Pers Release
Kongres Perempuan Poso
Dodoha Mosintuwu, Tentena 25 – 27 Maret 2014
“Perempuan Poso, Bersuara, Bergerak untuk Perdamaian dan Keadilan
Melalui Pembangunan Desa”
Pertama kalinya pasca konflik Poso, 450 perempuan akar rumput dari 70 desa 14 kecamatan di Kabupaten Poso berkumpul bersama mengambil sikap bagaimana seharusnya pembangunan desa berjalan dari perspektif perempuan. Mereka adalah ibu rumah tangga, petani, nelayan, dan buruh dari berbagai latar belakang agama (Islam, Kristen, Hindu) dan suku. Diselenggarakan oleh Institut Mosintuwu, sebuah organisasi masyarakat akar rumput di Poso, mereka berkumpul selama tiga hari, tepatnya tanggal 25 – 27 Maret 2014 untuk mengikuti Kongres Perempuan Poso. Menurut Lian Gogali, Direktur Institut Mosintuwu, “Dipilihnya perempuan akar rumput menjadi peserta yang menentukan hasil penting Kongres Perempuan Poso bukan tanpa alasan. Perempuan akar rumput adalah mereka yang seumpama akar pada pohon, mereka yang selama ini memberi makna pada kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik. Pada saat yang bersamaan mereka juga adalah yang selalu terpinggirkan, terdiskriminasi, terabaikan, tidak didengar.”
Sebelum mengikuti Kongres Perempuan Poso, 1000-an perempuan telah mengikuti musyawarah perempuan desa masing-masing di 10 wilayah berbeda sejak tanggal 3 – 17 Maret 2014. Dalam musyawarah perempuan desa, para perempuan akar rumput yang sebagian besar baru pertama kali mengikuti pertemuan, membahas dua topik utama: 1) sejarah gerakan perempuan di Indonesia dan Poso; 2) UU Desa.
Pembahasan mengenai sejarah gerakan perempuan di Indonesia membangun kesadaran para perempuan akar rumput tentang pentingnya mereka bangkit dan bersuara, menghapus dominasi perspektif perempuan PKK yang diyakini melumpuhkan gerakan perempuan Indonesia yang sebelumnya sangat kuat. Selain itu, para perempuan akar rumput di Poso adalah yang pertama kali di Indonesia mendapatkan sosialisasi UU Desa pasca disahkannya bulan Januari 2014. UU Desa memberikan angin segar pada keyakinan masyarakat khususnya para perempuan akar rumput untuk berdaulat atas hak ekonomi, sosial, budaya dan politik melalui pembangunan desa. Melakukan sosialisasi pertama kali kepada para perempuan akar rumput, dan bukannya pada aparatur pemerintahan desa/kelurahan, bukanlah tanpa alasan. Menurut Lian Gogali, perempuan akar rumput adalah pihak yang paling sering tidak mendapatkan akses informasi yang lengkap tentang apapun, termasuk tentang UU dan Peraturan Pemerintah. Ketidaktahuan ini menyebabkan perempuan mengalami pola diskriminasi yang berlapis. Mengetahui UU Desa, masih menurut Lian, akan memberikan kesempatan pada perempuan untuk cerdas dan mempersiapkan diri menjadi ujung tombak yang memberikan makna, tafsir, terjemahan terhadap UU Desa termasuk mereka yang pertama akan memastikan fungsi UU Desa berjalan dari perspektif perempuan akar rumput.
Hal itu terlihat sangat jelas dalam rekomendasi yang dilahirkan oleh Kongres Perempuan Poso. Para perempuan akar rumput yang sebagian besar baru pertamakali bertemu di Kongres ini terbagi dalam 6 kelompok besar, yakni Hak Perempuan atas Layanan Publik; Perlindungan Perempuan dan Anak; Partisipasi Politik Perempuan dalam Pembangunan Desa; Perempuan dalam Adat Budaya; Perempuan Membangun Ekonomi Solidaritas; dan Perempuan Membangun Perdamaian. Mereka merenung, berpikir, menganalisis, beberapa kali berdebat, saling menyanggah, berargumentasi, menyusun pendapat. Tetapi mereka juga saling mendengarkan lalu membangun pengertian bersama, menguatkan solidaritas sebagai sesama perempuan dan karenanya melahirkan keputusan-keputusan penting. Setiap kelompok tidak hanya membahas topik di dalam kelompoknya tetapi diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan, saran, usulan pada topik yang lain dalam kegiatan yang disebut Warung Desa.
