Butuh keberanian untuk menulis isu-isu keberagaman. Tidak sekadar melaporkan, tetapi harus ada nilai juang dalam memberitakan hak dan kebebasan beragama dan berkeyakinan, gender, ekspresi dan orientasi seksual yang beragam atau yang lebih dikenal dengan isu lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Demikian disampaikan Vera Lusiana, jurnalis Antara dari Riau, setelah mengikuti “Jurnalisme Keberagaman: Merawat Toleransi di Tengah Covid-19 di Wilayah Sumatera” yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Internews 21-23 Juli 2020 secara online. Diskusi tentang jurnalisme keberagaman dengan wartawan Sumatera lainnya dan para narasumber dirasakan penting oleh Vera.
“Banyak hal yang aku dapat,” Vera menuturkan kesannya berproses bersama jurnalis lainnya dari Medan, Riau, Bengkulu, Batam, Jambi dan Lampung.
Sebelumnya, Pemimpin Redaksi Magdalene.co Devi Asmarani menyesalkan praktik-praktik koruptif media dalam memberitakan isu gender dan seksualitas. Beberapa hal yang disoroti Devi di antaranya representasi perempuan dan LGBT di media yang bias dan memperkuat stigma, karena pemberitaannya moralistis.
“Kelompok LGBT digambarkan oleh media sebagai pencemburu, sadis, gila seks, predator dan penyebar HIV/AIDS,” ungkap Devi kepada 9 peserta perempuan dan 6 laki-laki.
Bahkan, lanjut Devi, perempuan meninggal pun masih diseksualisasi dan diperlakukan dengan tidak hormat. Misalnya berita-berita tentang perempuan yang meninggal, korban kekerasan seksual, diberitakan dengan judul semisal, “Mayat Perempuan Cantik Ditemukan Tanpa Busana,” dan lain sebagainya.
Jurnalis dari Batam, Yogi Eka Saputra, turut mengevaluasi media tempatnya bekerja sebelum pindah ke TEMPO yang menurutnya banyak melakukan kekeliruan karena menggunakan kata-kata “cantik” dalam memberitakan perempuan dengan motivasi mencari clickbait.
Sementara, di sesi Panduan Meliput Keberagaman editor The Jakarta Post Ahmad Junaidi mengingatkan dosa-dosa media ketika memberitakan isu-isu di atas. Sehingga, di sesi yang sama produser Kompas TV menegaskan peran media yang dalam memberitakan peristiwa diskriminasi tidak cukup dengan mengambil posisi netral. Menurutnya media harus menyuarakan kelompok korban, memihak: giving voice to the voiceless.

Seperti dalam workshop virtual sebelumnya yang digelar SEJUK untuk wilayah Jakarta, Jawa Barat dan Banten di minggu kedua Juli 2020, peneliti Saiful Mujani Research and Consulting Saidiman Ahmad dan Deputy Director Human Rights Working Group (HRWG) Daniel Awigra ikut mendiskusikan prinsip-prinsip dasar kebebasan dan perspektif HAM dalam beragama dan berkeyakinan.
Boas Tumangger dari Forum Cinta Damai Aceh Singkil (Forcidas) dan Bunga, bukan nama sebenarnya, perwakilan Jaringan Transgender Indonesia (JTID) area Sumatera memberikan kesaksian kasus-kasus diskriminasi yang mereka hadapi. Perusakan gereja-geraja dan perizinan mendirikan rumah ibadah yang selalu dipersulit adalah beberapa kasus yang disampaikan Boas. Sementara fakta kekerasan, upaya pembunuhan, pengusiran dan diskriminasi terhadap kalangan transpuan di wilayah Sumatera dibeberkan Bunga.
Setelah coaching dengan mempresentasikan proposal liputan masing-masing peserta, berikut ini para peraih Story Grant yang dipilih para mentor yang terdiri dari Ahmad Junaidi, Budhi Kurniawan dan Yuni Pulungan (SEJUK):
- Diskriminasi Kelompok Disabilitas di Medan (Sri Wahyuni, Sonora FM)
- Gawai, Agama Langkah Lama dan Hutan yang Tersisa (Elviza Dina, Mongabay)
- Masjid Lintas Agama Pertama di Desa Kaban Tua (Arifin Al Alamudi, IDN Times)
- Melihat Kehidupan Imigran di Riau (Dina Febriastuti, BBC)
- Minimnya Pemberdayaan Bagi Transpuan di Jambi (Fahmi Syahril, ficus.id)
- Melihat Toleransi dalam Budya Kuliner Suku Batak (Adinda Zahra, medanheadlines.com)
- Pencari Suaka di Sumut Selama Covid-19 (Truly Okto Purba, Tribunnews)
- Penolakan Sekolah Negeri Menjadi Sekolah Islam di Bengkulu (Betty Herlina, Harian Rakyat Bengkulu)
- Relasi Melayu dan Tionghoa di Siak (Imelda Vinolia, suarariau.co)
- Transpuan di Palembang Bahu Membahu Hadapi Covid-19 (Tasmalinda Tasaruddin, gatra.com)
Para peraih story grant mendapat beasiswa terbatas liputan keberagaman masing-masing berhak mendapatkan Rp.7.000.000. []