Komnas Perempuan melakukan kunjungan ke Majalah Diffa yang lokasinya di Cibubur (07/11/2013). Majalah Diffa adalah sumber utama/bacaan mengenai dunia disabilitas dan keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Di jejaring media on line-nya dituliskan bahwa majalah ini adalah majalah pertama di wilayah Asia yang diharapkan menjadi pintu masuk bagi masyarakat untuk memahami dan berkomunikasi dengan dunia disabilitas. Mengingat, mereka-mereka yang berada di dunia disabilitas ini seringkali hak-haknya diabaikan oleh keluarganya, komunitasnya termasuk hak-haknya sebagai warga negara. Diffa didirikan oleh Yayasan Mitra Netra dengan melibatkan teman-teman penyandang disabilitas, pekerja pers dan berbagai tokoh yang peduli kepada penyandang disabilitas.
Kunjungan Komnas Perempuan ini selain merupakan bagian dari media visit yang selama ini rutin dilakukan juga ingin mengetahui lebih banyak bagaimana mengelola media yang lebih aksesibel kepada teman-teman penyandang disabilitas. Komnas Perempuan disambut oleh FX Rudy Gunawan dan Jonna Damanik. Rudy Gunawan, selaku pemimpin redaksi, mengatakan, “Tentu kalau secara advokasi yang akan dilakukan oleh Komnas Perempuan akan sangat penting bagi teman-teman disabilitas karena akses kepada teman-teman disabilitas yang selama ini masih terbatas.” Menurutnya beberapa kendala adalah penyediaan alat-alat komunikasi bagi penyandang disabilitas, seperti penyediaan tulisan braille kepada tuna netra,”Secara cost mahal dan gak terjangkau, jadi satu halaman kertas biasa sama dengan empat kertas braille, secara biaya juga lebih tebal karena kertasnya juga spesifik.”
Rudy menambahkan, “Teknologi sekarang sudah membantu, sudah ada software komputer yang membantu namanya Jaros. Tapi itu bisa dilakukan pada level apa dulu? Hanya kepada yang level ekonomi yang dia bisa membeli komputer, secara pendidikan biasanya dia pernah berjuang masuk ke perguruan tinggi. Dan itu sih secara statistik jumlahnya masih sedikit.” Selain menyampaikan kendala yang dialami oleh Tuna Netra ternyata Tuna Rungu juga mengalami hal yang cukup pelik,”Tuna rungu persoalannya lebih rumit lagi, kalau kita merujuk pada sejarah bangsa kita, salah satu pondasi kemerdekaan adalah bahasa persatuan. Nah, Tuna Rungu ini proses membangun bahasa persatuan itu perjuangannya masih belum selesai, karena mereka mengenal dialek, mereka mengenal logat, atau memiliki bahasa yang utuh. Persoalannya masyarakat kita secara keseluruhan lebih mengenal bahasa mereka sebagai bahasa pengganti bukan satu bahasa yang utuh. Nah, teman-teman sadar bahwa memperjuangkan bahasa yang utuh bagi mereka ini adalah yang paling mendasar,” ujar Rudy. Utuh dalam kaitannya karena memiliki gramatika, dialek, logat dan semiotika yang tersendiri. Terkait dengan penyandang Tuna Rungu, Jonna Damanik menambahkan akses kepada Tuna Rungu ini jauh lebih buruk. ”Dan sebenarnya bagi mereka pemahaman adalah yang paling sulit,” kata Jonna
Jonna Damanik yang menyandang Tuna Netra turut menyampaikan,”Kalau kita bicara mengkomunikasikan suatu pesan ke penyandang disabilitas itu memang menjadi permasalahan besar di semua sektor. Banyak orang yang berpola pikir terbalik sehingga memaksakan penyandang disabilitas untuk memahami suatu isu yang diberikan. Padahal mereka tidak paham sama sekali. Kita senang kalau Komnas Perempuan berupaya menyediakan media yang aksesibel, berarti satu lagi bagian dari bangsa ini yang peduli.” Lebih lanjut, menurutnya ada sebuah kondisi yang bisa menyebabkan sebuah isu dan sosialisasi kerap kali tidak tepat sasaran,”Sebenarnya dalam melakukan sosialisasi, disamping melihat aksesibel maka yang dituntut adalah membangkitkan kreatifitas kepada mereka untuk menyampaikan hak-nya, karena para penyandang disabilitas ini sudah terlalu lama dalam kondisi mengalami diskriminasi dan termarginalisasi, sehingga pembahasan atau pengemasan dari sosialisasi itu belum tentu bisa tepat sasaran dan diterima seutuhnya. Jadi mesti ada kreatifitas kepada mereka agar dapat menyampaikan hak-nya, bukan hanya akses aksesibel saja,” kata Jonna.
Terkait dengan advokasi kepada penyandang disabilitas, Komnas Perempuan sendiri pernah bekerjasama dengan AIPJ (Australia Indonesia Partnership for Justice) termasuk bekerjasama dengan beberapa mitra penyandang disabilitas saat melakukan kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP). Jelang 16 HAKtP tahun 2013 ini, Komnas Perempuan kembali akan berjejaring dengan mitra yang mengadvokasi para penyandang disabilitas. Kampanye 16 HAKtP, akan dimulai tanggal 25 November sampai 10 Desember, di pertengahan perayaan tersebut kita juga merayakan 3 Desember sebagai Hari Disabilitas Internasional.*)
Sumber: http://www.komnasperempuan.or.id/2013/11/kunjungan-ke-majalah-diffa-setara-dalam-keberagaman/