Kecenderungan postingan-postingan di TikTok pada konflik dan kekerasan antara Makatana Minahasa dan Manguni Makasiouw dengan Barisan Solidaritas Muslim (BSM) yang terjadi di Bitung, Sulawesi Utara (Sabtu, 25 November 2023) menunjukkan intensitas ketegangan yang makin meningkat dan meluas.
Selain isunya semakin liar, karena banyak disinformasi dan hoax, konten-konten provokasi atas nama agama juga kian mengkhawatirkan. Narasinya saat ini berbalik: konflik laskar Manguni dengan Aksi Bela Palestina menewaskan 1 muslim.
Padahal, yang benar berdasarkan informasi (Kumparan, 28 November 2023): korban dari BSM 1 (satu orang) atas nama Anto (39) berangsur membaik di RSUP Kandou; korban dari kelompok adat Elvis Wagey (64) meninggal, sempat dirawat di RS Budi Mulia Bitung, dan Ridel Wowor, kondisi stabil, dirawat di RS Bhayangkara Manado.
Elvis Wagey, korban meninggal dari Makatana Minahasa, adalah tetua adat yang cukup dihormati, sehingga ini menjadi kehilangan serius bagi orang-orang Minahasa. Mereka menyebut korban sebagai martir.
Pada mulanya, 25-26 November, postingan di TikTok hanya berbentuk kronologi kejadian. Ada beberapa video kebencian untuk mengajak masyarakat muslim balas dendam, tapi engagement-nya tidak begitu tinggi, sehingga tidak berpengaruh, tidak trending.
Beredar video yang menunjukkan masyarakat muslim di Bitung sudah melakukan aksi balas dendam ke Manguni (26/11/2023), tetapi peristiwanya tidak separah aksi bentrokan yang pertama (25/11).
Namun tren narasi balas dendam dalam kasus ini mengemuka di TikTok sejak tanggal 27. Beberapa akun di TikTok sudah mulai banyak yang bereaksi atas kasus di Bitung dengan berbagai narasi kebencian yang diarahkan kepada kelompok Manguni. Tren provokasinya sudah bukan “Cukup jadi manusia untuk membela Palestina” yang sudah beredar bahkan sebelum pecah konflik Bitung, melainkan berubah menjadi keharusan semua masyarakat Indonesia mendukung Palestina dengan hasutan-hasutan yang bertebaran di TikTok dan menyebut kelompok Manguni sebagai pro-Israel, pro-zionis, sehingga mereka adalah target balas dendam ‘benuansa agama’.
Artinya, sehari setelah konflik sektarian di Bitung pecah, penyebaran provokasi di media sosial bersliweran. Mulai 27 November seruan aksi balas dendam cepat dan marak berupa hate spin (pelintiran kebencian), meminjam istilah Cherian George, pengajar di Hong Kong Baptist University. Pada konflik sektarian di Bitung, peredaran hate spin, terutama di kalangan para pengguna TikTok, tampak melalui praktik-praktik hasutan kebencian berbasis agama atau keyakinan di media sosial untuk memobilisasi kekerasan dan penyerangan terhadap sasaran mereka.
Fakta atas peristiwa dimanipulasi. Upaya-upaya damai yang sudah dan terus diupayakan berbagai pihak baik di Bitung dan daerah Sulawesi Utara lainnya, termasuk Jakarta serta wilayah lainnya diabaikan. TikTok, terutama, dan media sosial lainnya efektif menyebar hate spin, hate speech, bahkan hate crime.
Narasi yang berkembang kini: masyarakat muslim di Bitung merasa menjadi minoritas dan terancam, tertindas, terzalimi oleh kelompok Manguni yang beragama Kristen. Kendati sebelumnya banyak seruan dari aparat, tokoh agama, adat, dan tokoh masyarakat agar Bitung dan Sulut berdamai dan karena itu juga,masyarakat sempat tidak mengeksploitasi isu agama (konflik antara Islam dan Kristen), sekarang narasinya adalah tentang masyarakat muslim yang tertindas.
Sejak berkembang narasi tersebut, banyak reaksi bertimbulan dari kelompok muslim di luar Bitung dan Sulut. Contohnya kelompok muslim dari jawara Betawi yang mengklaim dan memamerkan di TikTok tengah mengumpulkan massa untuk konsolidasi ‘membantu’ masyarakat Islam di Bitung.
Ada juga narasi yang mengatakan masyarakat muslim seluruh Indonesia siap bergerak ke Bitung untuk menegakkan keadilan. “Kami tinggal tunggu komando dari guru-guru kami” tulis mereka.
Selanjutnya, sekelompok masyarakat muslim juga sudah mulai mencari informasi tentang orang-orang Manguni di Bitung yang terlibat di konflik, misalnya Marco Karundeng dan Michael Rempowatu. Nama terakhir adalah penanggung jawab di surat Pemberitahuan Aksi Damai Ormas Adat Pasukan Manguni Makasiouw kepada kepolisian yang beredar luas di online.
Selain itu, beredar di TikTok narasi masyarakat muslim yang memprovokasi dengan seruan “mencari” kelompok Manguni di setiap kota. Narasi yang dibangun masyarakat muslim ingin membubarkan kelompok Manguni, karena bertanggung jawab atas penyerangan terhadap Aksi Bela Palestina dari umat Islam Bitung.
Reaksi atas konflik dan kekerasan di Bitung cepat sekali dan cenderung mengkhawatirkan di beberapa daerah, seperti Makassar dan Jakarta. Ancamannya menyebar ke kelompok Manguni yang ada di daerah lain, yang tidak tahu apa-apa.
Masyarakat di kelompok yang menyasar kalangan Manguni tidak terima kalau polisi mengatakan Aksi Bela Palestina di Bitung tidak ada surat izin. Sementara pihak aparat menyebut bahwa aksi BSM bela Palestina tidak diberi izin oleh Polres Bitung.
Masyarakat yang tersulut hate spin merasa kalau polisi tidak adil dan justru memihak kelompok Manguni. Karena itu juga muncul narasi dari mereka atas ketidakpercayaan terhadap penyelesaian kasus ini dengan adil oleh polisi. Sehingga beredar narasi provokatif: masyarakat muslim ingin bergerak sendiri untuk menegakkan keadilan.
Untuk itu, seluruh pihak, baik warga dan para elit dari kelompok-kelompok yang berkonflik maupun publik yang di luar Bitung, Sulawesi Utara, agar menahan diri supaya tidak terprovokasi untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan kejahatan sesama warga lainnya. Jangan mudah terseret kepentingan pihak-pihak yang menginginkan polarisasi terus terjadi di negeri ini, terlebih di masa kampanye Pemilu 2024.
Maka, penting bagi publik Indonesia, pemerintah dan aparatnya selain menguatkan literasi agar masyarakat tidak mudah digerakkan oleh disinformasi dan hate spin di media sosial yang mendorong pada peningkatan eskalasi konflik, bersama organisasi masyarakat sipil pemerintah juga harus menuntut tanggung jawab platform media sosial atau penyelenggara sistem elektronik (PSE) dengan duduk bersama untuk kerja sama menghentikan konflik sektarian di Indonesia. Pada konflik Bitung, TikTok harus menghapus konten-konten hate spin dan provokasi atau hasutan yang berpotensi pada aksi kekerasan.
Tentu saja, desakan terhadap TikTok, terutama, dan PSE lainnya harus dapat berjalan efektif, namun tetap melalui mekanisme yang demokratis, bersetia pada prinsip-prinsip hak asasi manusia, dan tidak melanggar kebebasan berekspresi.
Jakarta, 29 November 2023