Para pengurus Sapta Darma dan peserta workshop Persma SEJUK di Sanggar Candi Busana, Jemursari, Surabaya (22/7/2017)
Sebelum tahun 2006 kami dipaksa memilih salah satu agama resmi untuk dicantumkan di KTP. Anak-anak dipaksa mengikuti pelajaran agama yang bukan menjadi keyakinan mereka. Pernikahan hanya tercatat di KUA. Bahkan saat mati pun pemakaman kami masih dipersoalkan.
Demikian Wakil Ketua Persatuan Warga Sapta Darma (Persada) Dian Jennie Cahyawati (44) menyampaikan berbagai bentuk ketidakadilan yang menimpa sesama penghayat Sapta Darma kepada para jurnalis kampus Persma SEJUK yang tengah berkunjung ke Sanggar Candi Busana, Jemursari, Wonocolo, Surabaya (22/7/2017).
“Ada masalah dalam hidup kami. Harus ada yang berani bersuara,” tutur Dian dengan wajah yang agak menegang.
Lima belas tahun yang lalu, aktivis Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (Sobat KBB) ini meneruskan, Sapta Darma hanya fokus pada kegiatan spiritual. Kami tunduk pada penguasa. Tak pernah bersuara meski menerima berbagai diskriminasi. Menjadi aliran kepercayaan yang bukan agama resmi tetapan pemerintah membuat warga Sapta Darma mendapat stigma dari masyarakat. Hak-hak kami sebagai manusia dan warga negara pun tidak terpenuhi.
Bersama tumbuhnya Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI), kami mulai menggiatkan lobi-lobi ke negara. Lobi-lobi ini di antaranya menghasilkan UU Adminduk No 23 tahun 2006 yang memberikan sedikit kelonggaran pada kolom agama di KTP. Kami tidak lagi harus memilih agama resmi yang ditetapkan pemerintah. Namun kami juga masih tidak bisa menuliskan Sapta Darma sebagai kepercayaan kami di kolom KTP. Hanya tanda “setrip” yang tertera.
“Adanya kolom agama dalam KTP ini membuat posisi aliran kepercayaan rawan diskriminasi,” sambungnya.
Semar Sapta Darma
Sepulang cangkruk Hardjosapoero merasa gelisah. Ada suatu rasa yang aneh. Rasa yang mendorongnya untuk bersujud. Dia bersila, kedua tangannya bersedekap. Mulutnya mengucapkan serangkaian doa yang tak pernah dikenal sebelumnya. Sampai pagi datang, dia tetap dalam posisinya.
Siang hari, tepatnya dua bulan setelah malam cangkruk (kongkow) yang kemudian menggelisahkan itu, dinding dan lantai rumahnya bermunculan simbol-simbol. Muncul, hilang, muncul, hilang. Lalu, pada malam harinya, di kedua telapak tangan Hardjosapoero muncul wewarah pitu (7 ajaran utama).
Malam itulah Bapa Panuntun Agung Sri Gutama, Hardjospoero, menerima wahyu dari Tuhan. Tepatnya Desember 1950 di Pare, Kediri, aliran keyakinan Sapta Darma lahir.
Malam di mana dia sujud diceritakannya pada para sahabat. Ada dua belas sahabat. Setelah mendengar pengalaman itu, para sahabat juga mendapatkan dorongan rasa yang sama. Dorongan untuk melakukan sujud. Wahyu yang didapat Bapa Panuntun Agung Sri Gutama terdiri tiga hal: wahyu sujud, wahyu wewarah pitu dan simbol pribadi manusia.
Dian Jennie menceritakan itu semua dalam nada yang penuh khidmat. Perempuan yang kerap memperjuangkan nasib agama lokal bersama dengan jaringan nasional aktivis kebebasan beragama menyampaikan bahwa wahyu sujud membawa warga Sapta Darma berkontemplasi dengan Tuhan. Tidak ada perantara antara Tuhan dan hambanya. Saat sujud, penghayat Sapta Darma merasakan Tuhan dalam tubuhnya.
Wewarah pitu menjadi suatu kewajiban suci yang harus dilaksanakan dalam kehidupan. Sementara simbol pribadi menggambarkan watak dan kepribadian manusia. Semar sebagai simbol menggambarkan rohani sesungguhnya. Rohani yang sesungguhnya tidak berjenis kelamin. Tidak laki-laki, bukan pula perempuan. Buruk wajahnya namun baik hatinya.
“Semar berwujud manusia, tapi hatinya dewa. Jadi itu simbol keluhuran,” ucap Dian.
Perjuangan Penghayat
Kepercayaan Sapta Darma berkembang dan tersebar di wilayah-wilayah Indonesia. Kami memiliki suatu sistem kepengurusan yang terbagi menjadi tiga hal, yaitu bidang kerohanian, organisasi dan yayasan. Bidang kerohanian berfokus pada pengembangan spiritual. Di bidang organisasi kami memiliki Persada. Yayasan berfungsi mengurus hal-hal terkait dengan manajemen Sapta Darma.
