAM segenap warga.
Tahun politik 2018 segera dimulai dengan pilkada serentak di 171 daerah. Spekulasi mengenai siapa kandidat gubernur, walikota, bupati dan wakil-wakilnya masih beredar secara acak. Hal ini wajar menimbulkan pertanyaan karena diyakini pilkada di daerah manapun akan panas akibat persaingan dan dampak yang timbul ke depannya, sebagaimana terjadi dalam pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Sementara, tidak sedikit pula yang mulai menyatakan harapan-harapannya terhadap kandidat-kandidat pemimpinnya.
Di banyak provinsi, peta politik melingkupi beberapa isu signifikan, mulai dari kepemimpinan yang berbasis kedaerahan, sosio-ekonomi, sampai masuk ke lingkup keyakinan dengan mengaitkan faktor pemeluk agama terbanyak di masing-masing wilayah. Setiap isu digodok sedemikian rupa sehingga menjadi “selling points” bagi para kandidat pemimpin dalam program-program kampanyenya.
Akan tetapi, satu yang sering luput dari perhatian para kandidat di setiap penyelenggaraan pilkada, yaitu isu HAM. Sebagai contoh, Jawa Barat selama dua tahun berturut-turut mengalami peningkatan kasus HAM secara signifikan, terutama kaitannya dengan peraturan daerah yang diskriminatif dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan. Di tahun 2016, tercatat 20 peraturan daerah yang berhubungan dengan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di daerah- daerah seperti Bekasi, Bogor, Kota Bandung, Kabupaten Tasikmalaya, Cianjur, dan Kuningan. 2017 lalu meningkat menjadi 46 kebijakan di daerah-daerah yang sama.
Masalah-masalah sama yang terjadi berhubungan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan ini meliputi izin pendirian rumah ibadah, pembentukan organisasi keagamaan, serta perolehan status keagamaan. Hal ini dikemukakan Koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM Jayadi Damanik. Fakta tersebut berimbas pada terus meningkatnya budaya sektarian karena dimajukan pemda-pemda setempat yang kemudian menyebar ke masyarakat.
Peningkatan kasus-kasus HAM berbasis kebebasan beragama dan berkeyakinan selain karena sokongan kebijakan, juga ketidaktegasan pemda beserta aparat hukumnya untuk menindak secara serius kelompok-kelompok intoleransi di daerah. Luputnya introduksi politik identitas, yang seharusnya menjadi kunci bagaimana pemerintah, terutama di daerah, melakukan integrasi politik identitas dengan isu HAM, juga menjadi penyebab pelanggaran HAM dan kekerasan atas nama SARA terus menanjak. Sehingga, semestinya pula langkah mengintegrasikan politik identitas menjadi sentral dalam pelaksanaan pilkada, mengingat para pemilih merupakan masyarakat yang beragam dari kondisi sosial, ekonomi, budaya, agama dan kepercayaan. Maka wajar jika pada akhirnya para pemilih ingin memilih kandidat yang dapat memenuhi aspirasi dan kepentinganya (S. Alam, Fanny 2017).
Ini yang seharusnya menjadi perhatian bersama bagi para kandidat pemimpin yang akan bertarung dalam pilkada tahun ini. Sepenting apa seharusnya para kandidat memasukkan isu HAM dalam kampanye politik hingga menjadi program politiknya bagi masyarakat jika terpilih kemudian?
Isu HAM dalam Politik
Daerah-daerah di Indonesia dengan kondisi masyarakat yang beragam latar sosio, budaya, ekonomi, serta agama, memiliki kerentanan tinggi pada isu-isu sektarian yang dilancarkan para kandidat pemimpin dalam pilkada. Ini tentunya tidak diharapkan terjadi dan sebaliknya masyarakat pemilih dapat menentukan pilihan secara objektif berdasarkan kapasitas yang dimiliki para kandidat.
Bagaimanapun politik dalam pemerintahan suatu daerah maupun negara tidak dapat melepaskan isu HAM. Sebab, HAM melekat dalam diri segenap warga yang harus difasilitasi dan diakomodasi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Sudah semestinya para kandidat seharusnya mempraktikkan pemetaan politik identitas yang menyangkut HAM, terutama bagi kelompok-kelompok minoritas agama atau keyakinan. Sehingga, hak-hak dasar serta hak sipil-politik tidak terabaikan (S. Alam, Fanny, 2017).
Sebab, dalam kacamata HAM, beragama dan berkepercayaan merupakan hak dasar manusia yang tidak boleh dipungkiri keberadaannya dan karena itu harus mendapatkan proteksi dari negara, dalam hal ini pemerintah daerah juga. Maka, dalam kondisi ideal, para birokrat yang terdiri dari pejabat karir maupun perwakilan partai politik yang sudah dipilih warga bertanggung jawab dalam perlindungan HAM. Mereka adalah aktor-akor yang akuntabel untuk melaksanakan praktik perlindungan HAM melalui instrumen fiskal, politik, serta kontrol legal dan internal lembaga-lembaga pemerintahan serta eksternal bagi masyarakat (Cingranelli, David, 2014).
Mengapa peran birokrat dalam pemerintahan menjadi sangat sentral dalam implementasi HAM? Ini diperlukan untuk menangkal isu-isu negatif tentang HAM yang rentan terjadi dalam pemerintahan suatu negara atau daerah. Sebab, isu-isu ini membentuk citra tersendiri dan cenderung menjadi opini publik yang yang pada akhirnya dikonsumsi publik sehingga nantinya banyak pemelintiran isu-isu HAM yang sebenarnya terjadi berbasis laporan dan data secara independen (Davis, David R, 2012).
Ketika isu-isu HAM sudah masuk dalam level pemerintahan, baik pusat maupun daerah, maka kita akan mengingat bahwa HAM adalah klaim moral yang dilegalisasi oleh peraturan perundang-undangan di mana terdapat konsensus negara, daerah, hingga internasional dalam hal kepatuhan serta penghormatan di dalamnya untuk menjamin pengawasan dalam pelanggaran HAM dalam ranah masyarakat (Landman, Todd, 2016).
Refleksi
Dimulainya pilkada serentak di Indonesia pada tahun politik ini sudah tentu menjadi tantangan tersendiri bagi para kandidat dan masyarakat pemilih yang diharapkan lebih objektif dalam memilih calon pemimpin di daerahnya. Kekhawatiran akan tidak terpenuhinya dan terlanggarnya HAM di setiap provinsi yang digunakan secara tidak proporsional oleh para kandidat pemimpin sebenarnya dapat direduksi jika mereka memahami esensi dasar HAM. HAM tidak bisa dilihat sebatas jargon politik belaka, tetapi terintegrasi dalam program kampanye politik hingga menjadi program nyata, ketika mereka terpilih menjadi pemimpin.
Kita tidak bisa menutup mata pada pluralitas di setiap provinsi yang seharusnya bisa menjadi potensi daerah apabila terjadi kerjasama yang apik di antara pemerintah terpilih dengan pemilih dan seluruh masyarakat tanpa terkecuali, dengan keberagamannya, dalam usaha-usaha perbaikan, pemajuan dan penegakan HAM. Sebaliknya menerapkan aturan dan kebijakan diskriminatif justru akan terus diingat masyarakat sebagai cacat politik sebuah rezim maupun pemimpin pemerintahan.[]
*Penulis adalah oordinator Bhinneka Nusantara Foundation Region Bandung