“Laki-laki kok menari?” Kalimat dengan nada mempertanyakan dan melecehkan itu masih kuat dalam ingatan maestro lengger lanang Banyumas, Rianto. Sejak kecil penari lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta ini kerap menghadapi cemoohan yang merendahkan, bully.
Untuk itulah Rianto mendirikan Rumah Lengger Banyumas karena tari tradisi dari Jawa Tengah ini kini semakin sulit untuk bertahan, jika tidak mendapat perhatian dari berbagai pihak, baik masyarakat maupun pemerintah, termasuk media. Terlebih, lanjut aktor film Kucumbu Tubuh Indahku, banyak stigma yang mengancam kelestarian lengger, terutama lengger lanang.
Sehingga, kepulangan Rianto ke Banyumas kali ini ia manfaatkan untuk bertemu dan berdiskusi dengan 20 jurnalis Jawa Tengah dalam Workshop & Story Grant Jurnalisme Keberagaman: Media sebagai Ruang Aman Kelompok Marginal di Jawa Tengah (29/5). Melalui eksplorasi tubuh, Rianto bertekad untuk terus membawa lengger di pentas-pentas internasional dan menebalkan kecintaan generasi muda di Banyumas terhadap lengger.
Di hadapan para jurnalis, penerus maestro lengger Banyumas Mbok Dariah ini menegaskan bahwa lengger adalah wujud tarian yang mendamaikan tubuh feminin dan maskulin.
“Lengger tidak membatasi dan mengkotak-kotakkan gender,” lanjut Rianto yang sekarang tinggal di Jepang dan memimpin Dewandaru Dance Company, Tokyo.
Selain Rianto, transpuan Banyumas Assyifa “Icha” Khairunnisa juga turut menyampaikan kekecewaannya karena pengajuan permohonan perubahan jenis kelamin di kolom KTP ke Pengadilan Negeri Purwokerto ditolak. Sehingga Icha harus naik kasasi ke Mahkamah Agung (MA) untuk mendapatkan haknya memutuskan mengganti kolom jenis kelamin di KTP dari laki-laki menjadi perempuan.
Intoleransi dan diskriminasi penyebab regresi demokrasi
Kendati di wilayah Banyumas Raya jemaat Ahmadiyah dan penghayat kepercayaan agama lokal tidak banyak menghadapi penentangan dari masyarakat maupun pemerintah setempat, tetapi mubaligh Ahmadiyah wilayah Jawa Tengah I Nasiruddin Ahmadi dan penganut Himpunan Kebatinan Rukun Warga Banyumas Sulistiani Winarsih secara umum masih merasakan stigma dan diskriminasi.
“Anak-anak maupun pemuda banyak yang belum terbuka dan merasa percaya diri tentang diri mereka sebagai penghayat,” ungkap Sulistiani yang menjadi presedium Generasi Muda Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (Gema Pakti).
Perempuan yang akrab disapa dengan Tia ini memaparkan bahwa bentuk stigma dan diskriminasi kerap dihadapi para penghayat ketika berkenaaan dengan urusan administrasi untuk mengakses layanan-layanan publik seperti kesehatan (di rumah sakit), pendidikan, dan sebagainya.
Padahal, diskriminasi terhadap minoritas agama atau kepercayaan, termasuk gender dan seksual, menjadi indikator yang menyebabkan demokrasi dan kebebasan di Indonesia terus mengalami regresi (penurunan). Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid yang menjadi narasumber dalam kegiatan yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Purwokerto 28-30 Mei 2022 di Purwokerto.
Yang terjadi saat ini di Indonesia, menurut Usman, negara tidak sepenuhnya dapat menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak kelompok minoritas. Sebaliknya pemerintah dan aparat lebih mengikuti tuntutan mayoritas untuk membatasi dan merampas hak minoritas.
“Demokrasi adalah sistem yang dibangun untuk melindungi minoritas. Demokrasi itu bukan tirani mayoritas,” tegas mantan Koordinator KontraS.
Karena itulah, dalam kesempatan yang sama Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Daniel Awigra mendorong para jurnalis agar menggunakan perspektif hak asasi manusia (HAM) dalam memberitakan diskriminasi dan pelanggaran HAM berbasis identitas (agama atau keyakinan, gender, etnis, disabilitas, seksualitas, dan sebagainya). Oleh media, sambung Awigra, negara harus ditagih tanggung jawabnya dalam memberikan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak dan kebebasan setiap orang, apa pun latar belakangnya.