Banyak yang meragukan para perempuan akar rumput mampu menghasilkan rekomendasi yang jelas, mengingat sebagian besar mereka lulusan SD, SMP dan SMU. Namun hasil kongres menunjukkan pengalaman dan penghayatan perempuan akar rumput ini luar biasa hingga menghasilkan 135 rekomendasi yang jelas dan tegas ditujukan kepada Pemerintah Kabupaten Poso, Pemerintah Desa/Kelurahan, organisasi masyarakat sipil. Rekomendasi juga ditujukan pada diri sendiri, sebagai perempuan Poso. Bahkan terdapat 10 rekomendasi yang ditujukan kepada tim perumus Peraturan Pemerintah tentang Desa.
27 rekomendasi yang berkaitan dengan hak perempuan atas layanan publik antara lain membicarakan mengenai peningkatan pelayanan kesehatan termasuk ketersediaan bidan desa di semua desa terutama di desa terpencil dan tenaga dokter ahli di Rumah Sakit Poso; memastikan tidak ada anak yang putus sekolah di tingkat SD, SMP, dan SMU; memastikan masyarakat mendapatkan layanan akta kelahiran dan akta perkawinan gratis; dan memastikan tidak ada anak yang mengalami gizi buruk.
35 rekomendasi yang berkaitan dengan perlindungan perempuan dan anak ditujukan kepada Komnas Perempuan. Rekomendasi lebih banyak ditujukan kepada Pemerintah Kabupaten dalam hal ini Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana, termasuk P2TP2A. Beberapa rekomendasi yang ditujukan kepada P2TP2A adalah mendesak lembaga ini menjalankan fungsinya dalam penanganan kasus kekerasan dan pemulihan perempuan dan anak korban kekerasan di seluruh wilayah di Kabupaten Poso, khususnya dari desa-desa terpencil; melakukan sosialisasi dan pendalaman terhadap UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU Perlindungan Anak; Mendorong Lembaga Adat untuk melakukan diskusi intensif tentang peran lembaga adat yang berperspektif adil gender dalam merespon kekerasan terhadap perempuan dan anak.
23 rekomendasi yang berkaitan dengan partisipasi politik perempuan dalam pembangunan desa antara lain berbunyi mendorong Pemerintah Kabupaten membuat Peraturan Daerah bahwa dalam Pemilihan Kepala Desa, BPD, dan unsur-unsur Lembaga Desa lainnya diwajibkan melibatkan masyarakat desa khususnya perempuan minimal 50% dalam struktur pemerintahan desa dan kelembagaan desa lainnya; mendesak Pemerintah Desa/Kelurahan membuat Peraturan Desa tentang keterlibatan 50% perempuan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan; mendesak Pemerintah Desa/Kelurahan untuk mengundang dan melibatkan perempuan dalam semua pertemuan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan desa/kelurahan sekurang-kurangnya 50% dari jumlah peserta; mendorong Pemerintah Desa/Kelurahan dan Lembaga Desa/Kelurahan lainnya untuk membuat papan informasi tentang perencanaan program dalam desa/kelurahan berikut anggarannya untuk memudahkan akses masyarakat melakukan pengawasan pembangunan.
19 rekomendasi yang berkaitan dengan perempuan dalam adat kebudayaan antara lain: mendesak Lembaga Adat memastikan ada keterwakilan 30% perempuan di Lembaga Adat; mendorong Pemerintah Desa/Kelurahan, Lembaga Adat dan masyarakat memastikan ada mekanisme akuntabilitas/pertanggungjawaban dari Lembaga Adat dalam peraturan desa tentang keuangan, termasuk sanksi adat; mendesak Pemerintah Desa/Kelurahan dan masyarakat melestarikan adat dan budaya di Tanah Poso dengan tidak meninggalkan toleransi dan solidaritas pada kelompok-kelompok budaya lain.
12 rekomendasi yang berkaitan dengan isu perempuan membangun ekonomi solidaritas antara lain: mendesak pemerintah desa memanfaatkan aset desa untuk penguatan ekonomi solidaritas perempuan (kebun organik, lahan tidur, dan lain-lain); mendesak jajaran pemerintahan desa/kelurahan untuk bernegosiasi dengan pihak terkait untuk mengambil alih usaha atau sumber daya lainnya (perkebunan/hutan adat) untuk dikelola demi peningkatan kesejahteraan warga desa.
