
Aktivis perempuan Muslim dan influencer Kalis Mardiasih menegaskan bahwa Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga tidak dibutuhkan. Justru yang dibutuhkan dan harus segera disahkan adalah RUU Pencegahan Kekerasan Seksual (PKS).
Pasalnya, Kalis melihat keluaran dari RUU Ketahanan Keluarga adalah Badan Ketahanan Keluarga yang berada langsung di bawah presiden dan menjadikan agama solusi atas semua persoalan. Sementara tidak semua persoalan yang dihadapi perempuan bisa diselesaikan oleh agama.
Selain itu, menurutnya, naskah akademik RUU ini sangat merendahkan perempuan-perempuan buruh migran karena dinilai menjadi penyebab masalah dalam keluarga. Naskah akademik itu menyudutkan perempuan atau ibu-ibu yang mencari nafkah ke tempat yang jauh dalam waktu yang cukup lama sehingga menyebabkan anak-anak buruh migran terlantar.
“Ini kan tidak sopan, buruh migran bekerja ke luar negeri itu untuk menghidupi keluarganya,” ujar Kalis dalam webinar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bertema Agama, Keluarga, dan Media di Tengah Pandemi yang digelar Sabtu (9/5).
Sebagai perempuan yang giat mengedepankan prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam Islam, ia mengajak agar obrolan-obrolan agama yang berkutat pada halal-haram digeser dengan pengamalan agama yang mengedepankan kemanusiaan. Hal tersebut untuk melawan kampanye domestikasi perempuan yang gencar di media sosial.
Jika sunat perempuan menurut fikih dari empat mazhab adalah keharusan, maka isu ini perlu dibawa pada pemahaman ulama-ulama moderat yang justru melihat praktik itu sangat membahayakan perempuan. WHO tidak membolehkan sunat perempuan. Begitupun kawin anak yang menjadi penyebab stunting (gizi buruk) dan tingginya angka kematian ibu melahirkan tidak bisa lagi mendasarkan fikih klasik yang menyaratkan akil-baligh untuk pernikahan. Sebab, sambung Kalis, ulama-ulama moderat telah merevisi Undang-Undang Tahun 1974 dengan menetapkan pernikahan di usia 19 tahun.
“Teks lawan teks itu tidak efektif,” tegas Kalis yang mengusulkan agar beragama tidak terpaku pada pendekatan tekstual, sebaliknya mendorong penyajian realitas-realitas yang dihadapi perempuan.

Kalis lantas menceritakan caranya menentang domestikasi perempuan yang ia unggah di akun Instagramnya: menyindir konsep-konsep perempuan yang mulia itu patuh, di rumah, diam dan wajahnya selalu menunduk dengan menghadapkan pada realitas seorang perempuan berdaya dan mandiri di Bireuen (Aceh) yang sehari-harinya memanjat bisa sampai 60 pohon kelapa untuk menafkahi keluarganya.
Membaca Alkitab dengan Mata Baru
Sementara Ketua Badan Pengurus Nasional Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (PERUATI) Pdt Darwita Purba menyampaikan pentingnya mata baru dalam membaca Alkitab. Sebab, teks-teks Alkitab sering digunakan untuk melemahkan kelompok minoritas seperti LGBTIQ dan perempuan.
“Perlu diingat bahwa teks Alkitab itu juga mengandung konteks dan tidak lahir dari ruang kosong. Ada teks, konteks dan pembaca. Ketiga hal ini perlu diperhatikan dalam menafsirkan teks-teks Alkitab dan dikaitkan dengan budaya masyarakat saat ini,” paparnya yang secara tidak langsung menolak RUU Ketahanan Keluarga yang menggunakan agama untuk mensubordinasi perempuan dan mendiskriminasi keberagaman gender dan seksual.

