“Saya tidak tahu dari mana datangnya pelarangan (Bissu) melakukan ritual penyucian pusaka-pusaka kerajaan Bone yang sebelumnya kami lakukan setiap tahun, di Hari Jadi Bone,” kata Puang Matoa Bissu Ancu di hadapan jurnalis-jurnalis Sulawesi Selatan (6/6).
Kekecewaan itu ia sampaikan lantaran dalam perayaan Hari Jadi Bone ke-692, Bissu tidak diperbolehkan mengambil peran kebudayaan menjalankan sejumlah ritual penting. Puang Matoa Ancu menyesalkan hal tersebut terjadi justru ketika eksistensi Bissu, sebagai gender kelima dan pemimpin spiritual dalam sejarah masyarakat Bugis kuno, semakin tersingkir dan terancam hilang, sementara ia sendiri merasa berkewajiban untuk terus mengamalkan peran spiritualnya sebagaimana yang telah dilakukan para pendahulunya.
Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman maupun Bupati Bone Andi Fashar Mahdin Padjalangi yang bertanggung jawab atas pemenuhan hak dan kebebasan berekspresi Bissu di Bone sama-sama menolak memberikan keterangan.
Karena itu Puang Matoa Ancu sangat berharap agar rekan-rekan media dapat membantu mengedukasi dan menginformasikan dengan baik bahwa Bissu adalah warisan budaya yang sudah ada jauh sebelum agama Islam masuk ke nusantara. Bissu, baginya, mencerminkan watak pribadi-pribadi luhur yang harus terselamatkan dari ancaman kepunahan.
“Bissu, melalui upacara-upacara ritual yang penting, adalah penyambung lidah antara manusia dengan Tuhan dan alam semesta,” tegas Bissu Ancu saat menyampaikan kesaksian sebagai bagian dari kelompok di masyarakat Sulawesi Selatan yang perlu mendapat lebih banyak ruang pemberitaan di media, pada Workshop Jurnalisme Keberagaman: Media sebagai Ruang Aman Kelompok Marginal di Sulawesi Selatan, 3-5 Juni 2022, di Makassar yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar.

Tantangan media melawan diskriminasi
Dalam kesempatan yang sama, peran media yang sangat berpengaruh dalam membangun persepsi publik tentang keberagaman gender dan seksualitas diulas juga oleh mahasiswi doktoral Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) UGM Yogyakarta Khanis Suvianita.
“Media kerap menjadikan LGBTIQ sebagai kategori sangat khusus, the other, mereka, yang berbeda. Kalau pikiran kita tidak dipenuhi ketakutan dan ketabuan (terhadap LGBTIQ), maka sama (dengan non-LGBTIQ),” ungkap Khanis yang tengah meriset tentang agama dan keberagaman gender dan seksualitas di Indonesia timur.
Ia berkali-kali menekankan agar media tidak terus-menerus menebalkan stigma terhadap komunitas LGBTIQ. Dewan Penasihat GAYa NUSANTARA ini mengajak para peserta yang terdiri dari 20 jurnalis untuk menghapus diskriminasi dalam kerja-kerja jurnalistik.
“Datanglah, jumpailah, ngobrol saja dengan mereka (LGBTIQ),” ajak Khanis ke para jurnalis agar mulai melakukan perjumpaan-perjumpaan dengan LGBTIQ. Khanis sebagai psikolog yang mendalami sexual orientation, gender identity and expression, and sex ccharacteristic (SOGIESC) memastikan bahwa semua manusia sama, termasuk kelompok minoritas gender dan seksual.
Kelompok minoritas lainnya yang kerap menjadi objek pemberitaan adalah perempuan, terlebih mereka yang menjadi korban kekerasan seksual. Untuk mengubah agar tidak menjadi objek berita, feminis dan pelukis yang mengelola studio Jejer Wadon, Surakarta, Dewi Candraningrum merekomendasikan ke para jurnalis agar mulai tidak menggunakan diksi korban, tetapi penyintas, terhadap perempuan yang mengalami penyerangan dan kekerasan seksual. Ia juga menganjurkan supaya pemberitaan tentang kekerasan seksual tidak menyampaikannya secara kronologis.
