Menyigi Rumah Ibadah Kaum Minoritas di Sumatera Barat (Part III)
Fellowship Peliputan Keberagaman, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK): Andri Mardiansyah, Padangtoday.com
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang beberapa kurun waktu terakhir cukup banyak menerima pengaduan dari kaum minoritas yang meminta bantuan dalam mencari keadilan pemenuhan hak kebebasan beragama, termasuk di dalamnya persoalan izin mendirikan bangunan.
Bersama dengan Komnas HAM Sumbar, LBH Padang melakukan berbagai upaya, mulai dari investigasi hingga mediasi dengan pemerintah. Namun lagi-lagi apa yang dilakukan terkendala, seperti perkara aktivitas Gereja Bethel Indonesia cabang Bukit Tinggi. Sejak LBH dan Komnas HAM mendatangi Walikota Bukit Tinggi, melakukan mediasi serta rekomendasi untuk mencari solusi konkrit dan memberikan kebebasan hak beragama kaum minoritas, hingga kini sama sekali tidak ada jawaban dan tindak lanjut lebih jauh.
“Kebebasan beragama merupakan hal pokok bagi setiap warga negara Indonesia, dan itu sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945,” ujar Vino Oktavia, Direktur LBH Padang.
“Pemerintah harus dapat berperan aktif dalam menyelesaikan dan memberikan hak kebebasan beragama kepada kaum minoritas. Sebab pada dasarnya kebebasan beragama merupakan kebebasan untuk memilih dan mengungkapkan keyakinan agama tanpa ditekan atau didiskreditkan. Namun kenyataannya saat ini hal tersebut cenderung ditentukan oleh penilaian subjektif kelompok mayoritas,” tambah Vino Oktavia.
LBH Padang beberapa waktu lalu juga mengeluarkan buku bertajuk Kebebasan beragama, berkeyakinan dan berekspresi diadili. Buku tersebut menurut Vino Oktavia mengupas seputar persoalan keberagaman yang ada, dimana kondisi kebebasan beragama di Sumatera Barat sendiri sangat berbeda dengan daerah lain.
Konflik yang ada di Sumbar tidak menampakkan wujudnya secara nyata. Atau jika dilihat sepintas, Sumbar seolah-olah minim akan konflik kebebasan beragama, mengingat penduduknya mayoritas muslim. Padahal, kentalnya budaya dalam tatanan kehidupan masyarakat Sumbar turut berpengaruh besar terhadap tata kelola pemerintahan di daerah ini. Hampir seluruh kebijakan dan peraturan daerah yang dilahirkan bernuansa Islam, seperti halnya dengan kewajiban berpakaian muslim, wajib pandai baca Al-Quran bagi siswa atau calon pengantin, wajib Zakat, dan penyakit masyarakat.
“Berdasarkan pemantauan kita, cukup banyak persoalan kebebasan beragamama, berkeyakinan dan berekspresi yang terjadi di Sumbar. Namun hal itu tak terekspos,” imbuhnya.
Tak hanya LBH Padang, Komnas HAM Sumbar juga salah satu lembaga yang cukup banyak menerima laporan. Kasus pendirian rumah ibadah umat Kristen di Sungai Buluh, Pasa Usang tahun 2007, Bukit Tinggi tahun 2009, Pasaman Barat 2012 serta di daerah Solok dan Pessel tahun 2011 merupakan lima dari sekian banyak laporan pengaduan yang masuk ke meja Komnas HAM Sumbar. Namun lagi-lagi kondisinya hanya sebatas investigasi dan rekomendasi kepada pihak pemerintah daerah. Sedangkan tindak lanjut dari itu hingga kini pun sama sekali tidak ada.
Dipaparkan Firdaus, Kasubag pelayanan pengaduan Komnas HAM Sumbar, persoalan kebebasan beragama di Sumbar merupakan persoalan yang sangat sensitif. Ini sangat berbeda dengan hal lain atau konflik lain yang ada. Jangankan tataran masyarakat, bahkan pemerintah pun tak bisa berbuat banyak ketika ada konflik keberagaman. Selain kasus pendirian rumah ibadah, kasus penolakan jabatan publik pada tahun 2009 yang mana pernah ada seorang jaksa dipindah tugaskan ke Kejaksanaan Negeri Pasaman Barat untuk posisi sebagai kepala bagian ditolak keras oleh masyarakat karena ia diketahui bukan berasal dari agama mayoritas. Masih banyak persoalan penolakan seperti ini yang terjadi di Pasaman Barat. Namun tetap saja pemerintah tidak dapat berbuat banyak.
Susahnya membangun rumah ibadah bagi kaum minoritas, selain berimbas pada penyelenggaraan ritual keagamaan juga pada aktivitas jemaah lainnya seperti terlantarnya pendidikan untuk anak-anak. Tahun 2006 di kawasan Muaro Sijunjung terjadi gejolak penolakan berujung pelemparan terhadap rumah milik Keuskupan Padang yang digunakan sebagai tempat pendidikan rohani keagamaan bagi pelajar Katolik.