Sedangkan aktivis GAYa Nusantara sekaligus mahasiswa doktoral Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) UGM Khanis Suvianita menyampaikan materi yang membongkar tabu-tabu yang banyak memengaruhi kerja-kerja peliputan. Khanis menawarkan kepada para jurnalis konsep keragaman gender dan seksualitas: Sex Orientation, Gender Identity and Expression, and Sex Characteristic (SOGIESC).
Dari kegiatan ini editor Times Indonesia biro Banyumas Raya Coki Sutrisno merasa tersadar betapa sangat besar dampak pemberitaan yang menguatkan stigma terhadap kelompok minoritas yang bisa menjadi semakin rentan. Dengan cara pandang yang lebih baru tentang keberagaman, Coki pun berucap akan lebih memberi perhatian pada suara kelompok marginal dalam kerja-kerja jurnalistik.
“Saya mendapat banyak pencerahan, terutama tentang keberagaman gender dan seksualitas, sehingga lebih tahu bagaimana nantinya memberitakan isu ini,” kata Coki.
Pentingnya jurnalis mengambil peran untuk menyuarakan keberagaman dengan memberi ruang yang lebih banyak kepada kelompok marginal (giving voice to the voiceless) disampaikan oleh Direktur SEJUK Ahmad “Alex” Junaidi dan Ketua AJI Yogyakarta. Workshop dan story grant yang penyelengaraannya didukung oleh International Media Support (IMS) ini digelar sebagai rangkaian peringatan International Diversity Day yang jatuh setiap tanggal 21 Mei.
Yuni Pulungan dan Tantowi Anwari mengambil peran fasilitator workshop.
Story grant keberagaman
Para peserta workshop mempresentasikan proposal rencana peliputan kepada tim SEJUK dan mentor story grant keberagaman Shinta Maharani, Rudal Afgani (Ketua AJI Purwokerto) dan Khoirul Muzakki (Sekretaris Bidang Advokasi AJI Purwokerto). Proses SEJUK meng-coaching rencana liputan dari 20 peserta ini adalah upaya mendiskusikan agar ketika proposal mereka diturunkan menjadi berita sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalisme keberagaman.
Mentor dan tim SEJUK menyeleksi proposal peserta menjadi 9 yang berhak meraih Story Grant Liputan Keberagaman. Masing-masing proposal liputan terpilih mendapatkan beasiswa terbatas Rp7.000.000.
Berikut adalah peraih Story Grant Liputan Keberagaman:
1. Fitri Khasanah – Atlet Difabel dan Inklusi Sosial di Purbalingga (LPPL Radio Gema Soedirman)
2. Imah Masitah – Lengger dan Eksistensinya (Tribun Jateng)
3. Isbalna – Diskriminasi Penghayat, Mulai dari Pendidikan Hingga Pemakaman di Kendal (Babad.id)
4. Khairina – Komunitas Seni Transpuan Sedap Malam Sragen, Melihat Interaksi dan Penerimaan yang Ada (Kompas.com)
5. M Dafi Yusuf – Transpuan Sebagai Guru Ngaji di Semarang (Kompas.com)
6. Shodiqin – Pemakaman Penghayat di Jepara dan Brebes (Jatengnews.id)
7. Sigit Aulia Firdaus – Diskriminasi Mantan Napi Teroris (JPNN.com)
8. Subroto – 13 Tahun pasca-Pembakaran Padepokan Pasujudan Bumi Arum Santri Al Luwung Sragen (Topik News)
9. Vandi Romadhon – Icha, Perjuangan Mengubah Jenis Kelamin Hingga ke Pengadilan (Detik.com)
Selamat buat rekan-rekan jurnalis yang terseleksi para coach untuk melanjutkan proposalnya dalam program story grant SEJUK. Rekan-rekan yang proposalnya belum berhasil, kami berharap akan diteruskan menjadi karya-karya jurnalistik yang penting dipublikasikan secara luas.
Bagi yang proposal story grant keberagamannya terpilih, sila hubungi Manager Program Yuni Pulungan untuk konfirmasi maupun informasi selanjutnya.[]