“Wartawan tidak memberitakan secara kronologis, karena akan terjebak dalam penggambaran kekerasan seksual secara mendetail,” papar dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta dengan maksud agar penyintas tidak mengalami kekerasan berkali-kali oleh berita-berita di media.
Jurnalis Metro TV/Medcom.id Ifa Musdalifa, peserta workshop dan story grant yang didukung Norwegian Embassy ini, turut menceritakan kelompok minoritas lainnya di Bulukumba dan sekitarnya yang mengalami diskriminasi dan intimidasi. Bahkan ia sendiri mendapatkan teror ketika kerja junalistik yang Ifa lakukan sekaligus didorong untuk mengadvokasi gereja Katolik.
“Selain LGBT, gereja Katolik di Bulukumba juga terus mengalami penetangan dengan berbagai bentuk ancaman dan masjid Ahmadiyah di sana pernah ditutup,” ungkap perempuan yang wilayah liputannya mencakup Bulukumba dan kabupaten-kabupaten di sekitarnya.
Dalam sesi testimoni kelompok minoritas, selain dari Bissu Bone, juga hadir di hadapan para jurnalis: Eman M. Harundja dari Komunitas Sehati Makassar (KSM), perwakilan Baha’i, dan mubaligh Ahmadiyah.
Seluruh realitas diskriminasi berbasis agama atau keyakinan dan identitas lainnya yang dijabarkan di atas dan berbagai praktik kekerasan maupun kriminalisasi aktivis dan jurnalis yang terjadi di Sulawesi Selatan, menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid tidak lain potret yang menguatkan kesimpulan para Indonesianis yang melihat Indonesia tengah mengalami regresi demokrasi.
Untuk menguatkan bekal jurnalistik para peserta, Direktur SEJUK Ahmad Junaidi membawakan materi Panduan Meliput Keberagaman dan Direktur Eksekutif Human Rights Working Groups (HRWG) Daniel Awigra menyuguhkan pendekatan peliputan berperspektif HAM kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sedangkan kerentanan jurnalis dalam meliput isu identitas yang sectarian, Ketua AJI Kota Makassar periode 2019-2022 (dan baru saja diganti) Nurdin Amir membawa digital safety.

Peraih story grant
Demi membumikan jurnalisme keberagaman, para peserta diberi kesempatan untuk mendapatkan beasiswa liputan, story grant. Isu-isu keberagaman di Sulawesi Selatan diangkat dalam proposal. Setelah proses coaching yang dikawal Nurdin Amir, Dewi Candraningrum, Khanis Suvianita, dan tim SEJUK, terpilih 8 proposal liputan yang berhak mendapat story grant keberagaman. Berikut ini peraih story grant:
1. Adi Muammar Mirsan, Bissu dan Posisi Adat di Selawesi Selatan – Fajar.co.id
2. Agung, Pemkot Pare-pare dalam Perwujudan Egaliter Hak Terhadap Perempuan – Sulapa.com
3. Andini, Akses Bekerja Orang dengan Disabilitas di Makassar – Kabarmakassar.com
4. Ashrawi Muin, Tradisi Syiah dalam Kebudayaan di Sulawesi Selatan – IDN Times
5. Chaerani Arief, Penyintas Kekerasan Minoritas Seksual di Makassar – Konde.co/Magdalene.id
6. Ifa Musdalifa, Disabilitas dan Akses Layanan Publik di Bulukumba – Medcom.id
7. Iqbal Lubis, Ruang Nyaman Transpuan Itu Bernama Kampus (foto story) – Project Multatuli
8. Sahrul Ramadhan, Sulitnya Transpuan Bekerja di Sektor Formal – IDN Times.
Selamat buat rekan-rekan jurnalis yang terseleksi para coach untuk melanjutkan proposalnya dalam program story grant SEJUK. Rekan-rekan yang proposalnya belum berhasil, kami berharap akan diteruskan menjadi karya-karya jurnalistik yang penting dipublikasikan secara luas.
Bagi yang proposal story grant keberagamannya terpilih, sila hubungi Manager Program Yuni Pulungan untuk konfirmasi maupun informasi selanjutnya.[]