[dropcap font=”times” fontsize=”64″]D[/dropcap]i ruang terbuka nan kecil di sela-sela bangunan berlantai lima, anak-anak warga Syiah Sampang meluapkan keinginan untuk belajar. Sambil belajar, mereka bisa bermain-main dengan sesama temannya di tempat sempit yang hanya beralaskan karpet. Itulah teras Rusunawa Puspa Agro, Sidoarjo, Jawa Timur, ruang darurat yang difungsikan untuk kegiatan belajar anak-anak Syiah sejak mereka direlokasi ke Sidoarjo (20/6) dari penampungan sebelumnya, GOR Sampang, Madura.
Di dinding tembok, terlihat deretan lembar-lembar kertas hasil kreasi gambar mereka yang turut menghiasi ruang itu. Terdapat satu papan tulis berukuran 1x2m yang berdiri tegak. Separuh bagiannya ditempel poster Huruf Abjad dan Angka. Separuhnya lagi masih terdapat bekas coretan-coretan yang berupa angka dan tulisan.
Mereka terpaksa diungsikan akibat diserang ribuan massa yang “menuduh” Syiah sebagai ajaran sesat dan menolak mereka hidup di Sampang. Para penyerang mengusir dengan melakukan pengrusakan dan pembakaran terhadap rumah dan properti warga Syiah Karanggayam dan Blu’uran, Sampang di 49 titik (26/08/2012). Pada saat itu pula para penyerang membunuh salah seorang warga Syiah secara “bengis”. Satu orang lainnya kritis.
Di pengungsian inilah anak-anak Syiah yang berjumlah sekitar 60 terjebak dalam situasi darurat. Sehingga, masa depannya sebagai sesama warga negara Indonesia terabaikan karena tidak terpenuhinya hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan tumbuh dalam lingkungan yang mendukung perkembangannya secara baik dan sehat. Mereka terpaksa harus menghabiskan hari-harinya hanya dengan bermain. Permainan pun bermodalkan benda seadanya yang ada di lingkungan Rusunawa. Mereka melampiaskan kebersamaan sekadar untuk menghilangkan kejenuhan.
Sore itu, sekitar pukul 14.30 WIB, ketika semua peserta dan panitia Workshop Jurnalisme Kebergaman yang diadakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) berkunjung ke tempat tersebut, terlihat beberapa anak bermain karet. Beberapa menonton TV bersama. Beberapa lainnya tampak berlari-lari di halaman.
Zakiyya (24 tahun), ibu dari Israfil yang merupakan salah satu anak Syiah yang tinggal di Rusunawa, menuturkan bahwa pada awal-awal dipindahkan dari GOR Sampang ke tempat ini, keseharian anak-anak pengungsian hanya bermain dan nonton TV. Baru setelah sekitar seminggu berlalu, mereka mendapatkan kegiatan belajar. Kegiatan belajar ini rutin dimulai pukul 08.00 – 10.00 WIB. Mereka diajak untuk belajar membaca dan menulis serta bermain. Setelah shalat Maghrib, mereka diajak untuk ngaji (belajar agama).
Dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar, anak-anak didampingi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), salah satunya Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (Yakkum Emergency Unit). LSM ini turut terjun ke lapangan untuk mendampingi proses pendidikan yang sifatnya non-formal. Pihak Yakkum dengan relawan-relawan dari lembaga lainnya melakukan pembinaan terhadap beberapa pengungsi. Kader-kader binaan inilah yang akan melanjutkan upaya pembelajaran kepada para pengungsi.
“Ini pembinaan terhadap beberapa warga yang layak untuk mendampingi proses belajar-mengajar. Kami bina dan ajak para pengungsi agar mempunyai keterampilan mengajar. Diharapkan ke depannya ada yang mendampingi anak-anak belajar, ketika kami sudah tidak ada di sini”, tutur Rani Ayu Hapsari, Perwakilan dari LSM Yakkum Emergency Unit.
Dengan nada sedih, raut muka yang seperti menyimpan keresahan, Siti Rohmah (15), salah satu kader binaan yang bertugas memberikan pembelajaran, mengungkapkan, “Dengan seadanya kami mendampingi anak di sini belajar untuk mengisi kegiatan agar tidak kosong.” Hal ini penting agar anak-anak bisa mengalihkan trauma-trauma kekerasan yang beberapa kali menimpa mereka. “Ya tidak hanya belajar, kadang diisi dengan bermain, menggambar dan juga menyanyi”, sambungnya.
Selain untuk anak-anak, kegiatan belajar membaca dan menulis juga diperuntukkan bagi para orang tua. Rohmah menuturkan, “Kegiatan ini dilakukan karena kebanyakan orang tua belum bisa baca dan tulis.” Ketika kami, para peserta Workshop SEJUK, berinteraksi dengan pengungsi, sebagian besar dari mereka masih kesulitan untuk berdialog dengan menggunakan bahasa Indonesia. Rata-rata hanya bisa berbicara dengan bahasa Madura dan beberapa tidak paham betul bahasa Indonesia. Kondisi ini memberikan alasan yang kuat untuk kerja-kerja sukarela Rohmah dan kader binaan lainnya.
