Selasa, Juli 15, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Uncategorized

Australia harus Belajar Toleransi pada Indonesia

by Redaksi
28/09/2015
in Uncategorized
Reading Time: 3min read
Indonesianis Tim Lindsey: Jangan Fobia pada Fenomena Jilbab Indonesia
Share on FacebookShare on Twitter

Islam and Diversity Festival

Pakar hukum Indonesia dari University of Melbourne Professor Tim Lindsey menganjurkan Australia untuk belajar keberagaman kepada Indonesia. Hal itu disampaikannya dalam diskusi panel tentang Australia-Indonesia bertema Islam and Diversity in Contemporary Indonesia yang diselenggarakan di Adelaide Festival Centre, Australia Selatan, Sabtu sore (26/9/2015).

“Setelah tumbangnya rezim Orde Baru, keberagaman Indonesia pada dasarnya mendapatkan ruang kebebasan dalam mengekspresikan perbedaannya masing-masing untuk beragama dan menganut kepercayaan,” kata Tim yang thesis doktoralnya mengambil Indonesian Studies.

Apresiasi terhadap konstitusi Indonesia yang menjunjung tinggi hak dan kebebasan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaannya ia lontarkan juga dalam forum yang ditaja oleh Program Jembatan Flinders University dengan melibatkan narasumber F. Firdaus (Dosen Senior Fakultas Humanities Flinders University), Dr. Nadirsyah Hosen (Dosen Senior Fakultas Hukum Monash University), Ayu Arman (penulis khazanah nusantara, gender dan Islam dari Jakarta), dan Satria Akbar (pakar seni dan budaya dari Jawa Barat).

Namun begitu, fakta perbedaan agama dan keyakinan yang sangat kaya di Indonesia, menurut Ketua Australia Indonesia Institute itu, akhir-akhir ini menimbulkan tidak sedikit ketegangan. Ini menjadi tantangan pemerintah Indonesia untuk dapat mengelola kehidupan keberagaman menjadi lebih baik.

Yang paling menjadi sorotan Tim adalah diterbitkannya pasal 28J pada amandemen UUD ’45. Ayat 2 di pasal tersebut menyatakan bahwa hak dan kebebasan dibatasi nilai-nilai moral dan agama.

“Pasal inilah yang menjadi sumber berbagai praktek persekusi terhadap kelompok agama maupun kepercayaan minoritas di Indonesia,” sesalnya.

Ia pun menjelaskan, dalam banyak kasus, kelompok agama yang ortodoks bisa dengan mudah menuduh sesat atau menyimpang untuk kemudian menyingkirkan kalangan dengan keyakinan maupun praktik unortodoks dan para penghayat kepercayaan dengan memanfaatkan pasal 28J tersebut.

Sementara itu, Nadirsyah Hosen melihat bahwa perbedaan antara Indonesia dengan Australia dalam menghormati perbedaan agama terletak pada kebijakan mengakomodasi. Jika Australia hanya mengakomodir Kekristenan, Indonesia mengakomodasi 6 agama yang terdapat di Indonesia.

“Australia hanya memberikan hari libur (public holiday) pada Natal dan tidak memberikan hari libur nasional pada perayaan agama-agama lainnya yang dianut oleh warga Australia. Sedangkan Indonesia mengakomodir libur nasional bukan pada hari raya Islam saja,” ujar Nadir.

Kendati demikian, sambung Ra’is Syuriah Pengurus Cabang Istimewa NU di Australia dan New Zealand itu, kebijakan akomodasi tidak cukup.

Maka dari itu ia mendorong, bentuk penghargaan negara terhadap realitas keberagaman dan upaya menghidupkan semangat pluralisme semestinya tidak berhenti pada mengakomodasi 6 agama resmi. Jauh lebih penting membangun toleransi dan kebijakan yang adil terhadap penganut agama, keyakinan dan penghayat kepercayaan yang sangat beragam di Indonesia.

Sedangkan pada tingkat masyarakat, terutama terhadap umat Islam yang moderat, ia mengajak agar memanfaatkan media sosial sebagai ruang untuk mempromosikan Islam yang menghargai keberagaman. Sebab, sekarang kalangan Islam radikal sangat agresif dalam menyebarkan intoleransi dan kebencian dengan menggunakan media sosial.

Kegitan diskusi ini merupakan bagian dari gelaran OzAsia Festival, agenda tahunan yang menyuguhkan karya seni internasional setiap musim Semi di Adelaide, Australia Selatan. Festival tahun ini mengambil fokus Cultural Delights of Indonesia 24 September – 4 Oktober 2015.

Eko Supriyanto (Cry Jailolo), Teater Garasi (The Street), Samba Sunda, Melati Suryodarmo, seniman-seniman disabilitas Yogyakarta, Nani Losari (Topeng Cirebon) serta beberapa seniman Indonesia lainnya turut ambil bagian dalam festival yang melibatkan audiens dengan berbagai latar seni, tradisi, dan sejarah yang berasal dari panorama kebudayaan seluruh negara kawasan Asia. (Thowik SEJUK)

Tulisan bisa dilihat disini

Tags: Headline
Previous Post

Seniman Disabilitas Pertemukan Dua Kota

Next Post

Indonesianis Tim Lindsey: Jangan Fobia pada Fenomena Jilbab Indonesia

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Ngober: Ngonten Keberagaman

Ngober: Ngonten Keberagaman

28/11/2024
Transgender

DOSA DAN NERAKA BUKAN URUSAN NEGARA: TRANSGENDER ISA ZEGA UMRAH BERJILBAB TIDAK BISA DIPENJARA

26/11/2024
God is Miraculous in Creating LGBT People

Pernyataan Sikap KOMPAKS: Menyikapi Pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Bahwa LGBTQ adalah Ancaman Negara

21/11/2024
Gadis Kretek

Review Gadis Kretek: Kisah Cinta Dasiyah Memang Menyedihkan, Namun Peristiwa 1965 yang Menghancurkan Hidupnya

13/11/2023
Next Post
Indonesianis Tim Lindsey: Jangan Fobia pada Fenomena Jilbab Indonesia

Indonesianis Tim Lindsey: Jangan Fobia pada Fenomena Jilbab Indonesia

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Review Gadis Kretek: Kisah Cinta Dasiyah Memang Menyedihkan, Namun Peristiwa 1965 yang Menghancurkan Hidupnya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Analisis: Intoleransi Ada di Agama Apa Saja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hentikan Praktik Persekusi yang Marak dan Berulang terhadap Kelompok Minoritas yang Tengah Melangsungkan Ibadah!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In