Oleh Awigra*
Publik terbelah posisinya ketika merespon wacana pembubaran Front Pembela Islam (FPI). Terlebih, pasca aksi pengusiran sejumlah pengurus pusat FPI oleh masyarakat Dayak di Pangkaraya, Kalimantan Tengah, (11/2) ditambah aksi massa gerakan Indonesia tanpa FPI di Bundaran HI (14/2) baru-baru ini. Mengingat, semangat pembubaran bisa berbenturan dengan semangat kebebasan berserikat dan berkumpul yang dijamin oleh konstitusi.
Pertanyaannya, jika terbukti ada kelompok yang jelas-jelas memiliki rekam jejak (track record) panjang melakukan berbagai tindak kekerasan, apakah atas nama kebebasan, mereka tidak bisa dibubarkan? Di titik ini, terjadi pertempuran wacana yang sengit tentang hakikat kebebasan di ruang publik.
Di satu sisi, ormas anarkis kerap dengan dalih tafsir moral keagamaan tertentu merasa bebas memaksakan keyakinannya dan kebenarannya kepada publik yang belum tentu setuju dengan cara-cara kekerasan. Di sisi lain, orang-orang yang mengecam aksi-aksi kekerasan yang dilakukan FPI dan sampai pada tahap ingin membubarkan FPI, memiliki argumen bahwa kebebasan mereka selama ini dibelenggu, dan tak jarang diintimidasi oleh ormas anarkis.
Di titik ini, Isaiah Berlin dengan jeli pernah mendefinisikan tentang kebebasan. Berlin, mendefinisikan kebebasan dalam dua arti; positif dan negatif. Pertama, kebebasan positif adalah kebebasan untuk (freedom to), dan yang kedua kebebeasan negatif yaitu kebebasan dari (freedom from). Dari Berlin, kita bisa mengiris persoalan secara lebih cermat.
Dengan argumen tafsir sepihak moral keagamaan tertentu, apakah seseorang atau sekelompok orang bisa bebas untuk melakukan apa saja, termasuk melakukan sweeping, pembakaran, penghancuran, dan bahkan pembunuhan? Tentu saja makna kebebasan untuk (freedom to) ini harus dipertanyakan. Apakah hal itu adalah esensi dari kebebasan?
Sementara, massa aksi yang terus bergerak meski dalam bayang-bayang diserang, sudah berada pada titik nadir kesadaran yang jenuh, muak, dan jengkel dengan intimidasi dari aksi-aksi FPI. Perlu diketahui, gerakan Indonesia tanpa FPI melakukan aksi damai di bawah ancaman penyerangan dan dihantui perasaan tidak aman karena ada pernyataan polisi di lapangan yang mau lepas tanggung jawab jika terjadi serangan oleh FPI. Dan benar, koordinator lapangan dalam aksi itu menjadi target serangan oleh beberapa orang yang pada akhirnya terbukti sebagai anggota FPI.