“Kalau seorang ayah saja curhat persoalan kepada anak-anaknya, lalu ke manakah kami sebagai anak-anak harus mengadu dan berlindung ketika kami mendapat berbagai ancaman dan tindakan kekerasan?”
Pertanyaan “nakal” sekaligus miris datang dari Nasiruddin mewakili komunitas korban Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Lombok, Nusa Tenggara Barat, merespon paparan Wakil Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat dan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Lili Pintauli yang banyak mengeluh perihal keterbatasan lembaga-lembaga negara, di mana keduanya beraktivitas, dalam kegiatan Rencana Strategis (Renstra) Solidaritas Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (SobatKBB) di sebuah tempat asri di Desa Wisata Candali Bogor (24/3). Mereka mengeluhkan situasi yang membuat kerja-kerja kedua lembaga itu tidak maksimal lantaran persoalan-persoalan yang politis, dukungan yang rendah dari negara, sampai ketidaksolidan internal di antara staf komisioner.
Kemasygulan yang ironis itu menebalkan mendung langit Kabupaten Bogor siang tadi yang menaungi konsolidasi nasional SobatKBB, yang bertujuan merumuskan Renstra advokasi untuk dua tahun ke depan. Celakanya, forum SobatKBB yang dihadiri sekitar 60 peserta dari komunitas korban dan pendamping yang mewakili daerahnya masing-masing ini malah dicurhati komisioner Komnas HAM dan LPSK.
Padahal, sebagai lembaga yang diberi mandat, mereka sejatinya dihadirkan supaya dapat memperkuat tekad perjuangan para korban yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Kedua lembaga itu sangat diharapkan agar dengan tegas mengingatkan dan menagih tanggung jawab negara untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak dan kebebasan beragama dan berkeyakinan atau berkepercayaan (KBB). Seluruh kegerahan terhadap kedua komisioner itu disampaikan para korban, di antaranya dari Batu Plat Nusa Tenggara Timur yang pendirian masjidnya dipersoalkan dan beberapa dari penghayat agama lokal Sedulur Sikep Kudus, Parmalim Medan, Kaharingan Kalimantan Tengah, dan Sunda Wiwitan yang sejak jaman penjajahan sampai sekarang masih tertindas.
Pdt. Erde Berutu yang gerejanya menjadi salah satu korban penyegelan 16 gereja di Aceh Singkil turut menyayangkan, “Curhatan komisioner-komisioner ini justru akan menjadi kekuatan pemerintah daerah kami dan kelompok-kelompok tertentu yang selama ini menentang keberadaan gereja-gereja di Singkil. Sehingga, upaya-upaya yang kami tempuh dengan melapor ke pusat, seperti ke Komnas HAM dan lembaga-lembaga negara lainnya, dianggap tidak ada artinya.”
“Semakin ciut bagi kami melapor ke komisioner-komisioner yang komitmennya lemah, jika harus terus menunggu berlanjutnya kasus kekerasan atas nama agama. Atau, kami baru diterima jika sampai terjadi apa yang diidentifikasi oleh lembaga-lembaga negara ini sebagai korban pelanggaran HAM berat?” Servasius Wue penghayat Sapta Darma Yogyakarta pun tidak tahan untuk mengungkapkan ketidakmengertiannya atas sikap yang dipilih Imdad dan Lili.
Demi mengklarifikasi berbagai kekecewaan para korban, keduanya menegaskan bahwa di lembaganya merekalah yang justru paling punya konsern terhadap kasus-kasus dikriminasi dan kekerasan atas nama agama dan keyakinan. Kehadiran mereka di tengah-tengah para korban ini, sambung mereka secara kompak, bukti betapa mereka ingin menunjukkan komitmennya sehingga dapat menemukan cara kerjasama yang lebih baik untuk mengatasi kasus-kasus KBB. Imdad meyakinkan para korban di bawah koordinasi SobatKBB yang dipimpin Pdt. Palti Panjaitan bahwa dengan menghadiri forum semacam ini yang melibatkan korban dan pendampingnya akan menjadi bekal dan kekuatan dirinya merayu komisioner lainnya di Komnas HAM agar kasus-kasus KBB menjadi prioritas lembaganya. Demikianpun Lili memberikan garansi kesigapannya akan langsung menemui korban KBB jika ada laporan masuk ke LPSK.
Karena itu, Imdad yang juga merupakan Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menjelaskan upaya Komnas HAM melakukan pendidikan dan penyuluhan terhadap aparat-aparat negara supaya memberikan perhatian terhadap maraknya pelanggaran HAM kasus KBB. “Kami ingin mengubah mindset aparat negara untuk sensitif pada HAM dan paham terhadap prosedur yang in line dengan HAM,” tuturnya di hadapan para peserta Renstra yang diselenggarakan SobatKBB 23 – 27 Maret 2014. (Thowik SEJUK)