Pendeta-pendeta GPIB Bukit Zaitun Makassar dan peserta workshop pers mahasiswa Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) berfoto bersama (9/9/30)
Persahabatan dan persaudaraan membuncah di kalangan jemaat Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Bukit Zaitun Makassar ketika anak-anak muda dengan pakaian Muslimnya hadir ke dalam gereja. Hal tersebut dirasakan salah seorang pengurus Persekutuan Kaum Perempuan (PKP) GPIB Bukit Zaitun Rosalinda.
“Saya terharu melihat teman-teman yang mengenakan kerudung mengunjungi rumah ibadah kami,” ungkap Rosalinda kepada para tamu Muslimnya karena merasa bisa berbagi cerita serta mengenal satu dengan yang lainnya.
Mayoritas masyarakat di Makassar memeluk agama Islam. Meski begitu, para jemaat GPIB Bukit Zaitun yang terletak di Jl. Cendrawasih, Makassar, ini tampak menjalankan ibadah dengan penuh hidmat dan hidup rukun antar-umat beragama Minggu pagi itu (9/9/2018).
08.30 WITA, para jemaat mulai berdatangan untuk memasuki rumah ibadah. Di depan pintu masuk GPIB Bukit Zaitun (GBZ) terlihat seorang perempuan berpakaian hitam dengan selendang hijau yang dikalungkan di lehernya membagikan selebaran kepada setiap jemaat yang datang.
Saat bersamaan, anak-anak muda dengan menenteng kamera, buku catatan dan HP menghampiri salah satu meja di sisi kanan pintu gereja. Beberapa kue dijajakan di atas meja itu, seperti afang kenari, panada, bakpao, dan masih banyak lagi. Jajanan itu merupakan salah satu wujud solidaritas dengan penggalangan dana guna kegiatan Hari Ulang Tahun Persekutuan Kaum Lanjut Usia (PKLU) di Balikpapan bulan depannya (Oktober 2018).
Anak-anak muda yang beragama Islam itu pun mulai berbincang-bincang dengan salah satu pengurus PKP GBZ Makassar. Rosalinda menyambut tamu-tamu dengan raut yang hangat penuh antusias.
Oktaviana Sumanto, pengurus PKP lainnya, menuturkan pendapatnya mengenai kerukunan yang terjadi antar-umat beragama di Makassar. Pengalaman selama hidup bersama di tengah masyarakat Makassar selama ini, menurutnya, tidak dirasakan ada gangguan terhadap ibadah-ibadah dan aktivitas lainnya di GPIB Bukit Zaitun.
“Bagi kami yah aman. Apalagi di sekitar sini, sebagian besar beragama Islam, dan ibadah yang kami lakukan berjalan lancar,” kata Oktaviana.
Peserta workshop pers mahasiswa SEJUK berfoto bersama para jemaat GPIB Bukit Zaitun Makassar (9/9/2018)
Berdiri di samping kiri Oktaviana adalah Yessy Tampi yang dengan terbuka ikut menggambarkan betapa indahnya kebersamaan di tengah-tengah perbedaan yang hadir di sekitar tempat tinggalnya. Ia pun menyoroti keberagaman di kalangan Kristen. Di dalam jemaat GBZ Makassar, sambung Yessy, terdiri dari beberapa suku, seperti Toraja, Manado, Ambon, Batak, Sanger, dan lain-lain.
Demikianpun hubungan antara jemaat satu dengan yang lain terjalin harmonis. Walaupun berbeda gereja atau denominasi seperti jemaat gereja-gereja suku yang juga berdiri di Makassar, di antaranya suku Batak, Manado, Toraja, dan lainnya disatukan dengan Gereja Persatuan Indonesia (GPI).
“Setiap dua bulan sekali, kami biasa melakukan pertemuan dari gereja satu ke lainnya,” tutur Yessy.
Di hadapan anak-anak muda Muslim yang merupakan peserta workshop pers mahasiswa Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dan sedang melakukan tugas peliputan bagaimana memberitakan isu keberagaman, Yessy yang juga tergabung dalam PKP Gereja Bukit Zaitun Makassar mengaku menjalin kekeluargaan dengan pemeluk agam Islam.
“Kalau (hubungan dengan rasa) persaudaraaan seperti ini, kita bisa akrab antar sesama pemeluk. Kita juga punya keluarga yang muslim. Jadi kita bersatu,” imbuh Yessy.
Cerita Yessy Tampi membuat perbincangan dengan para mahasiswa semakin hidup. Yessy mengutarakan bahwa ia tinggal bersama adik iparnya yang seorang muslim. Dalam keseharian, ia tak mengalami masalah-masalah yang begitu berarti. Ia hidup rukun bersama adik iparnya dengan toleransi.
“Di dalam rumah kami itu, bagian rumah tamu ada salib. Sedangkan, untuk kaligrafi sendiri itu dipajang dalam kamar adik ipar,” jelasnya.
Yessy menambahkan, kegiatan seperti majelis taklim pun sering dilakukan di rumahnya. Begitupun ibadah-ibadah Kristen diadakan di rumahnya.
Setelah Yessy menceritakan pengalaman pribadinya yang hidup dalam keluarga yang berbeda agama, hal serupa mendorong Oktaviana ikut berbagi kisah hidupnya ke jurnalis-jurnalis kampus yang datang dari berbagai daerah, tidak hanya Sulawesi Selatan. Oktaviana mengaku terlahir dari seorang ayah beragama Islam. Ibunya Kristen. Dari kecil, ia yang menganut Kristen sudah hidup dengan keluarga Muslim.
Ia juga memiliki dua adik sepupu, keluarga dari Ayahya, yang memeluk agama Islam. Ketika saudara sepupunya berkunjung ke rumah Oktaviana, dirinya mengaku heran. Sebab, kedua adik sepupunya itu tidak memakan dan minuman yang ada di rumahnya.
Namun, keheranan itu tidak menimbulkan perselisihan antar kedua saudara itu. Oktaviana menjunjung tinggi toleransi beragama, ia memahami kepercayaan yang dianut oleh kedua adik sepupunya.
“Kan tidak mungkin saya memaksa mereka (adik sepupunya). Kita juga berdosa kalau seperti itu, saling memahami saja,” ujarnya.
Yessy berharap hubungan antara umat beragama bisa hidup rukun seperti Manado. Perempuan yang merupakan calon Majelis Jemaat GBZ ini pernah tinggal dan hidup di Manado. Ia menyaksikan langsung bangunan gereja dan masjid di Manado berdiri berdekatan. Apabila ada kegiatan di gereja, pemuda masjid membantu mengamankan wilayah gereja, misalnya parkiran. Begitupun sebaliknya, jika di masjid ada acara, pemuda gereja pun melakukan hal serupa. Meski demikian, ia menganggap kondisi toleransi di Manado dan di Makassar tidak berbeda secara mencolok.
“Jadi bagusnya kalau di Makassar, meski berjauh-jauhan rumah ibadahnya, kehidupan bertetangga antar Islam dan Kristen bisa saling mengayomi,” tutupnya mencoba mensyukuri kehidupan harmonis di sekitarnya.[]
Penulis: Fitri Ramadhani, Penerbitan Kampus Identitas Universitas Hasanuddin Makassar
Laporan ini hasil Workshop Pers Mahasiswa “Jurnalisme Keberagaman di tahun Politik” di Makassar, Jumat-Senin, 7 – 10 September 2018 yang didukung oleh Yayasan Tifa dan The Asia Foundation (TAF)