Teks : Rio Tuasikal
Gerimis kecil masih turun di luar Museum Mandala Wangsit Siliwangi, Bandung, malam itu. Di dalam gedung, sebuah lampu sorot warna magenta menerpa panggung kecil. Hadirin duduk di depannya, di lima deret kursi bermotif loreng tentara. Semua mata tertuju ke panggung, hening menunggu.
Seorang perempuan berjalan ke situ. Rambutnya lurus, digerai sampai dada. Jari-jarinya lentik, ia lalu memetik senar ku chen (kecapi cina) secara lincah. Tembang Barat bertajuk “Memory” disajikan Ci Sen Chuei dengan gaya tirai bambu. Sesekali dia menatap hadirin dengan senyum. Lengkung bibirnya makin kentara saat tepuk tangan terdengar di berbagai penjuru.
Di pentas seni ini, Ci Sen Chuei tidak tampil sendiri. Ada juga band Pangea dan band LDR. Hadir teater anak bertema kebhinnekaan dari Praxis in Community. Gelaran ini adalah puncak kegiatan Bandung Lautan Damai berisi 6 acara yang dimulai sejak 3 November.
Kehangatan yang diterima Ci Sen Chuei malam itu akan aneh bila kita melihat pengalaman Sabtu sebelumnya. Saat itu, panitia Nadia Nathania telah memarkir kendaraannya secara keliru. Seorang pria lantas meneriakinya, “Dasar Cina!”. Nadia bilang bahwa itu adalah bukti perjuangan masih akan panjang.
Kondisi ini diperjelas oleh data yang panitia keluarkan pada Rabu (13/11) saat seminar. Menurut SETARA Institute, the Wahid Institute dan CRCS UGM, Jawa Barat memegang angka intoleransi tertinggi selama 4 tahun terakhir. “Catatan 2013 SETARA Institute menyebutkan, sejak Januari-Juni 2013, sudah ada 122 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama di 16 provinsi. Sebanyak 50% terjadi di Jawa Barat,” demikian tulis panitia dalam rilisnya.
Masih di seminar itu, ketika peserta dan pembicara melakukan tanya jawab, panitia sibuk kasak-kusuk di belakang layar. Panitia dapat informasi bahwa perayaan Asyura yang akan digelar IJABI di Bandung pada Kamis (14/11) terancam batal. Oleh kelompok-kelompok kontra, lokasi acara sudah didatangi, akses jalan sudah ditutup. Yunita, salah satu panitia, berkata, “Sedih ya di tengah-tengah Bandung Lautan Damai masih ada yang seperti ini.”
Namun sedih Yunita lenyap saat Sabtu, di pentas seni itu. Di Bandung Lautan Damai, sebanyak 100 orang muslim termasuk Syiah dan Ahmadiyah, kristiani berbagai denominasi, baha’i, buddhis, khonghucu dan lainnya, bertemu dan bertegur sapa. Mereka berbagi pengap dalam ruang 8 kali 8 meter yang sama. Intoleransi tak laku di sini. Data-data tadi pun seolah dihapus oleh lagu di akhir acara.
Belasan panitia naik ke panggung, mereka mengajak seluruh hadirin berdiri untuk bernyanyi. Lirik lagu “Rumah Kita” dipampang lewat proyektor. Di panggung, Syarif memetik gitarnya, Afifa menggesek biolanya, mereka mengalunkan intro. Nyanyian itu tidaklah kompak pada dua bait pertama. Belepotan. Semua hanya bisa berhenti dan tertawa.
Akhirnya Syarif dan Afifa langsung ke reff saja, semua bernyanyi keras “Lebih baik di sini… Rumah kita sendiri…” Semua mengambil kunci nada berbeda, yang sumbang saat sendiri, tapi merdu juga bila bersanding.
“Segala nikmat dan anugerah Yang Kuasa… Semuanya ada di sini.”
Barangkali inilah semangat yang perlu dihayati, saling mengisi jadi harmoni.
“Rumah kita… Semuanya ada di sini.”
Inilah toleransi, ibarat gitar dan biola yang mengiringi mereka bernyanyi. []