“Lucu kalau melihat ibu-ibu sedang belajar membaca. Kalau ibu-ibu salah baca, anak-anak menyahuti”, ujar Irfan Setyanudin, Koordinator Kedaruratan dan Logistik, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), yang ikut mengontrol dan bertanggung jawab terhadap situasi pengungsian Rusunawa Sidoarjo.
Irfan memberikan keterangan bahwa anak-anak Syiah sebanarnya ingin sekolah formal, namun mereka juga tidak ingin terisolasi dari anak-anak di luar kelompok mereka. “Waktu anak-anak ditanya apa mau sekolah lagi, mereka menjawab mau. Tapi, mereka lebih memilih sekolah di SD dibandingkan madrasah,” jelas Irfan.
Jawaban dari anak-anak tersebut memang dirasa cenderung berlawanan dengan kebiasaan orang-orang di sekitar tempat mereka tinggal dahulu. Rata-rata orang Syiah Sampang hanya sebagian kecil saja yang mau sekolah di SD. Kebanyakan anak-anak di Sampang sekolah di madrasah. Setelah itu, dilanjutkan dengan menempuh jalur pendidikan di pondok pesantren.
Akan tetapi keinginan untuk kembali memakai seragam sekolah bukan tanpa halangan. Pada waktu penyerangan terhadap warga Syiah yang terjadi di Sampang, terpaksa warga Syiah harus merelakan ijazah dan akta kelahiran anak-anak mereka hilang ikut terbakar ketika peristiwa penyerangan di Sampang. Padahal, kedua lembar kertas yang dikeluarkan oleh institusi formal tersebut nantinya menjadi mata rantai bagi pemenuhan kebutuhan administrasi yang yang berkaitan dengan hajat hidup mereka. Ketika telah lenyap, maka melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan bekerja di bidang formal hanya akan menjadi impian.
“Akta-akta yang hilang itu sedang dalam proses pengurusan, tapi pemerintah juga mengupayakan kebijakan agar mereka mendapatkan keringanan bersekolah tanpa ijazah,” ungkap Irfan seolah hendak membantah bahwa pemerintah hanya tinggal diam terhadap hak pendidikan formal anak.
Menurut Mukhlisin, salah satu remaja Syiah menyatakan bahwa dua hari yang lalu (02/07), pihak Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Sidoarjo berkunjung ke lokasi Rusun. Disdikpora berencana akan memberikan pendidikan yang layak dengan menempatkan anak-anak ke sekolah yang ada di sekitar Rusunawa.
“Kemarin ada tawaran dari Dinas Pendidikan yang menempatkan anak-anak bersekolah di sekolah sekitar Rusunawa. Namun, hal ini masih dipertimbangkan oleh para orang tua mengingat mereka tidak ingin anaknya menjadi korban ejekan ketika nanti bersekolah formal yang ada di sekitar Rusunawa,” jelas Mukhlisin, salah satu anak warga Syiah Sampang yang sekarang menginjak kelas XII di salah satu sekolah Madrasan Aliyah yang ada di Jember.
Namun menurut penuturan Rani anggota LSM Yakkum bahwa ada informasi baru dari Gubernur Jatim: pemerintah akan mendirikan sekolah khusus bagi pengungsi Syiah di Rusunawa mulai dari jenjang SD, SMP sampai SMA. “Harapanya ya semoga kami diperhatikan oleh pemerintah, termasuk nasib pendidikan anak-anak. Karena, kami juga warga Indonesia,” tegas Mukhlisin.
Harapan ini sangat bisa dipahami mengingat sejak di pengungsian, tepatnya di GOR Sampang, pendidikan anak-anak Syiah kurang dipedulikan. Mareka terpaksa belajar bersama sambil berdesak-desakkan di sebuah tenda. Selama hampir 10 bulan di GOR, kegiatan belajar ini pun kurang efektif dan tidak berjalan dengan baik. Tidak jarang apabila banyak anak yang tidak ikut belajar. “Dulu waktu di GOR, anak-anak ada kegiatan belajar dan itu dilaksanakan di dalam tenda. Makanya, banyak anak-anak yang bosan,” lanjut Mukhlisin ketika diajak berdialog santai di teras lantai dasar, Rusunawa Puspa Agro, Sidorajo.
Pertanyaan selanjutnya, dengan mendirikan SD sampai SMA apakah pemerintah hendak mempermanenkan pengungsian Syiah Sampang di Sidoarjo dan mengabaikan hak-hak mereka yang terus menuntut segera dipulangkan ke kampung halamannya untuk kembali hidup normal?
Kontributor: Muhamad Zainal Mawahib (LPM Justisia IAIN Walisongo Semarang), Muhammad Riza (Himpunan Abiasa Bandung), Revina Violet (LPM Bestari UMM), Nur Romdlon (LPM Pendapa UST Yogyakarta), Dina Mustika Rini (LPM Manifest Universitas Jember) dan Dieqy Hasbi Widhana (LPM Ideas Fakultas Sastra Universitas Jember).