19 rekomendasi yang berkaitan dengan isu perempuan membangun perdamaian antara lain: meminta Komnas Perempuan untuk melakukan kampanye nasional dan internasional tentang peran perempuan sebagai agen perdamaian dalam dan pasca konflik; mendesak Pemerintah Pusat untuk memberikan perhatian dan memperhitungkan suara dan peran perempuan untuk upaya perdamaian saat dan pasca konflik, termasuk melibatkan perempuan dalam perundingan perdamaian atau upaya perdamaian yang dilakukan oleh pemerintah; mendorong pemerintah desa/kelurahan, termasuk FKUB dan Mosintuwu untuk membangun komunikasi di simpul wilayah (wilayah peserta Kongres Perempuan) di Kabupaten Poso yang melibatkan perempuan untuk memelihara perdamaian dan proses pemulihan.
10 rekomendasi kepada Tim Perumus Peraturan Pemerintah tentang UU Desa antara lain: memasukkan dalam pasal-pasal Peraturan Pemerintah agar Pemerintah desa berkewajiban melibatkan perempuan dalam setiap lembaga-lembaga pemerintahan desa (Pemerintahan Desa, BPD, dan lembaga lainnya) minimal 50%; memasukkan dalam pasal-pasal Peraturan Pemerintah agar Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah desa berkewajiban menganggarkan kegiatan pemberdayaan perempuan minimal 50% dalam APBDes dan 30% dalam program pembangunan Kabupaten; memasukkan dalam pasal-pasal Peraturan Pemerintah agar Pemerintah Kabupaten membuat Peraturan Daerah tentang tata cara pemilihan Kepala Desa, BPD, dan pengurus lembaga pemerintah desa lainnya yang melibatkan perempuan dalam proses pemilihan.
Proses dalam kongres Perempuan Poso didukung dengan kehadiran Komnas Perempuan yang diwakili oleh Ketua Sub Komisi Partisipasi Masyarakat, Andy Yentriyani, dan Soraya Ramli. Selain itu hadir pula aktivis perempuan dari berbagai daerah, Norma Susanti dari Balai Syura Aceh, Baihajar Tualeka dari Maluku, Ibu Sutini dari Labuan Batu Selatan (Sumatera Utara), Tundung Hastuti dari Aliansi Perempuan Marangin (Jambi), Sri Mulyati dari Sapa Institut, Kabupaten Bandung (Jawa Barat), kawan-kawan PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga) dari Sulawesi Tenggara dan Seketariat Nasional Pekka, dan Sdr. Budi Satrio dari Gerakan Desa Membangun, termasuk para peninjau dari organisasi lokal seperti LPMS, KPPA Poso, SP Sintuwu Raya dan KPKP-ST. Kehadiran mereka sebagai peninjau juga membantu proses dalam kongres, memberikan informasi dan penguatan pada perempuan akar rumput sehingga terbangun solidaritas antar perempuan akar rumput nusantara. Proses dan hasil kongres Perempuan Poso disebut oleh kalangan aktivis sosial sangat luar biasa, mereka menilai para politisi dari tingkat daerah hingga nasional harusnya belajar bagaimana seharusnya membuat keputusan melalui musyawarah bukan keputusan di bawah meja.
Andy Komisioner Komnas Perempuan dalam tanggapannya atas rekomendasi Kongres menyebutkan, “Kongres Poso memiliki makna penting dalam mengawali reformasi tahap 2 dan memaknai 3 dekade komitmen Indonesia menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dan menjelang 1 abad Indonesia.” Andy menambahkan, “Hanya dengan partisipasi substantif perempuan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan, Indonesia dapat menggapai cita-citanya untuk menjadi negara bangsa yg merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan sejahtera.”
Sementara itu, Kades Uranosari yang mewakili 20 kepala desa/lurah yang hadir dalam penyerahan hasil rekomendasi menyampaikan komitmentnya mendukung gerakan perempuan berpartisipasi dalam pembangunan desa. Katanya, para peserta kongres harus menjadi contoh bagi perempuan lain, dan tidak lagi hanya di dapur.
Seluruh butir rekomendasi yang dihasilkan oleh perempuan akar rumput dalam Kongres Perempuan Poso tentu saja memiliki makna penting jika ditindaklanjuti oleh semua pihak. Karena itu semua hasil rekomendasi kongres bukan hanya dikirimkan pada seluruh kepala desa/lurah dan pemerintah daerah dan dinas terkait di Kabupaten Poso termasuk seluruh peserta kongres, tetapi juga dikirimkan kepada tim perumus Peraturan Pemerintah dan Direktorak Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, kementrian dalam Negeri.
Di wilayah yang pernah mengalami konflik panjang ini, lahir gerakan perempuan akar rumput lintas agama dan suku untuk bersuara, bergerak mencapai perdamaian dan keadilan melalui pembangunan desa.
Lian Gogali, Direktur Institut Mosintuwu
Telp.: 0458 – 21765; email: mosintuwu@gmail.com