Diskriminasi, intimidasi, hingga persekusi masih menjadi tantangan serius yang dihadapi komunitas LGBTQ+ di Jawa Barat. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul berbagai peraturan daerah di sejumlah kabupaten dan kota yang justru membatasi ruang gerak, eksistensi, dan ekspresi individu maupun komunitas queer. Tekanan semakin kuat ketika sebagian tokoh agama maupun media tidak memiliki perspektif keberagaman, sehingga berkontribusi pada penguatan stigma dan marginalisasi, baik di tingkat masyarakat maupun negara.
Kasus kriminalisasi terhadap individu dengan ragam identitas gender dan seksualitas, misalnya, sering diberitakan dengan framing yang memojokkan. Alih-alih berfokus pada aspek hukum dan perlindungan korban, media kerap menonjolkan orientasi seksual korban sebagai sorotan utama. Pola pemberitaan semacam ini bukan hanya gagal memberi keadilan, tetapi juga memperkuat stereotip dan diskriminasi baru di ruang publik.
Kecemasan tersebut disampaikan oleh Berbie, transpuan Bandung yang aktif di Srikandi Pasundan dan Firdhan serta Taro, perwakilan minoritas gender dan seksual yang tergabung dalam komunitas Panggung Minoritas. Srikandi Pasundan yang mempunyai jaringan kerja advokasi dan edukasi di wilayah-wilayah di Jawa Barat tidak berhenti untuk menyalahkan media, sebab ada jurnalis atau media-media di Bandung yang pernah menyuarakan aspirasi komunitas.
Menurut Shinta Maharani, jurnalis TEMPO dan Ketua Bidang Gender, Anak dan Kelompok Marginal AJI Indonesia, pemberitaan-pemberitaan yang menyudutkan disebabkan karena media menulis kutipan narasumber yang menyampaikan kebencian dan ancaman terhadap LBGTIQ. Tidak ada narasumber dari komunitas atau pendamping korban diskriminasi dan persekusi terhadap minoritas gender dan seksualitas.
“Media dan jurnalisnya hanya mewawancarai otoritas resmi seperti polisi, pejabat pemerintah, politisi, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI),” ungkap Shinta Maharani dalam “Workshop Membumikan Pandangan Ramah Keberagaman Gender dan Seksualitas Bersama Tokoh Agama dan Media di Jawa Barat” yang digelar Serikat Jurnalis untyk Keberagaman (SEJUK) di Kota Bandung (20/8).
Karena itu pula, sebagai upaya memperluas perspektif dan membangun ruang dialog, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Koalisi Rawat Hak Dasar Kita dan Kedutaan Besar Kanada mengadakan workshop yang mempertemukan komunitas minoritas gender dan seksualitas dengan tokoh agama serta media di Jawa Barat. Pertemuan ini diharapkan dapat menjadi ruang belajar bersama dan kolaborasi untuk memahami keberagaman secara lebih manusiawi.
Direktur SEJUK Neneng Mila Nurhamidah optimis bahawa media dan tokoh-tokoh agama mempunyai pengaruh dan peran kunci dalam membentuk opini publik dan memberikan teladan. Dengan perspektif yang berpihak, keduanya dapat menjadi jembatan yang menghapus stigma, memperkuat solidaritas, serta mendorong terciptanya masyarakat yang lebih adil dan inklusif.
Arielle Sobhani dari Political and Public Affair Kedutaan Besar Kanada juga menyampaikan harapannya di depan para peserta yang diikuti perwakilan media-media dari wilayah Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung, Cianjur, Bogor dan Sukabumi agar wokshop sehari ini dapat menumbuhkan empati dan kesadaran kolektif, bahwa setiap manusia berhak diperlakukan secara setara tanpa diskriminasi, apa pun identitas gender maupun orientasi seksualnya.
“Media diharapkan dapat memberikan ruang dan kesempatan yang sama bagi kelompok marginal seperti komunitas minoritas gender dan seksual untuk menyampaikan hak-haknya secara aman dalam pemberitaan agar tercipta pemerintahan dan masyarakat yang lebih inklusif,” harap Arielle Sobhani dalam sambutan pembukaan workshop.
Kalangan jurnalis menyambut inisiatif kerja sama ini dengan sangat baik. Seluruh media yang hadir terbangun kesadaran dan sensitivitasnya untuk memulai kerja-kerja jurnalistik yang lebih memberikan suara kepada kalangan marginal, dalam hal ini minoritas gender dan seksual di Jawa Barat.
“Sudah saatnya teman-teman komunitas LGBT atau queer muncul di media. Akan sampai kapan teman-teman komunitas diam? Saya sebagai bagian dari jurnalis yang bertugas di wilayah Garut siap untuk mengajak ngopi-ngopi,” ajak Sidqi Al Ghifari jurnalis Tribun Jabar yang meliput di wilayah Garut.
Merespons tantangan Sidqi, pendamping komunitas yang aktif di Inclusive Legal Center (ILC) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Tuani Sondang Rejeki Marpaung menekankan untuk mengingatkan para jurnalis agar terlebih dahulu membangun kepercayaan antara komunitas LGBTIQ dengan media. Sementara advokat pendamping komunitas, Asri Vidya Dewi dari Inclusive Legal Center (ILC) Jawa Barat, sangat antusias untuk menemani komunitas LGBTIQ membangun ruang-ruang dialog yang aman dengan media di wilayah-wilayah para jurnalis yang terlibat workshop.
Kyai Roy Murtadho Pimipnan Pesantren Misykat Al-Anwar Bogor dan Pdt. Obertina Modesta Johanis dari Gereja Kristen Pasundan (GKP) yang aktif di Women’s Crisis Center (WCC) Pasundan Durebang menegaskan, kendati konservatisme agama yang kuat di Jawa Barat menyingkirkan hak-hak warga minoritas gender dan seksual, kedua tokoh agama ini di lembaga tempat mereka beraktivitas sudah kerap memberi ruang bagi komunitas LGBTIQ untuk merasa diterima dan mendapatkan hak-haknya dalam mengekspresikan agama atau keyakinannya. Mereka memulai dengan membangun tafsir progresif atas kitab suci, sehingga mampu menghadirkan agama yang lebih ramah dan menerima komunitas LGBTIQ.
Di ujung workshop, perwakilan Srikandi Pasundan dan Panggung Minoritas bersama-sama dengan kalangan media merencanakan untuk mulai melakukan pertemuan-pertemuan ringan di masing-masing wilayah yang kerentanan komunitasnya sangat kuat seperti di Tasikmalaya, Garut, dan Cianjur. Sementara di wilayah seperti Bandung dan Bogor, komunitas LGBTIQ bersama tokoh agama maupun advokat atau pendamping hukum dapat berkunjung ke media untuk menjajaki kemungkinan-kemungkinan kolaborasi memproduksi berita-berita atau konten yang mengedukasi publik dan mengadvokasi para penyelenggara negara di daerah.