Karena itu, sejak 2012 gerakan dan kerja nyata PERUATI dalam membumikan teologi dengan memberi pemihakan terhadap kelompok-kelompok termarginalkan, di antaranya perempuan dan LGBTIQ.
“Penting bagi gereja dan pemuka agama Kristen membaca ulang teks-teks yang ada di dalam Alkitab dan menggunakannya dengan mengedepankan kemanusiaan agar tidak mengecilkan kelompok-kelompok minoritas,” harapnya.
Ia juga mencemaskan cara beragama masyarakat yang masih belum terjadi kerja sama antaragama dalam mengatasi pandemi Covid-19. Dalam pantauannya, masyarakat seakan menjadi lebih inklusif saat terjadi aksi sosial. Diakonia dalam gereja yang berupa pelayanan sosial selama korona ditujukan kepada mereka yang terdampak seperti tukang becak, buruh, ojek, dan seterusnya yang juga mencakup masyarakat di luar Kristen, tetapi ketika peribadatan tetap saja terjadi kesulitan tersendiri. Ia mencontohkan, gereja-gereja di Sumatera Utara selama pandemi ditutup, sementara banyak masjid yang masih menggelar salat Jumat dan tarawih, sehingga memunculkan banyak pertanyaan di kalangan jemaat.
Menyuarakan Kelompok Paling Rentan
Pemimpin Redaksi IDN Times Uni Lubis, narasumber webinar dari dunia pers, sangat menyayangkan dalam situasi pandemi Covid-19 media masih belum memperhatikan kelompok voiceless, yang tidak bisa bersuara dan terlupakan. Ia menyebut masyarakat adat seperti suku Badui yang sebenarnya tidak jauh dari ibukota atau kota-kota penyangganya, selama pandemi korona luput dari perhatian media. Begitupun kerentanan yang dihadapi transpuan.
“Transpuan selama ini sulit mendapat akses kerja, apalagi selama pandemik,” kata perempuan yang dua periode menjadi anggota Dewan Pers dan sangat menyesalkan kurangnya media mengangkat kalangan yang lebih rentan.

Untuk itulah ia mendorong para jurnalis dan media agar dalam pemberitaan tidak mengabaikan kelompok minoritas, termasuk perempuan. Perlu dibuat pengingat setiap hari, sambungnya, supaya pemberitaan media memberi ruang pada mereka yang terbungkam dengan memakai Google Calendar.
Selain itu, menurut Uni Lubis peran yang diharapkan media di tengah wabah korona adalah melawan hoaks. Sebab, banyak hoaks di awal-awal pandemi yang menyeret agama.
“Media harus melawan hoaks yang beredar bahwa Covid-19 ini azab, hukuman Tuhan kepada manusia,” ungkapnya seraya menyinggung hoaks di awal pandemi yang dipercaya sebagai azab Tuhan kepada Cina yang menzalimi Uighur, sementara Covid-19 kini melanda semua negara.
Uni Lubis ikut menyinggung, RUU Ketahanan Keluarga makin tidak dibutuhkan lantaran banyaknya korban pemutusan hubungan kerja dan warga yang kehilangan pekerjaan saat pandemi, sehingga sekarang istri dan ibu-ibu harus berjualan dan menghidupi keluarga.
“RUU Ketahanan Keluarga tidak perlu banget,” demikian sikap yang diambil Uni.
Pada kesempatan yang sama Direktur SEJUK Ahmad Junaidi mengatakan bahwa sejak berdiri organisasi yang dipimpinnya selalu mengkampanyekan pentingnya memberikan ruang untuk kelompok-kelompok minoritas di dalam pemberitaan: giving voice to the voiceless.
Hal ini dikarenakan minimnya perspektif hak asasi manusia (HAM), gender dan korban di kalangan jurnalis ketika meliput isu-isu minoritas. Jika media atau jurnalis tidak memberikan ruang kepada kelompok minoritas, maka produk-produk jurnalistik pun menjadi bias dan menyudutkan.
Ia kerap menemukan wartawan yang melontarkan pertanyaan kepada tokoh perempuan tanpa terlebih dahulu melepaskan bias pandangan pribadinya bahwa perempuan hanya mengerjakan urusan domestik.
“Anggota dewan (DPR RI) perempuan ditanya apakah dia sudah izin suaminya untuk bertugas ke luar negeri. Padahal, kalau anggota dewan laki-laki tidak akan ditanya seperti itu. Atau pertanyaan bagaimana mengurus anak dan rumah tangga kepada tokoh perempuan yang memperjuangkan isu-isu perempuan atau sosial. Ini sangat terpengaruh dari perspektif,” kisahnya.
Perspektif ini juga bisa jadi karena wartawan tidak pernah diberikan pelatihan dari medianya. Karena, lanjut pria yang akrab disapa Alex ini, hampir keseluruhan wartawan setelah lulus S1 tidak diberikan pembekalan tentang liputan apapun, termasuk pemberian perspektif gender, HAM dan korban.
“Sudah seharusnya media dan jurnalis melestarikan dan mendukung perspektif yang ramah gender dan kelompok minoritas,” pungkasnya.[]
Penulis: Thowik dan Yuni Pulungan