Kurang lebih sebanyak 99 KK warga Kristen dari semua aliran tinggal dikawasan Muaro Sijunjung. Namun tak ada fasilitas rumah ibadah. Jika mereka hendak melakukan kegiataan keagamaan maka harus pergi ke daerah Sawahlunto dengan jarak kurang lebih 25 Km.
Catatan yang ada di Komnas HAM Sumbar, tahun 2007 juga ada laporan tentang pelarangan dan penolakan pembanguan gedung serba guna di komplek Gereja Kristus Bangkit di kawasan Pasar Usang Kabupaten Padang Pariaman. Karena gereja yang ada tidak dapat menampung aktivitas pendidikan bagi pelajar, maka timbul ide membangun ruang serba guna ini. Ketika hendak mulai pembangunan, muncul ke permukaan penolakan keras dari anak nagari Pasar Usang. Hingga kini pembangunan itu terbengkalai. Komnas HAM Sumbar juga pernah melakukan investigasi lebih lanjut dan memberikan berbagai rekomendasi kesemua instansi yang ada, namun sama sekali tidak direspon, hanya Departemen Dalam Negeri yang merespon dengan meminta Pemerintah Provinsi untuk menindak lanjuti. “Tetap saja hal itu tak mengubah apapun,” imbuh Firdaus.
Begitupun dengan umat Hindu, Komnas HAM Sumbar pernah menerima laporan tentang rumitnya membangun rumah peribadatan. Walaupun tanah sudah ada, namun untuk mendapatkan dukungan serta izin setempat sangat sulit. Tak hanya itu saat ini umat Hindu juga mengalami kesulitan tentang pengurusan pemakaman, “Jika ada yang mati, maka jenazah terpaksa dibawa ke Bali atau di Lampung atau ke daerah asalnya,” ungkap Firdaus.
Baru-baru ini juga ada protes keras dari warga kelurahan Nunang kecamatan Payakumbuh Barat atas adanya rencana pembangunan Vihara Budha Metta di kawasan jalan Luhak Limapuluh Kota. Surat keberatan dan pernyataan sikap penolakan dengan nomor 01/LPM/NN-PBR/II-2012 tertanggal 2 Februari 2012 yang dialamatkan ke walikota dan DPRD Payakumbuh oleh lembaga pemberdayaan masyarakat kelurahan Lunang yang juga ditanda tangani oleh ketua RT, tokoh masyarakat dan beberapa lainnya. Akibatnya, rencana pembangunan Vihara Budha Metta di kawasan itupun gagal. Pemerintah setempat juga menghentikan sementara waktu rencana tersebut dengan berbagai alasan.
Apakah diskriminasi hanya terjadi bagi kaum minoritas di luar agama mayoritas? Tentu tidak. Konflik internal di agama mayoritas pun pernah terjadi di Sumbar. Adanya fatwa MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah merupakan salah satu aliran sesat dan menyesatkan menyulut sekelompok masyarakat Sumbar yang mengatasnamakan dirinya forum tokoh pembela fatwa mendatangi markas Ahmadiyah yang beralamat di jalan Agus Salim Padang. Mereka meminta dan menuntut Ahmadiyah dibubarkan dan segera angkat kaki dari Sumbar. Persoalan ini pernah dibahas di DPRD Sumbar dengan menghadirkan beberapa perwakilan dari mayoritas dan Ahmadiyah serta Ketua MUI Sumbar. Namun perdebatan alot yang terjadi terkesan menghakimi pimpinan jemaah Ahmadiyah. Otomatis insiden penolakan serta penghakiman terhadap pimpinan Ahmadiyah tersebut berdampak kepada rasa tenang bagi jemaah lain yang ada, “Lah, jangankan untuk persoalan lain seperti membangun rumah ibadah, jika belum apa-apa saja protes keras terjadi,” ungkap Firdaus lagi.
Walau akan banyak mendapatkan tantangan hingga tekanan, Komnas HAM Sumbar akan terus berjuang tentang hak hidup beragama bagi semua lapisan. Karena ini sesuai dengan amanat undang-undang. Walau tak mudah hal itu dilakukan, apalagi di wilayah mayoritas, namun Komnas HAM akan terus berupaya. Selain itu, Komnas HAM juga berharap kepada pemerintah, mulai dari Provinsi hingga Daerah, untuk proaktif memberikan kebebasan beragama dan memperhatikan hak beragama kepada minoritas. Sebab, untuk menjaga toleransi kebebasan beragama dan berkeyakinan bukan hanya di tatanan Komnas HAM saja, namun mulai dari pemerintah, aparat penegak hukum hingga semua lapisan masyarakat juga memiliki tanggung jawab yang sama.(*)
Sumber:
Berita ini satu kesatuan dengan link:
https://sejuk.org/2014/01/27/menyigi-rumah-ibadah-kaum-minoritas-di-sumatera-barat-part-i/
https://sejuk.org/2014/01/27/menyigi-rumah-ibadah-kaum-minoritas-di-sumatera-barat-part-ii/