Dengan berorganisasi inilah para penghayat Sapta Darma mulai berani keluar menyampaikan hak-haknya bersama jaringan yang mengadvokasi agama-agama lokal di Indonesia.
“Mengosongkan KTP atau menuliskan orang kepercayaan, itu pintu dari diskriminasi terbuka,” ungkap Nindya Putri salah seorang remaja Sapta Darma.
Nindya juga menuturkan bahwa diskriminasi terhadap penganut Sapta Darma marak mereka terima dalam tataran pendidikan. Sebelum Permendikbud No 27 tahun 2016 berlaku, anak-anak Sapta Darma diharuskan memilih salah satu agama resmi.
Dian Jennie Cahyawati (kiri) tengah diwawancarai peserta workshop Persma SEJUK (22/7/2017)
Stigma yang muncul di sekolah, baik dari guru ataupun teman sebaya, membuat anak-anak Sapta Darma merasa malu bahkan mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Tekanan yang begitu kuat membuat beberapa dari kami memilih meninggalkan komunitas. Akibatnya regenerasi terhambat.
Pendamping organisasi perempuan penghayat Akhol Firdaus menjelaskan jika jumlah penghayat di Indonesia sendiri terus mengalami penurunan. Dalam waktu lima tahun tidak kurang 50 organisasi telah hilang karena ketidakberhasilan regenerasi.
“Pendidikan salah satu satu lembaga yang paling merepresi keberadaan penghayat,” ucap peneliti dan pengajar IAIN Tulungagung.
Akhol juga menegaskan bahwa sekolah yang menjadi salah satu tempat pelaksanaan pendidikan tidak memfasilitasi penghayat dalam mengenal keyakinannya. Akibatnya banyak anak penghayat yang teragamakan.
Menyikapi permasalahan itu, Dian Jennie kembali memaparkan bahwa pihak Sapta Darma membuat sanggaran-sanggaran guna melestarikan dan memantapkan kepercayaan. Dengan memanfaatkan Sanggar Candi Busana, Sapta Darma di Surabaya membentuk sanggaran yang terdiri: sanggaran anak-anak usia 5-13 tahun; sanggaran remaja 14-35 tahun; serta sanggaran untuk bapak-bapak dan ibu-ibu.
Meski demikian tercatat sanggaran anak di Surabaya yang awalnya 60 menjadi 40. Sementara, sanggaran remaja kini menjadi 25. Permodelan sanggaran ini sangat kami harapkan bisa memberikan kekuatan ketika menghadapi tekanan dan berbagai bentuk diskriminasi agar keberadaan Sapta Darma sebagai agama lokal dan para penganutnya menjadi lebih baik.
Kendati mendapatkan diskriminasi, Dian meyakinkan bahwa warga Sapta Darma tetap berbuat baik pada sekitarnya. Wewarah pitu yang ke-4 mengajarkan warga Sapta Darma saling menolong kepada siapa pun yang membutuhkan tanpa mengharap suatu balasan.
Begitu pula pada point ke-6 dari wewarah mencerminkan sikap hidup bermasyarakat, kekeluargaan. Penghayat Sapta Darma harus berbudi pekerti.
Saat negara menghadapi kesulitan, kami tidak turun ke jalan tetapi melakukan sujud tirakat memohon perdamaian bangsa. Seperti wewarah pitu ke-3 yang turut serta menegakkan berdirinya nusa dan bangsa.
Bukan siar yang kami lakukan untuk menyebarkan ajaran Sapta Darma. Bukan juga dengan pemaksaan.
“Kami menyebarkan ajaran dengan contoh perilaku yang baik kepada masyarakat. Seperti isi Sesanti, Dimana saja, kepada siapa saja, warga Sapta Darma harus bersinar seperti matahari”, tutur Dian.
Sapta Darma juga melakukan atkivitas-aktivitas sosial. “Kami sering menyelenggarakan pengobatan tanpa mengambil keuntungan. Ini memberikan pencerahan bagi kami sekaligus memberikan solusi untuk suatu masalah yang terjadi di masyarakat,” Dian Jennie menutup perbincangan.[]
Laporan ini merupakan buah dari Workshop Meliput Isu Keberagaman di Era Digital di Surabaya, 20-23 Juli 2017, kerjasama Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dengan LPM Solidaritas UIN Sunan Ampel Surabaya, LPM Retorika UNAIR Surabaya, dan EngageMedia yang didukung Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan The Asia Foundation (TAF).
Dilaporkan: Khusnul Fadilah (Penerbitan Kampus Identitas UNHAS Makassar), M. taufiq Hidayat (LPM IDEA UIN Walisongo Semarang), Robertus Adi (LPM Scientiarum UKSW Salatiga), Nizzar Kusuma Wardani (UKPKM Tegalboto Universitas Jember), dan Akhmad Khoirul Munir (LPM Akademika Universitas Udayana Bali)